Pagi itu, Senin 2 Juli 2018, empat ekskavator milik PT Apollo merangsek maju untuk menambang wilayah Jati, Banaran, Galur, Kulon Progo. Kedatangan empat ekskavator itu menggemparkan aktivitas warga di hilir Kali Progo tersebut.
Tiba-tiba saja, empat ekskavator itu datang dengan piranti hukum lengkap: didampingi pengacara CV KUBE Sido Maju, dan dikawal aparat kepolisian bersenjata lengkap. Mereka maju, hendak menambang pasir dusun Jati.
Kedatangan empat ekskavator itu cukup mengagetkan warga. Pasalnya, setahu warga, mereka tidak punya izin operasi di Jati. Mereka adalah penambang yang beroperasi di Kujon Kidul, Kranggan–tepat sebelah utara dusun Jati.
Seingat warga pula, yang menambang di sana adalah CV KUBE Sido Maju. Warga tidak tahu sejak kapan PT Apollo menggantikan Sido Maju.
Masyarakat Jati, begitu tahu ada alat berat melintasi perbatasan, sontak berkumpul. Mereka memukul kentongan, membunyikan titir–ketukan gencar tanda marabahaya.
Mulanya belasan, puluhan, lalu ratusan massa dari Jati, Bunder, dan para penambang tradisional ikut hadir. Mereka membuat pagar betis, menghadang empat ekskavator. Massa berkumpul di dataran lebih tinggi seperti tebing, setinggi sekitar tiga meter. Di bawahnya, ekskavator tertahan, menggerak-gerakkan alat keruk seakan tidak sabar.
Waktu itu, Haryanta, Kades Banaran, sedang bekerja di Balai Desa. Ia hendak membereskan pekerjaan yang menumpuk di kantornya. Menjelang pukul 12, Haryanta, yang juga menjadi ketua PHBN (Persiapan Hari Besar Nasional) Desa Galur, meluncur ke kecamatan untuk rapat koordinasi. Sampai di sana, Haryanta sedang mengobrol di masjid kantor kecamatan ketika Camat Galur, Latnyana, berjalan tergesa hendak pergi.
Haryanta menyapanya, “Romo, ada acara apa kok kayak serius?”
“Oh iya, Pak Kades, ayo sekalian. Ini di Jati ada masalah.”
Dengan masih mengenakan seragam cokelat PNS, mereka pergi ke Jati. Di perjalanan, Haryanta diberi tahu tentang kemelut di bantaran kali. Mereka menjemput Kades Kranggan dalam perjalanan. Pasalnya, setahu mereka, penambang yang ingin masuk ke Jati berizin di Kujon Kidul, Kranggan.
Kejadian pagi itu cukup mengagetkan bagi warga. Setahu mereka, dusun Jati tidak pernah memberikan izin bagi penambang yang menggunakan alat berat. Puluhan tahun daerah itu jadi areal tambang tradisional, bersebelahan dengan berhektare-hektare bekas kerukan alat berat.
Warga Jati beralasan, pengerukan dengan alat berat hanya akan merusak lingkungan. Lagipula makam dusun mereka sudah terancam amblas. Jika bantaran kali di wilayah mereka dikeruk alat berat, peluang abrasi semakin besar, sehingga makam pun benar-benar amblas.
Akan tetapi, niat warga Jati itu tidak diamini oleh dusun-dusun tetangga mereka. Di Banaran, dusun-dusun di bantaran kali mulai menyilakan para penambang dengan mesin keruk. Menurut Indro Purnomo, tetua dusun Jati, penambang alat berat mulai marak sejak 2016. Hal itu tidak hanya di Banaran. Desa seperti Kranggan, Sawahan, dan Brosot pun membolehkan hal serupa di wilayahnya, sebelah barat Kali Progo.
Sesampainya di lokasi, Haryanta melihat warga berkerumun. Besar-kecil dan tua-muda bersatu menghadang alat berat. Bersama Latnyana, Haryanta langsung merangsek ke tengah kerumunan. Mereka ingin menemui penanggung jawab dari pihak penambang.
Seorang pria kurus berkacamata, mengenakan setelan hitam, maju. Ia mengaku sebagai pengacara Sido Maju. Namanya Wahyu Baskoro. Sebelum kedatangan Haryanta, Baskoro sudah terlibat perdebatan dengan warga.
