Ekspresionline.com—Jenderal TNI (purn) Agum Gumelar mengisi sesi kuliah umum pada hari kedua Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), Selasa (20/8/19). Ia menyampaikan materi bertajuk “Implementasi Empat Pilar Kebangsaan di Kalangan Mahasiswa”.
Menurut Agum, materi tersebut ditujukan untuk mengenali dan memahami masalah kebangsaan sebagai dasar untuk membantu implementasi empat pilar kebangsaan (empat konsensus nasional) di kalangan mahasiswa. Selain itu, agar mahasiswa kelak menjadi sarjana yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, berkemampuan daya saing, memiliki integritas pribadi yang baik, serta memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.
Untuk mencapai tujuan di atas, Agum mengajak sivitas akademika UNY untuk mengingat kembali akar sejarahnya. Hal itu dimaksudkan agar bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa yang pelupa dan tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri.
Dalam sesi tersebut, Agum juga menjelaskan bahwa NKRI dibentuk dari perjuangan para pendiri bangsa. Oleh sebab itu, menurutnya, jika saat ini ada kekuatan yang ingin mengganti NKRI dan Pancasila berarti itu adalah musuh negara.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI ini memaparkan bahwa pada masa Soekarno, terdorong euforia kemerdekaan, muncul banyak gerakan separatis seperti DI/TII, PRRI-Permesta, RMS, dan diakhiri oleh pemberontakan G30S 1965.
“Dua kali PKI mencoba untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis, berpaham komunis; Marxis-Leninis, dengan cara pemberontakan. Dari dua kali percobaan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis ternyata tidak berhasil. Artinya negeri kita ini tidak cocok oleh benih Marxis-Leninis,” jelasnya.
Upaya tersebut mendorong disahkannya Tap MPRS RI no. XXV tahun 1966 sebagai payung hukum yang melarang paham Marxisme-Leninisme di Indonesia.
“Saat ini sudah ada rekonsiliasi, tidak ada anak komunis, tidak ada cucu komunis, mereka sudah bisa bekerja di mana saja. Rekonsiliasi seperti ini sebenarnya bagus, ini menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa yang gandrung akan perdamaian, gandrung akan persatuan. Tapi yang harus kita cegah adalah jangan dengan payung rekonsiliasi ada keinginan untuk membangkitan kembali paham komunis,” tambahnya.
Setelah usainya rezim Soekarno, maka tampuk pemerintahan beralih pada Soeharto. Pada masa yang panjang ini terjadi berbagai ekses dari isu globalisasi terhadap bangsa dan negara.
“Demokratisasi berkembang, riak-riak yang terjadi akibat dampak ini masih dalam batas kemampuan aparat waktu itu—saya kebetulan berada di dalamnya—untuk bisa kita kendalikan,” ujarnya.
Namun, pada akhir 1997, terjadilah krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis multidimensi. Bagi Agum, riak-riak yang dipersatukan oleh krisis tersebut menjadi gelombang people’s power pada 1998 yang mengakhiri riwayat Orde Baru.
Ia pun menambahkan bahwa suatu rezim pemerintahan yang terlalu lama berkuasa akan mengakibatkan fungsi kontrol kepemimpinannya tidak efektif. Sehingga mengubah watak demokratis menjadi watak otoriter.
Setelah lepas dari rezim Orde Baru, rakyat Indonesia menghendaki era Indonesia yang lebih transparan, lebih punya kepastian hukum, dan lebih menghormati hak asasi manusia melalui spirit reformasi.
Sayangnya, menurut Agum, semangat reformasi ini juga membawa kerawanan bagi kehidupan bernegara yaitu legitimasi tindakan atas dalih reformasi, kebebasan yang dibiarkan berkembang menjadi sesuatu yang liar, masifnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berkembangnya paham radikal. Agum sendiri mendefinisikan paham radikal sebagai sikap pikir, sikap laku, dan sikap tindak yang ingin mengganti NKRI dan Pancasila.
Pada penghujung sesi, ia juga berpesan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melakukan pembangunan di seluruh sektor kehidupan. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai ujung tombak menuju masa depan reformasi, harus memiliki semangat nasionalisme, daya saing, serta kedisiplinan.
Fiorentina Refani
Editor: Ikhsan Abdul Hakim