Ekspresionline.com–Saat mendengar kata arsitek atau arsitektur, mungkin yang terlintas dalam pikiran kita adalah bangunan megah, istana, dan tidak jauh dari kehidupan kelas atas. Arsitektur dalam kajian akademik merupakan sebuah cara pandang akan keindahan, ide, dan materi berwujud bangunan pakai.
Namun, konsep dan hakikat arsitektur dalam pemahaman masyarakat sangat berbanding terbalik. Selama ini, jasa arsitektur dalam pandangan masyarakat lekat dengan orang-orang berduit. Konstruksi sosial, feodalisme di masa lalu, dan praktik arsitek yang diketahui secara umum pada masa sekarang, agak-agaknya menciptakan stigma “keindahan arsitek hanya untuk orang kaya” dan “sesungguhnya tidak ada keindahan dalam dunia arsitektur di kalangan masyarakat bawah”, masih dan mungkin akan terus melekat di masyarakat.
April, salah satu mahasiswa dari jurusan Arsitektur Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), merasa resah atas pandangan yang melekat pada dunia arsitektur. Tidak hanya April, beberapa mahasiswa arsitektur yang tergabung dalam Forum Arsitektur Kampung Kolaboratif (FAKK), juga merasa istilah arsitek dan arsitektur telah disalahpahami oleh khalayak.
“Kami ingin menyingkirkan stigma arsitektur yang selalu memerlukan biaya mahal. Kami mau lebih terbuka kepada masyarakat, bahwa arsitek itu nggak mahal,” ungkap April.
FAKK sendiri merupakan sebuah forum kolaboratif untuk para arsitek yang memiliki ketertarikan pada pemenuhan kebutuhan jasa atau keterlibatan arsitek pada masyarakat, dengan desa sebagai tujuan utama keterlibatan mereka. FAKK sendiri terdiri dari tim inti desain yang berjumlah empat orang, empat orang sebagai tambahan, dan seorang pembimbing lapangan. Pandangan akan pentingnya lokalitas dalam segi bangunan, potensi dusun dapat ditumbuhkan dan diberdayakan semaksimal mungkin.
“Selain memangkas jarak, kami juga ingin memperlihatkan kalau kita [FAKK dan masyarakat] bisa membuat bangunan dengan material seadanya,” lanjut April.
Architecture Without Architects: The Way To Kill a Magnificent
Jika dilihat pada spektrum yang lebih luas, ternyata keresahan akan stigma eksklusivitas dunia arsitektur, juga dialami arsitek terdahulu. Bernard Rudofsky, salah satu arsitek yang geram dengan stigma sekaligus fakta di mana dunia seni bangunan memang cenderung bertumpu pada objek kemegahan dan keagungan. Sebuah bangunan dapat dikatakan memiliki nilai arsitektur jika ia memenuhi syarat akan kemegahan itu.
Fakta bahwa istilah arsitektur dan praktiknya, muncul pada era renaisans di Eropa, di mana Seniman berlomba-lomba merancang bangunan dengan pendekatan disiplin seni sebagai ornamennya. Unsur kemewahan dan keagungan menjadi hal wajib dalam proses perancangan. Guna sebagai medium rekognisi kejayaan dan keagungan peradaban Yunani–Romawi, propaganda kesucian gereja, dan protes atas dibatasinya akses akan ilmu pengetahuan. Semua ekspresi masa renaisans diaktualisasi dalam seni bangunan yang kemudian mereka sebut sebagai architecture.
Motif para arsitek masa renaisans, seakan menjadi warisan mutlak, tanpa adanya pertimbangan ulang mengenai semangat dan kondisi zaman yang sudah berubah. Akibatnya, kemewahan dan keagungan tersebut menjadi patokan apakah sebuah bangunan memiliki unsur arsitektur atau tidak. Lantas, dewasa ini berujung pada stigma keindahan arsitek hanya untuk orang kaya.
Dengan keresahan itu, Rudofsky terpantik melihat praktik seni bangun dengan sudut pandang lain. Sudut pandang yang menjadi antitesis stigma akan kemegahan. Diketahui buah dari keresahan Rudofsky melahirkan aliran arsitektur yang disebut arsitektur vernakular.
