Oleh Budi Irawanto
(Pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada dan presiden Jogja-NETPAC Asian Film Festival)
Berita ihwal situs berita Saracen dalam beberapa waktu silam menghiasi laman media di Indonesia. Publik dihebohkan oleh terbongkarnya bisnis penyedia jasa pemesanan ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (fake news dan hoaks).
Publik terhenyak oleh kenyataan bahwa memproduksi berita bohong ternyata bisa menjadi lahan bisnis baru di tengah berkembangnya teknologi digital atau internet. Berbeda dengan berita yang lazimnya kita kenal, berita bohong memang gampang menyedot perhatian. Tak banyak diduga: ada dampak yang bisa sangat merusak.
Harry G. Frankfurt, filsuf dari Universitas Princeton dan penulis buku On Bullshit (2005), berargumen bahwa mengatakan kebohongan hanya meminta Anda peduli pada bentuk absolut dari kebenaran (truth) dan dusta (falsehood). Namun, dalam perkembangannya, ruang publik kian dibentuk oleh ketidakpedulian pada kedua hal itu, kecuali pada cerita (narasi) itu sendiri.
Lebih dari para pembohong (liar) yang menampik otoritas kebenaran, para pembual (bullshitter) tak peduli sama sekali pada kebenaran. Dengan kata lain, para tukang kibul hanya berurusan dengan tercapainya keinginan mereka dan tak mempedulikan hal itu benar atau salah.
James Ball, penulis buku Post-Truth: How Bullshit Conquers the World (2017) mengaku bahwa omong kosong (bullshit), termasuk juga berita bohong, amatlah efektif. Internet menjadi lahan bagi pembiakannya. Ball juga menemukan bagaimana omong kosong menjadi bagian dari politik modern. Celakanya, sebuah model bisnis bisa dibangun dari omong kosong itu.
Merebaknya omong kosong agaknya tak bisa diceraikan dari kondisi mutakhir media. Tatkala kita disibukkan dengan perbincangan ihwal teknologi baru maupun platform baru beserta pengaruhnya, kita mengabaikan satu hal: ekonomi. Kita tahu, bisnis media cetak yang memuat berita-berita serius tengah memasuki senjakala. Pemasang iklan terus menurun, diikuti oleh merosotnya jumlah pembaca. Akibatnya, jumlah wartawan mengalami pemangkasan.
Dengan beban tugas kian berat, wartawan sekadar memburu pernyataan politisi (elite politik) ketimbang menggali sendiri berita di lapangan. Media cetak yang bersalin rupa ke bentuk daring (online) hanya peduli pada siasat mendongkrak jumlah pelanggan (pembaca). Berita diunggah selekas mungkin; acapkali tanpa mengecek fakta.
Akan tetapi, mengapa orang percaya pada berita bohong dan membaginya dengan orang lain? Kalangan psikolog mengenalkan istilah “confirmation bias” (bias persetujuan), yakni kecenderungan seseorang mengais sekaligus menafsir informasi seturut dengan keyakinan, preferensi, dan sikap yang lama menetap dalam dirinya.
Sementara itu, komunitas daring disebut Craig Harper, pengajar di Nottingham Trent University, sebagai “echo chambers” (bilik gema). Inilah sumber musabab meningkatnya intoleransi terhadap apa pun yang tak sesuai dengan pandangan (keyakinan) tertentu. Perangkat telepon cerdas memudahkan seseorang memblok, memutus pertemanan (unfriend), dan meninggalkan (unfollow) mereka yang memiliki pandangan “menyimpang” dari dirinya. Kita membersihkan semua itu dari bilik kita.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk menapis berita bohong yang marak di era post-truth?
James Ball memberikan sejumlah preskripsi. Pertama, memecahkan gelembung online yang kita diami. Caranya: mengetahui apa yang orang lain katakan dan tak setuju dengan kita. Ini membantu menutup celah apa yang tak kita ketahui dan mencegah kita gampang mengibliskan orang yang berseberangan.
Kedua, memilih di antara dua sistem berbeda. Sistem pertama berupa respons instingtif terhadap situasi atau informasi baru, sedangkan sistem kedua merupakan respons penuh pertimbangan. Jika kita tak ingin membagikan berita bohong, kita mesti memilih sistem kedua. Pendeknya, respons tanpa ketergesaan lebih bisa menghindari peluang menyebarluaskan berita bohong.
Ketiga, belajar dan memahami statistik mampu menghindarkan kita dari pengelabuan. Caranya: memahami apakah angka itu masuk akal dan terkesan digelembungkan. Buku klasik karya Darrell Huff bertajuk How to Lie With Statistics (1954) mungkin bisa membantu kita.
Keempat, memperlakukan narasi yang kita percayai dengan sikap skeptis seperti halnya sikap kita terhadap narasi yang tak kita percayai. Jika kita mampu melakukannya, maka akan memberi kemampuan kita dalam menilai fakta dan bukti.
Kelima, tidak mempercayai pemikiran berdasarkan teori konspirasi. Teori konspirasi merupakan musuh bagi liputan berbasis fakta. Ia mengisolasi fakta dan penuh dengan rekaan dalam menghubungkan titik-titik terpisah.
Keenam, sejatinya era post-truth senantiasa diiringi meruyaknya pemikiran konspiratif. Semakin kita mampu memeranginya, semakin baik pengaruhnya bagi kita. Kita mesti membuat para politisi dan media akuntabel agar selalu berdasar pada fakta keras dan investigasi yang seksama.
Mesti diakui, tidak ada solusi tunggal untuk memerangi berita bohong. Kita tak bisa sepenuhnya bersandar pada niat baik semata. Kita mesti memulainya dari politik dan juga media yang ada. Agaknya hidup di era post-truth menuntut keawasan kita mencandra berbagai bentuk dusta dan kebohongan.
Kita mesti berbagi pemahaman tentang realitas, menggugat konspirasi, dan mencapai konsensus untuk hal-hal mendasar. Tentu, yang jauh lebih penting: kita mesti mempercayai bahwa kebenaran itu ada dan ia bisa ditegakkan. Sebagaimana Thomas Brown pernah menyatakan, “All community is continued by Truth.”
Editor: Ahmad Yasin