Ekspresionline.com–Dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Amandemen berbunyi bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan aturan ini, [di Indonesia] seorang presiden dalam berkuasa tidak boleh lebih dari dua periode.
Alasan sederhana dari lahirnya pasal tersebut adalah karena di negara demokratis dengan sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, presiden memiliki otoritas yang sangat besar – baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara. Semakin besar otoritas seseorang dalam berkuasa maka semakin besar pula kesempatan untuk menjadi korup. Seperti halnya yang pernah dikatakan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Maka dari itu, harus ada pembatasan kekuasaan masa jabatannya.
Sistem Demokrasi
Secara garis besar yang dimaksud dengan demokrasi adalah sistem di mana seluruh warga negara bisa bagi-bagi wewenang dan kekuasaan untuk bersama-sama mengatur negaranya. Namun, karena mengatur sebuah negara tidak mungkin dilakukan oleh banyak orang seperti halnya tidak mungkin sebuah kapal melaju dengan banyak nahkoda dan banyak haluan, maka perlu dibuat sistem agar negara tetap bisa berjalan ke satu arah yang sama, serta semua warga negara tetap memiliki hak dan wewenang yang bisa diakomodasi untuk menghasilkan haluan negara.
Dari situ, muncul sistem demokrasi perwakilan. Di mana setiap warga negara yang ingin berkuasa harus menunjukkan kontribusi nyata sedangkan yang tidak, bisa hanya menjadi warga negara biasa dengan tetap memiliki wewenang yang diwakilkan kepada para dewan perwakilan.
Dewan perwakilan berfungsi untuk mengakumulasi seluruh kehendak rakyat untuk akhirnya menghasilkan sebuah ketetapan atau keputusan agar suatu negara tetap bisa berjalan. Jadi, misalkan ada seorang warga negara menghendaki untuk ada jalan tol, maka ia tidak akan mungkin mewujudkannya secara langsung karena pasti akan bersinggungan dengan warga negara yang lain. Karena itu, ia harus menyampaikan aspirasinya kepada dewan perwakilan.
Selanjutnya dewan perwakilan mengumpulkan aspirasi dari warga negara lain untuk mengetahui apakah warga negara lainnya juga memiliki aspirasi yang sama. Jika benar warga negara lainnya juga menghendaki untuk dibuatkan jalan tol, maka dewan perwakilan akan meninjau untuk dijadikan sebuah peraturan yang akan dieksekusi oleh lembaga eksekutif yaitu pemerintahan. Dalam hal ini, siapapun yang berkuasa dalam pemerintahan haruslah berdasarkan pada kehendak rakyat atau kehendak dari perwakilan rakyat agar otoritas yang ia pegang adalah otoritas dari seluruh rakyat yang ia pimpin.
Masalah dalam Demokrasi
Sistem demokrasi tentu saja tetap memiliki banyak sekali masalah. Salah satunya adalah demokrasi dapat memunculkan sesuatu yang lebih buruk di masa depan. Jika pemerintahannya terlalu lemah maka demokrasi bisa saja memunculkan oklokrasi, yaitu ketika pemerintah dikuasai atau diintimidasi oleh kelompok masyarakat tertentu. Karena kelompok masyarakat tersebut, bisa jadi berbalik mengintimidasi dan menyerang pemerintahan. Inilah yang terjadi pada kartel-kartel di Amerika Tengah.
Sebaliknya jika pemerintah terlalu kuat, maka akan memunculkan oligarki. Di mana pemerintah membentuk sebuah rezim yang kemudian berkuasa secara penuh. Pemerintahan oligarki dapat dengan mudah menguasai aset-aset kenegaraan dan setelah itu dia –yang semestinya diatur oleh rakyat– dapat merekayasa rakyat untuk menciptakan pelbagai peraturan yang disesuaikan dengan keinginannya.
Agar kedua kemungkinan tersebut [oligarki dan oklokrasi] tidak mewujud, maka pemerintah harus dibatasi durasi kekuasaannya. Jika nanti [pemerintah] sudah terlalu lemah, maka bisa segera untuk digantikan dengan cepat. Kalaupun terlalu kuat, pemerintah tidak punya cukup waktu untuk membuat sistem rezim yang akhirnya melahirkan sebuah oligarki.
Alasan yang lainnya adalah alasan psikologis. Ketika Presiden Soekarno berkuasa, ia adalah seorang pemimpin yang bijak, seorang pemimpin yang baik, sekaligus seorang pemimpin yang mampu mempersatukan seluruh elemen bangsa. Namun, setelah Presiden Soekarno berkuasa lebih dari 10 tahun, ia dengan tegas mengeluarkan dekrit presiden yang menerapkan demokrasi terpimpin dan menjadikannya sebagai satu-satunya pemegang otoritas kekuasaan, dari mulai militer, sipil, perwakilan dan sebagainya.
Kita juga dapat melihat pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, di mana ia adalah pemimpin yang jenius di awal-awal pemerintahannya. Namun, setelah dia berkuasa lebih dari 10 tahun, ia akhirnya menjadi pemimpin yang semakin lama semakin antikritik, semakin suka membungkam kritik dengan cara-cara militeristik, dan lain sebagainya.
Kenapa hal seperti itu bisa terjadi? Menurut Dacher Keltner, salah seorang peneliti dari University of California-Berkeley, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan terbiasa untuk membangun aliansi dengan orang lain. Sementara, orang-orang yang memiliki kekuasaan biasanya bisa melakukan hal-hal yang ia inginkan. “Saat Anda mendapatkan kekuasaan, Anda akan berhenti untuk aktif dari lingkungan sosial Anda,” ujar Keltner kepada LiveScience. Maka selanjutnya, orang ini tidak bisa membaca kondisi emosi dari orang lain dengan baik.
