Malam itu, Minggu (17/6), tim rubrik Laporan Khusus mendatangi David Tarigan, seorang inisiator pendokumentasian lagu Indonesia, di Hotel Andhitama, Prawirotaman II untuk membicarakan soal musik di Tanah Air. Ayah dari seorang anak perempuan ini memulai pembicaraannya dengan memperkenalkan diri sebagai salah satu perintis perpustakaan musik Irama Nusantara. Ia mengaku telah terpikat dengan dunia musik sejak kecil. Ia paling gemar mengumpulkan kaset-kaset grup musik favoritnya dan membaca majalah yang membahas soal musik. Bahkan sejak ia masih duduk di bangku kelas V sekolah dasar. Hal itu yang bikin David masih menggeluti dunia musik sampai sekarang.
“Kaset di Indonesia waktu itu murah, soalnya bajakan semua, termasuk kaset Barat,” tutur David sambil mengingat masa kecilnya. Namun, David menyatakan bahwa kaset-kaset bajakan itu kini telah hilang dari peredaran. “Makanya saya ingin tahu lebih banyak.” Ia menceritakan, suatu hari seorang penyanyi terkenal asal Irlandia bernama Bob Geldof sempat dibuat naik pitam oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab di Indonesia. “Itu (kaset-kaset bajakan yang hilang, Red.) karena Bob Geldof ngamuk-ngamuk ke Indonesia,” jelas David.
David lalu menceritakan awal duduk perkara pembajakan di Indonesia. Pada 13 Juli 1985, Geldof mengadakan pergelaran musik rock secara kolosal yang bertajuk Live Aid. Pergelaran itu diadakan guna mengumpulkan dana penanggulangan kelaparan di Etiopia. “Yang tampil artis keren-keren, konser itu dibikin untuk membantu anak-anak kelaparan di Afrika.” Konser Live Aid itu diselenggarakan serentak di dua tempat, yaitu stadion Wembley di London, Inggris, dan di stadion John F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat. Siaran langsung konser tersebut tersebar di 150 negara.
Setelah konser digelar, beredarlah kaset berjudul Live Aid berisi lagu-lagu yang dinyanyikan dalam konser tersebut. Di kaset itu tertulis Made in Indonesia dan memakai pita cukai Indonesia. “Gilanya, kaset bajakan Indonesia yang Barat ada PPN-nya,” ungkap David. Selain itu, tercantum informasi bahwa hasil keuntungan penjualan akan disumbangkan ke Etiopia. “Dulu orang luar negeri banyak yang beli, teman Si Queen, John, menemukan kaset Indonesia di Timur Tengah lalu dikasih ke Queen, dan akhirnya diterima Bob Geldof. Terus dia ngamuk,” tutur David. Geldof dan kawan-kawannya meradang. Geram melihat tingkah laku orang Indonesia saat itu. Mereka beramai-ramai memprotes melalui media sosial. “Wah, akhirnya saya ingat, di Kompas, foto headline-nya Bob Geldof sedang menarik pita kaset.”
Saat itu, secara hukum pembajakan di Indonesia tidak dapat ditindak. Sebab pada 1958, Perdana Menteri R. Djoeanda Kartawidjaja, menyatakan bahwa Indonesia keluar dari Konvensi Bern. Artinya, Indonesia tidak ikut menandatangani perjanjian Hak Cipta Internasional. Selain itu, di dalam negeri sendiri juga belum dibuat undang-undang antipembajakan. Sampai pada 2002, barulah dibuat Undang-Undang Nomor 19 tentang Hak Cipta.
Akan tetapi, setelah ditetapkannya UU Hak Cipta tersebut, sampai saat ini toko-toko yang menjual rilisan fisik bajakan masih marak beroperasi. Di sekitaran jalan Mataram, Yogyakarta, masih banyak dijumpai toko penjual rilisan fisik bajakan dengan harga murah. Ridho, salah satu konsumen toko rilisan fisik bajakan di jalan Mataram, mengaku bahwa ia memang berlangganan di toko tersebut. “Ya, langganan saya memang di sini,” ujarnya seraya memilih rilisan fisik kesukaannya.

Adapun harga yang ditawarkan oleh para penjual rilisan fisik bajakan berupa-rupa. Harga untuk CD berkisar dari Rp8 ribu hingga Rp10 ribu. Sedangkan harga untuk VCD Rp15 ribu. Lebih mahal dari CD karena termasuk orisinal dengan tanda hologram di bungkus VCD tersebut. Selain menjual rilisan fisik musik, para penjual rilisan fisik bajakan ini juga menjual rilisan fisik film dalam bentuk DVD. Harga untuk satu DVD yang berisi satu sampai delapan judul film hanya dipatok dengan harga Rp8 ribu.