Baskoro mengaku, pihaknya telah memenuhi segala regulasi dan telah melakukan sosialisasi dengan warga. Pihaknya memang telah mendapat rekomendasi teknis dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSSO) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH). Sehingga, gerai Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (KP2TSP) pun memberi izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP) kepada Sido Maju.
Akan tetapi, dalam lembaran izin yang dikeluarkan KP2TSP, KUBE Sido Maju mendapat izin operasi seluas 4,8 hektare di dusun Kujon Kidul, Kranggan. Baskoro mungkin benar jika pihaknya telah melakukan sosialisasi. Namun, sosialisasi yang mereka lakukan hanya kepada warga Kujon Kidul, bukan Jati.
Klaim Baskoro terkait sosialisasi pun dengan mudah ditentang warga. Pasalnya, jika benar dilakukan sosialisasi, peserta sosialisasi seharusnya adalah warga Jati sendiri. Namun, siang itu warga Jati ramai-ramai membantah klaim Baskoro.
Haryanta, sebagai kades, juga menyebut Sido Maju tak pernah melakukan sosialisasi di Jati. Mengetahui klaim Baskoro itu, Haryanta membatin. Ia takut warga akan salah paham dan mengiranya telah bersekongkol dengan penambang.
Di hadapan Baskoro, ia pun mendebat, “Mas, penambangan panjenengan itu di mana? Kalau menurut pengetahuan kami, panjenengan di Kranggan ya di Kranggan!”
Tak mau kalah, Baskoro bersikeras dengan mengandalkan wewenang rekomendasi Balai Besar. Secara hukum, Sido Maju memang punya IUP OP di bantaran Kali Progo, tepatnya di Kranggan, tidak lebih.
Perdebatan antara Baskoro dengan Haryanta berlarut-larut. Mereka saling ngotot. Merasa jengah berdebat, Haryanta memilih mundur, berpaling ke warga, mengacungkan jari sambil berteriak, “Saya sama sekali belum pernah diajak ngomong terkait masalah ini!”
Baskoro kemudian berdebat dengan Latnyana. Di sekitar mereka, warga berkerumun, seringkali bersorak dengan nada riuh-rendah. Siang itu, matahari bersinar dengan terik, turut memanaskan suasana.
Di seputar lingkar perdebatan, aparat kepolisian dan TNI berjaga, berdiri diam bersiaga. Di sekitar mereka memang banyak orang yang marah. Orang-orang itu saling bersorak, menghujati Baskoro.
“Ra usah mendelik, Mas!”
“Pengacara apa!”
“Pengacara kok turut kali!
Baskoro bersikeras bahwa penambang sudah memenuhi segala regulasi. Namun, Latnyana dan warga juga bersikeras bahwa yang hendak ditambang empat alat berat itu adalah wilayah Jati, bukan Kranggan seperti tertera di perizinan.
Baskoro memang beberapa kali coba mendapat izin warga. Namun warga beserta perangkat birokrasi Jati tetap menolak. Baskoro pun menyebut, pihaknya sudah berusaha mendapat izin dengan melobi Indro Purnomo. Tetapi Indro menolak dan enggan tanda tangan.
Mereka pun memanggil Indro untuk menjelaskan masalah tersebut. Indro sudah di lokasi sedari pagi sejak tahu ada alat berat hendak merangsek.
Ketika Indro sudah di hadapan Baskoro, mereka terlibat perdebatan. Baskoro sempat mengeluhkan Indro yang tidak mau sepakat. Ketika itu, Baskoro bicara sambil menuding Indro, membuat warga bersorak dengan marah. Warga marah karena Indro, yang dihormati mereka sebagai tetua, dituding-tuding.
Setelah saling berdebat, Indro pun mempertegas suaranya. Sambil mengacungkan jari tanda kebulatan sikap, ia bilang, “Gini, pokoknya masyarakat Jati, Banaran ngelarang!”
Berbekal ilmu hukum, Baskoro menengadahkan tangan dan mempertanyakan sikap Indro, “Dasare sampeyan apa ngelarang? Dasar sampeyan apa?”
“Loh, dasar hukum!”
“Mana? Hukumnya apa? Jangan hanya di mulut hukumnya!”
Baskoro dan Indro saling bersikeras. Pengacara itu mengejar Indro dengan pertanyaan seputar hukum. Indro pun terus menimpali. Namun, omongan mereka tumpang-tindih dan saling potong.
Sampai di situ, tak ada kesepakatan tercipta. Pihak penambang yang diwakili Baskoro tetap berdebat sengit dengan perwakilan warga di sana. Warga pun, didorong suasana, saling bergantian menghujat Baskoro.
