
Pendidikan dinilai gagal dalam mewujudkan cita-cita reformasi. Hal tersebut diamini oleh Max Lane, penulis buku Unfinished Nation: Indonesia Before and After Soeharto. “Ada salah satu dosa besar Orde Baru, yakni menghilangkan pendidikan kritis bagi ratusan juta anak selama puluhan tahun,” tutur Max Lane.
Menurut Max, itu menjadi salah satu penyebab kegagalan reformasi. Pernyataan tersebut diungkapkan Max dalam gelar wicara bertajuk “Indonesia 20 Tahun Setelah Reformasi” yang diadakan oleh Forum Komunikasi UKM Gelanggang Mahasiswa UGM di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Minggu (20/05).
Max menganggap kondisi saat ini tidak berbeda jauh. “Di sekolah, kita jarang diajarkan untuk menjawab pertanyaan “mengapa”, kita lebih sering disuruh menghafal dan menghafal,” tutur Max. Menurutnya, hal tersebut berimbas pada cara kita memahami keadaan saat ini.
Menuju ke pembicaraan yang lebih spesifik, Max memberikan contoh. “Indonesia merupakan satu-satunya negara yang tidak mengajarkan sastra pada warganya,” tutur Max.
Ia menyayangkan tidak adanya pelajaran mengenai kajian sastra, seperti analisis cerpen, puisi maupun karya sastra lainnya. “Di Singapura dan banyak negara lain, buku-buku Pramoedya Ananta Toer dijadikan bacaan wajib, padahal buku tersebut karya sastrawan Indonesia,” kata Max.
Agus Suwignyo, dosen senior Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada turut mengomentari pernyataan Max. Menurutnya, sampai kini dunia pendidikan kita hanya fokus pada aspek-aspek capaian tingkat hilir seperti ranking kelas. “Capaian tingkat hulu seperti berpikir kritis, memahami lebih luas, belum menjadi prioritas,” kata Wignyo.
Selain belum mengarah pada capaian tingkat hulu, menurut Suwignyo gagalnya cita-cita reformasi disebabkan oleh penyimpangan fungsi sekolah. “Sudah lama dunia pendidikan menjadi arena ideologisasi,” tutur Suwignyo. Ia juga mengamini pernyataan Max bahwa pada masa rezim Suharto, dunia pendidikan menjadi arena ideologisasi Pancasila dengan tafsir tunggal.
“Saat ini sekolah malah jadi arena kontestasi berbagai ideologi untuk menanamkan pemahamannya,” kata Suwignyo. Ia mencontohkan seperti menjamurnya sekolah-sekolah berbasis agama.
Suwignyo tidak setuju jika dunia pendidikan dijadikan sebagai arena kontestasi penanaman ideologi. “Hal tersebut mengalihkan tujuan pendidikan Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 45, mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Suwignyo.
Rofi Ali Majid
Editor: Danang S