Ekspresionline.com – Anak-anak harus mendapatkan hak belajar sesuai keinginan mereka. Tidak ada paksaan untuk mengikuti alur pikir orang dewasa, termasuk tuntutan memenuhi target nilai serta kurikulum sekolah formal. Mahjati Nur Amalina mengajak kita berpikir dalam diskusi edukatif “Pendidikan yang Memerdekakan”, Kamis (31/01/2019) di Auditorium FIP, Abdullah Sigit Hall untuk memandang pendidikan dari sisi melawan arus konvensional.
“Pendidikan yang memerdekakan harus didasarkan pada keinginan belajar siswa bersangkutan,” terang Amalina. Untuk menerapkan konsepnya, Amalina langsung melakukan aksi kontributif nyata di lapangan. Amalina aktif menjadi relawan pengajar di Rumah Belajar Indonesia Bangkit (RBIB) di bantaran sungai Kali Code selatan, Yogyakarta.
Kawasan Kali Code merupakan daerah yang kurang mendapatkan pendidikan layak. Bukan karena tidak tersedianya sekolah formal, melainkan kondisi lingkungan, ekonomi keluarga, hingga ekosistem masyarakat yang kurang mendukung. “Oleh sebab itu, Kali Code selatan kami pilih sebagai wilayah target kami,” jelas Amalina.
Amalina mengajak mahasiswa turut serta untuk terjun berkontribusi di masyarakat. Mahasiswa yang notabenenya merupakan kaum terdidik harus sadar dengan keadaan sekitarnya, termasuk konsep pendidikan yang selama ini dianggap memenjarakan siswa.
Berlawanan dengan pendidikan yang memerdekakan, Budi Santosa Gemak, pemateri kedua yang merupakan pelopor Sekolah Anak Alam (SALAM) mengulik secara detail konsep pendidikan yang “memenjarakan” tersebut.
“Pendidikan yang memenjarakan adalah pendidikan yang menjadikan siswa sebagai objek, diharuskan untuk seragam dan sama, pembelajaran berbasis hafalan, hingga kurikulum prosedural yang saklek (kaku),” terang Budi.
Budi menawarkan konsep bahwa setiap anak selalu berkebutuhan khusus. Masing-masing anak memiliki cara dan metode belajar yang berbeda. Paradigma pembelajaran yang menyamaratakan anak di ruang kelas formal adalah cara mujarab untuk mematikan kreativitas anak.
Budi juga menyampaikan bahwa pendidikan merupakan proses kompleks; interaksi antara keluarga, lingkungan, ekosistem masyarakat, sampai kesadaran siswa terkait.
“Jangan sampai pemikiran anak terbelah. Di sekolah, dilarang banyak main handphone, sedangkan di rumah Ibu Bapaknya tiap waktu bermain HP. Anak jadi bingung, tidak ada interaksi yang membangun antara sekolah dan keluarga,” tambah Budi.
Bagi Budi, praktik pendidikan yang memerdekakan bukan sekedar pendidikan yang menyenangkan dengan alat pembelajaran yang menarik. Namun menanamkan tataran metodologi serta paradigma fundamental: cara pandang terhadap pendidikan itu sendiri.
Ivan Kurniawan, salah satu peserta diskusi menyatakan dialog tersebut seharusnya membuka mata kita semua tentang kondisi pendidikan Indonesia dewasa ini. “Pendidikan itu harus fleksibel, sesuai dengan “alam” anak, bukan persepsi orang dewasa yang mengajari anak,” jelas Ivan usai acara.
Diskusi ini dimeriahkan dengan penampilan tari tradisional Sumatera yang dipentaskan oleh Ani Sulistyowati, mahasiswa Seni Tari, FBS dan tari Saman Aceh oleh mahasiswi Psikologi, FIP, UNY.
Abdul Hadi
Editor: Danang S