Keributan itu baru selesai ketika Komandan Distrik Militer (Dandim) Kulon Progo, Letkol Inf. Dodit Susanto menengahi kedua pihak. Kepada Haryanta, Dodit meminta warga untuk mundur dan melakukan mediasi di kemudian hari. “Saya jamin, Pak, warga akan bubar manakala bareng dibubarkan. Backhoe juga kembali di sana,” balas Haryanta.
Sekitar pukul setengah lima, para penambang berbalik dan warga pun berangsur-angsur mundur. Haryanta, yang melihat warga mundur dengan tertib, lega. Selama keributan itu, Haryanta khawatir jika warga terprovokasi, lepas kontrol, kemudian diciduk polisi. Ia pun meminta warga untuk tetap tenang agar tidak terprovokasi.
“Ibarat bahan bakar, panjenengan itu pertamax, akselerasinya tinggi tapi juga mudah kebakar. Ada sisi baik, ada sisi kurang baiknya. Kalau nanti tersusupi orang, terprovokasi … makanya boleh panjenengan marah–kepala mau pecah ibaratnya, tapi hati tetap dingin,” ucapnya kepada warga sore itu.
Sengketa Batas Wilayah
Semua kejadian siang itu direkam oleh Laksita Sari Hapriyanti. Ia ibu rumah tangga, besar di Jati dan kini bermukim di Umbulharjo. Sore setelah kejadian, Laksita mengirim rekaman videonya ke grup Facebook, Info Cegatan Jogja. Selagi warga belum mendapat konfirmasi, ia ingin menarik atensi publik untuk mengawasi kasus ini.
Esok hari setelah kejadian, warga pun berusaha mencari konfirmasi ke dinas terkait. Setahu mereka, dusun Jati tidak pernah memberi izin untuk ditambang. Senin itu, pihak penambang berdalih, mereka telah memiliki izin seluas 4,8 hektare, mencakup lokasi yang disengketakan.
Setelah ke BLH, BBWSSO, dan ESDM, warga tahu jika KUBE Sido Maju memasukkan wilayah Jati ke dalam wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Dengan WIUP seluas 4,8 hektare, pihak penambang memasukkan wilayah Jati seluas 2 hektare ke wilayah Kranggan. Batas wilayah desa Kranggan dibikin menjorok seluas dua hektare ke selatan, menabrak perbatasan.
Berdasarkan peta itulah pihak penambang hendak masuk wilayah Jati. Dengan peta yang memuat perbatasan keliru, pihak penambang ingin menambang wilayah Jati dengan izin desa Kranggan. Sebabnya, secara teknis, KUBE Sido Maju memang telah mendapatkan izin di desa Kranggan.
Di peta perizinan Sido Maju, areal seluas dua hektare yang menjorok ke Jati itu kemudian dipotong. Sampai di situ, warga sudah terang kalau Sido Maju menabrak batas administratif desa Banaran.
Sedangkan mengenai PT Apollo, Sido Maju mengaku bekerja sama dengan PT tersebut. Ketua Sido Maju, Heri Suwarno, mengaku pihaknya sudah bekerja sama dengan PT Apollo sejak Mei 2018. Pasalnya, dalam mengelola pertambangan, Heri merasa harus bekerja sama dengan “yang mampu”.
Dalam relasi kerja sama ini, KUBE Sido Maju sebagai atas nama perizinan, lalu PT Apollo menjadi pelaksana di lapangan.
Dugaan Keterlibatan Aparat
Tiga hari setelah kejadian, Saijo, Dukuh Jati dan Indro Purnomo dipanggil ke Kodim Kulon Progo. Mereka dipanggil oleh Dandim Kulon Progo, Dodit , untuk membicarakan soal tambang.
Dalam pertemuan itu, Indro curiga kalau pihak penambang sudah mendapat dukungan aparat. Sedari awal, warga memang mencurigai keterlibatan aparat dalam kasus ini. Mereka mempertanyakan kehadiran aparat yang mengawal ekskavator pada Senin, 2 Juli lalu.
Ketika bertemu Indro, omongan Dodit pun terkesan membela penambang. “Itu sudah ada izin. Bisa kalau kamu menghalangi, akan diambil satu per satu,” ucap Indro menirukan perkataan Dodit waktu itu.
“Saya siap, Pak, diambil satu per satu,” balas Indro, kukuh.