Bahkan sebuah studi lainnya yang dipublikasikan pada Psychological Science 2009, mengatakan bahwa orang yang telah ‘terlatih’ untuk berfikir bahwa dirinya berkuasa, biasanya sangat percaya bahwa mereka bisa mengendalikan situasi, bahkan terhadap sebuah kondisi yang acak. Selain itu, Lord David Owen dalam Hubris and Nemesis in Heads of Government – Journal of The Royal Society of Medicine (JRSM), menyebutkan bahwa penguasa yang terlalu lama menjabat sering dihinggapi keangkuhan yang didapatkan dari dampak kekuasaannya selama bertahun-tahun. Bahkan jika ia baik, penilaian dirinya atas kekuasaannya akan cenderung bias.
Sekarang kita bayangkan saja kalau diri kita berkuasa atas satu negara selama 10 tahun dan selalu dielu-elukan, dianggap pintar, dianggap hebat, dianggap menjadi pahlawan, dianggap mensejahterakan rakyat, dan pujian-pujian lainnya. Mungkin saja psikologi diri kita akan merasa bahwa saya adalah orang yang terhebat sehingga saya harus tetap mempertahankan jabatan ini demi kemaslahatan bersama dan alasan-alasan lain yang sebenarnya hanyalah bias. Karena itu, maka pemerintah atau presiden harus dibatasi masa jabatannya.
Rezim Mafia
Alasan pertama dan alasan kedua yang telah dijelaskan di atas, pada akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa presiden itu di negara demokrasi tidak boleh memimpin terlalu lama alias jika dalam konteks Indonesia tidak boleh lebih dari dua periode. Kedua alasan tersebut akhirnya menyatu dalam satu arus yang lebih besar bahwa negara pada akhirnya tidak boleh dikuasai oleh mafia.
Di negara demokrasi, seseorang dapat menjadi pimpinan eksekutif karena dipilih – entah melalui pemilihan umum langsung atau melalui parlemen. Karena ia dipilih maka ia pasti memiliki seperangkat besar orang-orang yang ada di belakangnya untuk mendukungnya. Ketika ia berkuasa, maka ia akan membentuk sebuah jaringan dengan para pendukungnya saja yang jumlahnya sangat besar itu. Kemudian ia akan bagi-bagi kekuasaan pada orang-orang yang telah mendukungnya.
Di sisi lain, ia juga memiliki oposisi yang merupakan lawannya saat proses pemilihan. Kalau ia dapat berkuasa dengan waktu yang cukup lama maka ia memiliki durasi yang cukup untuk menyerap oposisi masuk ke dalam pihaknya atau ia akan menghancurkan oposisi itu jika gerakannya terlalu ekstrim/radikal. Jika itu berhasil ia lakukan, maka ia akan menjadi penguasa tunggal dari sebuah negara.
Jika sudah begitu, maka semua jenis jabatan dapat dengan mudahnya ia atur. Akhirnya setiap lembaga hanya kelompoknya saja yang diberikan jabatan. Kemudian ia akan mengatur masyarakat sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginannya. Dari sinilah muncul satu istilah yang namanya ‘rezim’.
Pada dasarnya istilah rezim merujuk pada pemerintah secara umum. Tetapi di dunia modern, istilahnya cenderung berkonotasi negatif. Dalam Oxford English Dictionary yang berjudul Regime, istilah rezim digunakan untuk penguasa yang otoriter.
Namun demikian untuk bisa mewujudkan itu semua, maka membutuhkan waktu yang sangat lama hingga bertahun-tahun. Menurut dugaan saya prosesnya sebagai berikut.
- Harus membangun sistem penunjang menuju kekuasaan.
- Mengendalikan atau menghancurkan oposisi.
- Mendistribusikan agen-agen yang melestarikan kekuasaan ke seluruh lembaga – umumnya dengan bagi-bagi jabatan kepada kelompok pendukung.
- Menciptakan ketergantungan rakyat kepada pemerintah.
Empat tahapan untuk membentuk rezim tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama. Lebih dari 10 tahun untuk bisa mewujudkannya. Agar hal seperti itu tidak terjadi, sebelum jatuh tempo [10 tahun atau di saat 10 tahun] ia harus dihentikan.
Saat ini, kita di Indonesia bisa merasakan fenomenanya. Bahwa calon-calon dari mafia di masa depan –yang entah siapa orangnya– sekarang sedang kepanasan dan ketar-ketir karena berbagai proyek yang diamanahkan dan memberikan keuntungan cukup besar [bagi mereka] akan segera berakhir di tahun 2024.
Karena kepanikan tersebut, mereka ingin menjadi mafia, ingin menjadi oligarki, ingin menjadi rezim tetapi mungkin saja digagalkan karena masa presiden terbatas, sehingga mereka mengusulkan dua aspirasi. Aspirasi pertama adalah penundaan pemilu dan yang kedua adalah presiden tiga periode. Kedua aspirasi tersebut apapun ceritanya, ujungnya hanya satu yaitu bahwa pemerintahan yang sekarang [harus] bisa berkuasa lebih lama, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk menciptakan suatu yang namanya rezim mafia atau rezim oligarki.
Oleh karena itu, kita harus membangun sebuah kesadaran bahwa supaya rezim mafia atau rezim oligarki itu tidak terlahir dan kemudian berkuasa, maka sangat-sangat diharapkan agar Presiden Jokowi benar-benar tegas untuk menolak jabatan tiga periode. Karena jika tidak maka bisa jadi Indonesia akan mengalami krisis luar biasa yang setara atau bahkan lebih besar dari krisis ekonomi 1998.
Citra Widyastoto
Editor : Ayu Cellia Firnanda