Ekspresionline.com – Dapur sekaligus ruang makan menjadi latar dalam teater bertajuk “Lauk Pauk“ yang dipentaskan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) FBS, UNY. Lakon “Lauk Pauk“ merupakan drama yang merepresentasikan ruang keberagaman dan intoleransi di Indonesia. Drama bergenre realis ini menampilkan sebuah masalah dalam keluarga. Masalah yang menjadi cerminan konflik yang lebih besar dalam sebuah negara dengan keberagamannya.
Lampu yang padam dan alunan musik pengiring mengawali pementasan pada Kamis (20/12/2018) di Laboratorium Karawitan, FBS, UNY. Adegan lalu dibuka dengan sosok Ibu yang sedang melakukan aktivitas di dapur. Tangannya sibuk bergulat dengan kompor dan seperangkat gorengan yang terangkat dari wajan. Disusul dengan makanan lain yang berangsur-angsur tersaji di atas meja makan.
Kesibukan tokoh Ibu dipecahkan oleh suara Bapak dari luar rumah. Tak berapa lama, masuklah sosok Bapak dan langsung mengenyakkan diri di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Percakapan terjadi antara keduanya. Sang Bapak lalu menyinggung tentang banyaknya lauk yang tersaji di atas meja makan. Itu pun terjawab bahwa lauk-pauk tersebut merupakan sajian untuk menyambut kepulangan anak mereka.
Percakapan kemudian meluas pada hal lain. Sang Bapak menyampaikan wacana agamis yang menjadi bahasan orang-orang kampung. Beberapa dari mereka berencana mendirikan tempat ibadah untuk orang-orang nonmuslim di kompleks setempat. Ia merasa sangat geram dan berpikir jika tempat ibadah tersebut harus segera dibakar atau dimusnahkan setelah selesai dibangun. Tempat ibadah untuk orang-orang kafir tidak layak berada di kampung suci mereka.
Adegan ini menjadi awal penggambaran tokoh Bapak. Ia digambarkan sebagai sosok keras kepala dengan segala pemikiran orang tua yang masih terkekang oleh nilai primodialisme. Pemikiran yang memudahkannya untuk berteriak kafir kepada yang tidak sejalan dengan keyakinannya.
Pembangunan tempat ibadah nonmuslim di kampung mereka menjadi pemicu konflik drama pada bagian selanjutnya. Kedatangan Rudi, anak mereka, bukan menjadi ajang bersantai menikmati sesajian keberagaman lauk-pauk di atas meja. Rudi datang dengan mengenakan celana sobek dan rambut gondrong yang mengundang kemarahan Bapaknya.
Latar dapur dengan meja makan itu menjelma menjadi lapak perdebatan. Segala adu pendapat, teriakan kemarahan, hingga tamparan menjadi adegan pada pementasan malam itu. Disusul dengan adegan Bapak yang keluar rumah, meninggalkan anggota keluarga lainnya.
Setelah tokoh Bapak keluar, ketegangan meregang. Iringan musik minor menandakan sebuah ironi yang menyusup dalam relung kekeluargaan. Kesedihan Ibu menjadi dominasi dalam adegan ini. Lauk-pauk di atas meja berakhir tanpa dinikmati. Sebuah sajian keberagaman yang diabaikan karena sebuah pertikaian.
Lauk Pauk menjadi drama yang penuh dengan semiotika dan metafora. Hal ini diungkapkan oleh Noverico, sutradara teater “Lauk Pauk“. “Ini simbol dan metafor keberagaman di Indonesia,“ ujarnya usai pementasan.
Pernyataan Noverico dikuatkan oleh penulis naskah sendiri, Rizky Wahyu. Ia mengatakan bahwa tokoh Ibu merupakan lambang Ibu Bumi dan potret keadaan Indonesia saat ini. “[Tokoh] Ibu adalah simbol Bumi. Ibu Bumi. Seperti halnya Bumi yang menghasilkan makanan, buah-buahan, menyediakan makanan di sana, dan dia mengolahnya menjadi lauk-pauk sebagai keberagaman itu sendiri,” jelasnya.
Pernyataan Noverico dan Rizky tersebut terejawantah dalam adegan pertama kala tokoh Ibu menyajikan lauk-pauk di dapur. Noverico menjelaskan bahwa tokoh anak merupakan simbol demokrasi. Sedangkan tokoh Bapak adalah cerminan pemikiran yang tumbuh pada ruang keberagaman dan mereka hidup berdampingan.
“Lauk Pauk” bukan hanya drama keluarga dengan konflik internal saja. Ada yang ingin disampaikan daripada sekadar pertikaian Bapak dan anak. Teater ini merupakan sebuah bentuk kritik atas fenomena di Indonesia yang jamak terjadi: religi dan relasi kekuasaan.“Apalagi isu agama sedang panas-panasnya, jadi alat kekuasaan,“ tegas Rizky. Ketika ditanya tentang inspirasi cerita, Rizky menyatakan bahwa ia menyusun cerita ini berdasarkan pengalamannya.
Pementasan “Lauk Pauk” merupakan hasil karya dari salah satu divisi di KMSI, yaitu sasmita. Sasmita sendiri terbagi menjadi dua bagian, sasmita teater dan sasmita musik. Keduanya tampil dalam acara Sastra Tutup Pintu (STP) yang diselenggarakan di waktu dan tempat sama. Selain sasmita teater dan musik, acara STP dimeriahkan oleh Bisothewas dan Kopibasi.
Arni Arta
Editor: Ahmad Yasin, Abdul Hadi