Mendengar hal itu, Laksita Sari Hapriyanti , secara personal, menelepon temannya di Detasemen Polisi Militer (Denpom) Yogyakarta. Ia melaporkan kecurigaannya soal keterlibatan aparat dalam konflik ini.
Tindakan Laksita rupanya efektif. Beberapa hari kemudian, Dodit datang ke Jati untuk meminta maaf. Ia juga berjanji untuk tidak mencampuri urusan warga dengan para penambang.
Warga pun mencari pengacara untuk mendapat payung hukum dan memperjuangkan hak warga. Saijo dan Indro Purnomo, sebagi perwakilan warga, menyerahkan urusan hukum ini kepada Laksita.
Laksita mengontak beberapa pengacara. Berdasarkan pengakuannya, lebih dari 26 orang pengacara bersedia mendampingi warga Jati. Akhirnya, ia memilih Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Pandawa untuk menjadi kuasa hukum warga. Per 26 Juli 2018, lewat surat kuasa class action, warga Jati resmi menunjuk LKBH Pandawa sebagai kuasa hukum.
Pada Rabu, 9 Agustus, LKBH Pandawa mendampingi warga untuk audiensi ke Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) DIY. Mereka mengadukan kasus di Jati dan berharap bisa difasilitasi untuk mediasi dengan pihak penambang.
Tak cukup di Kemenkumham, LKBH Pandawa berkirim surat ke DPRD DIY. Mereka minta DPRD untuk memfasilitasi mediasi antara warga dan penambang. Namun, surat itu berhari-hari tidak dibalas.
Pada 12 September, warga pun berdemonstrasi menggeruduk kantor DPRD DIY. Bersama tim advokasi dan elemen mahasiswa, warga memprotes pertambangan alat berat di daerahnya.
Demo warga ditanggapi oleh DPRD. Warga ditemui oleh Chang Wendiranto, perwakilan dari Komisi C DPRD DIY. Secara diplomatis, Chang mengaku akan mengevaluasi pertambangan di Kali Progo. “Akan kami pertimbangkan terkait pertambangan. Kami juga tidak sepakat tambang dengan alat berat, baik bego maupun yang disedot,” ucapnya.
Alasan Warga Menolak Tambang
Sedari dulu, Indro memang kukuh menolak pertambangan alat berat. Meskipun menghadapi tekanan, pria tua itu tetap kukuh menolak. “Karena saya di pihak yang betul. Karena saya emoh, bukan menghalangi, tapi saya adalah menjaga teritorial saya,” aku Indro.
Bersama tokoh-tokoh Jati dan masyarakat, Indro memang telah bersepakat untuk melarang pertambangan alat berat. Kesepakatan itu membuat pasir di timur pedukuhan Jati dan Bunder tidak pernah dikeruk ekskavator. Kerusakan alam menjadi alasan utama warga melarang pertambangan alat berat.
Kini di Jati, sumur-sumur telah mengering. Warga menduga, ketinggian air tanah menurun sebab aktivitas pertambangan.
Akan tetapi, dugaan warga ini memang belum bisa dibuktian. Dalam dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) KUBE Sido Maju sendiri, tidak disebutkan potensi dampak pertambangan terhadap air tanah.
Keringnya sumur membuat warga terpaksa berlangganan air PAM. Menurut Indro, air PAM digunakan untuk keperluan minum. Sedangkan untuk mandi dan mencuci, warga memperdalam sumur masing-masing.
Indro sendiri melakukannya tahun ini. Lebaran lalu, ketika anak-cucu berkumpul di rumahnya, sumur Indro kering. Ia pun terpaksa memantek pralon sedalam empat meter ke sumurnya.
Meskipun sudah dipantek, hal itu tidak menyelesaikan masalah. Menurut pengakuan Laksita, sumur di dusunnya harus sedalam 15 meter jika ingin mendapat air. Itu pun kualitas airnya jelek. Air tanah di Jati sudah terkena intrusi, tercampur air laut sehingga kadang timbul rasa asin.
Laksita, yang tinggal di Umbulharjo, menyebut kualitas air di dusunnya kini lebih buruk daripada sumur tengah kota. Air tanah Umbulharjo, daerah tengah kota berpenduduk padat, berkualitas lebih baik daripada air tanah di Jati, sebuah dusun pinggir kali dengan tingkat kepadatan minim.
Jazaul Ikhsan, peneliti dari Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menyebut ada degradasi sekitar 1-2cm per tahun di Kali Progo. Ia bersama mahasiswa UMY meneliti dampak erupsi Merapi 2010 dan pertambangan pasir di hilir Kali Progo pada 2015.