Beberapa kali tim rubrik Laporan Khusus mencari informasi dengan mendatangi toko-toko rilisan fisik bajakan. Namun, hanya sedikit penjual yang mau diwawancarai. Salah seorang penjual rilisan fisik bajakan di jalan Mataram mengaku tidak berani memajang CD musik bajakannya di rak depan karena masih sering ada razia. CD musik bajakan disimpan di rak tersembunyi dan baru dikeluarkan saat ada yang pelanggan yang bertanya. “Masih ada razia, tapi bukan polisi. Dari distributor resmi atau sales CD orisinalnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, penjual rilisan fisik bajakan yang enggan disebutkan namanya itu pun mengungkapkan bentuk razia yang pernah ia alami. “Razianya itu cuma ditanya kenapa menyediakan CD bajakan.” Jika memang ketahuan menyediakan bajakan, distributor tidak akan mau lagi memasok berbagai macam CD ke toko yang bersangkutan.
“Buat apa takut pembajakan? Sekarang malah menyenangkan. Wah, dibajak, gila kita terkenal. Manfaatkan, dong!”
David
Pembajakan musik ternyata tidak terjadi pada rilisan fisik saja, tetapi sudah merambah ke rilisan digital. Banyak situs web yang menyediakan lagu gratis untuk diunduh. Kualitas lagu yang bisa diunduh pun beragam. Mulai dari 64 kbps, 128 kbps, 192 kbps, hingga 320 kbps untuk kualitas format Mp3 terbaik. Lagu berbahasa Indonesia sendiri sangat jarang ditemui dengan kualitas terbaik. Kualitasnya hanya 128 kbps atau 192 kbps. Sementara itu, lagu dengan format Mp3 320 kbps terdiri dari lagu-lagu barat dan K-Pop. Komplet dengan sampul album yang tayang ketika lagu tersebut diputar.
Data dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), dalam buku Rolling Stone Music Biz tahun 2009, menyebutkan, musik bajakan telah menguasai 95,7% penjualan di Indonesia. Sementara musik legal penjualannya tinggal 4,3%. Saat itu kerugian yang dialami oleh Indonesia lebih dari 1,122 triliun rupiah. Jumlah yang seharusnya diperoleh dari penerimaan pajak.
Akan tetapi, dengan adanya orang-orang yang masih berburu rilisan fisik bajakan, kebangkitan rilisan fisik itu sendiri menjadi terdongkrak. Toko-toko yang menjual rilisan fisik bajakan di jalan Mataram kebanyakan memang dipadati oleh kaum muda. Namun, tak jarang anak-anak, ibu-ibu hingga kakek-kakek, turut menggemari rilisan fisik favorit mereka. Saat tim rubrik Laporan Khusus mengunjungi salah satu toko tersebut, didapati seorang kakek keluar sambil membawa beberapa keping VCD dangdut. Nyatanya, memang VCD dangdutlah yang menjadi primadona. Selain murah, kualitasnya pun cukup baik.
Bak kolektor-kolektor profesional mereka berburu rilisan fisik untuk dinikmati. Bedanya, kolektor-kolektor rilisan fisik orisinal “mengoleksi” karena mereka maniak terhadap rilisan fisik orisinal. Sedangkan konsumen rilisan fisik bajakan mengoleksi sekadar untuk hiburan karena harganya yang murah. “Kalau orisinal mahal. Selisihnya juga lumayan,” kata Ridho.
Toko kaset bajakan yang tak pernah sepi pengunjung menjadi bukti bahwa rilisan fisik masih banyak peminat. Selain itu, pembajakan juga dapat dijadikan sebagai promosi musisi. Hal itu diungkapkan oleh Indra Menus, bahwa promosi melalui rilisan fisik bajakan sangat menguntungkan bagi grup musik. “Band itu tidak keluar duit. Si pembajak yang promosikan dan orang jadi tahu. Biaya promosi itu mahal, lho,” terang Menus. “Jadi gerakan antipembajakan itu menurutku useless,” lanjut pemilik Doggy House Record itu.
Menus mencontohkan, banyak grup musik terkenal karena pembajakan. Ia menegaskan bahwa pembajakan tidak semata-mata buruk. Menurutnya, orang-orang tidak cukup hanya setuju atau tidak terhadap pembajakan. Namun, mereka harus meninjau dari banyak sisi. “Ada yang enggak suka itu (pembajakan, Red.) karena dia dirugikan.” Sedang di sisi lain, pembajakan adalah promosi sendiri bagi si musisi.
“Dan enggak cuma musik, hal-hal lain pun pasti begitu. Tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan pembajakan.” Menurutnya, lebih baik menunggangi pembajakan daripada harus antipati. Selain Menus, pendapat serupa juga diungkapkan oleh David. Ia mengatakan, rilisan fisik bajakan tidak harus dibasmi. “Buat apa takut pembajakan? Sekarang malah menyenangkan. Wah, dibajak, gila kita terkenal. Manfaatkan, dong!” ungkapnya.[]
Ghozali Saputra
Laporan oleh Andhika, Aziz, dan Winna
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXIX November 2016 “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”.