Jazaul menyebut, transpor sedimen dari erupsi 2010 mengubah bentuk Kali Progo secara signifikan. Selain mengikis tebing sungai, transpor sedimen juga menyebabkan agradasi hingga setinggi dua meter.
Agradasi memang bukan masalah bagi pertambangan. Namun, menurut Jazaul, pertambangan berpotensi mendegradasi sungai. Pasalnya, sejak berdirinya sabo dam pada 1984, transpor sedimen dari Merapi terhenti di dam-dam tersebut. Hal ini mengurangi jumlah sedimen yang mengalir ke hilir Kali Progo. Jika suplai sedimen berkurang, pengerukan material bisa memperparah degradasi sungai.
Alur perizinan untuk menambang pasir Kali Progo sendiri terbilang mudah meski berlapis. Selama ada restu masyarakat dan perangkat desa, rekomendasi teknis dari PUP-ESDM, BLH, dan Balai Besar, kemugkinan besar penambang bakal mendapat izin.
Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Republik Indonesia Nomor 1796 mengatur perizinan tambang harus melalui rekomendasi dari instansi-instansi yang berwenang. Dalam konteks ini, instansi tersebut di antaranya adalah: Badan Kerjasama dan Penanaman Modal DIY, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak, Badan Lingkungan Hidup, dan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu.
Indro pun menyesalkan pertambangan alat berat yang ada di bantaran Kali Progo. Ia menyesalkan dampak erupsi Merapi 2010 yang disebutnya luput dari pertimbangan pemerintah.
“Progo itu sudah surut, tapi orang-orang para pemangku jabatan, BLH, ESDM, itu kan orang-orang di sana tidak melihat situasi yang sebenarnya. Akhirnya dia kalau ada permohonan dari sini, dan ada dukuh tanda tangan, masyarakat tanda tangan, lurah tanda tangan, camat tanda tangan, itu bisa mendapat izin di sana,” ungkap Indro, kecewa.
Indro juga mengaku kecewa dengan warga dan perangkat birokrasi yang mengizinkan pertambangan alat berat. Meskipun mendatangkan untung besar dan kompensasi bagi masyarakat, mereka lebih khawatir terhadap dampak yang ditinggalkan.
Di Jati sendiri, Indro menegaskan warga tidak tergoda dengan kompensasi yang hendak diberikan. “Untuk apa kami mendapat kompensasi, tapi akan terjadi kerusakan-kerusakan,” tegasnya.
Selain itu, kandungan pasir di Jati juga diperuntukkan untuk penambang tradisional. Untuk melindungi pertambangan tradisional, wilayah Jati rencananya akan dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Jika penambang tradisional, warga Jati membolehkan. Alasannya, penambang tradisional tidak merusak alam dan mengeruk pasir dengan kuantitas sedikit, sehingga generasi penerus masih bisa menikmati kandungan pasir itu.
Bantaran kali sendiri dipergunakan oleh warga untuk lahan pertanian dan pakan ternak. Jika ditambang secara tradisional dengan luasan yang tak seberapa, lahan bertani warga tidak terganggu.
Saijo, sebagai kepala pedukuhan, menyebut ada banyak wong cilik yang menggantungkan hidup kepada pasir di bantaran. Tidak hanya warga Jati, penambang dari Srandakan, Kretek, dan Ngentakrejo juga mencari nafkah di situ. “Njur nek di-backhoe, wong cilik-cilik arep mangan apa? (Lalu, kalau dikeruk menggunakan backhoe, orang kecil mau makan apa?)” kata Saijo.
Sampai kapan pun, warga Jati mengaku tidak akan menyerahkan wilayahnya untuk dikeruk alat berat. Meski penolakan tidak lantas membebaskan mereka dari dampak lingkungan, warga tetap bertahan.
Laksita sendiri mengaku, meski wilayahnya bersih dari alat berat, dampak lingkungan dari dusun-dusun sekitar tetap menjalar ke Jati. Meskipun sudah merasakan sendiri dampaknya, mereka enggan menyerah.
“Sebenarnya benar kata mereka, kalaupun kami tidak mengizinkan untuk ditambang pun, kami itu akan habis tergerus dengan air. Tapi memang sudah kesepakatan warga, kalaupun habis itu adalah alam, yang penting bukan kami,” ungkap Laksita.
Ikhsan Abdul Hakim
Reporter: Fahrudin, Ali
Editor: Ahmad Yasin