Vernakular menjadi aliran arsitektur yang cukup baru. Istilah vernakular sendiri merujuk pada penyebutan bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, struktur, detail-detail bagian, ornamen, dan lainnya).
Sejak awal kemunculan penyebutan arsitektur vernakular pada sekitar 1960-an, sang penggagas Rudofsky dengan lantang menyebutkan architecture without architects sebagai antitesis akan kemegahan dan keagungan yang selalu melekat pada dunia seni bangunan.
Ungkapan yang menjadi terkenal akibat terbitnya buku dengan judul serupa, menuai interpretasi mengenai apa yang dimaksud architecture without architects? Apakah merujuk pada eksklusivitas dunia arsitektur atau tidak dibutuhkan lagi profesi arsitek?
Bagi Rudofsky, istilah itu merujuk pada klasifikasi bangunan yang memiliki nilai arsitektur tanpa ada campur tangan profesional spesialis arsitek secara tunggal dalam pembangunannya serta jauh dari unsur kemewahan dan keagungan.
Beberapa tahun setelah terbitnya buku dari Rudofsky, seorang arsitek Polandia bernama Amos Rapoport merespon melalui bukunya Hause Form and Culture. Bagi Amos, architecture without architects tidak hanya merujuk pada klasifikasi bangunan, tetapi juga merujuk pada fungsi, nilai, dan acuan atau paradigma pada proses penciptaan bangunan. Maka dari itu, bangunan tidak hanya dipandang sebagai sebuah tempat atau benda, tetapi juga sebagai refleksi dari kebudayaan dan spiritualitas.
Amos menjadikan vernakular sebagai paradigma untuk mendesain kerangka konstruksi material yang terjangkau di daerah tempat bangunan itu hendak dibangun. Konstruksi tersebut bisa dipahami dan dieksekusi secara kolektif dengan warga setempat, sehingga tidak ada kepakaran satu pihak (arsitek) dalam proses penciptaan bangunan.
FAKK X PARI : Kolaborasi dalam Memangkas Kepakaran dalam Dunia Arsitektur
Barangkali kata kolaborasi dapat merepresentasikan maksud dan tujuan awal dari konsep arsitektur vernakular. Tidak adanya kepemilikan tunggal dan proses pembangunan tunggal dari bangunan yang berlabel vernakular. Konsep kolaborasi juga digunakan oleh FAKK dalam melakukan praktik arsiteknya. Dengan berkolaborasi, tujuan FAKK tentang “memangkas jarak” antara arsitek dan masyarakat barangkali terwadahi dengan medium vernakular ini.
Kelompok arsitek yang dibentuk belum lama tersebut, telah selesai berkolaborasi dengan Panen Apa Hari Ini, Kelompok Wanita Tani (KWT), Mawar IV, dan Pak Sadir, Petani Pepaya di Dusun Ngentak, Bangunjiwo. Adapun dalam project kolaborasi tersebut, FAKK merancang desain kerangka bangunan seperti satu gazebo, satu sitting group, dua menara air, satu raised bed, dan pagar keliling yang berbahan bambu.
FAKK mendesain bangunan berdasarkan kebutuhan KWT dan Pak Sadir, serta memperhatikan unsur lokalitas dari sebuah desa. Setelah kerangka desain selesai dikerjakan, FAKK dan warga melakukan penyelarasan akan rancang desain bangunan tersebut.
Proses kolaborasi yang berlangsung kurang lebih dua bulan itu, jika direfleksikan menampilkan berbagi rangkaian kegiatan. Mulai dari bagaimana FAKK melakukan pendekatan secara kultural dengan warga Ngentak, sampai kemudian pada proses realisasi kerangka desain dengan sistem kerja gotong royong.
“Kali ini aku berkolaborasi dengan anak-anak arsitek, mereka diajak bermain ke lahan warga, dengan itu, teman-teman arsitek memiliki respon tersendiri terhadap hal tersebut,” ujar Anang.
Jika arsitek pada umumnya menetapkan kepakaran dalam proyek sebuah bangunan, maka berbeda dengan FAKK, dari semua rangkaian proses melibatkan warga Ngentak, termasuk penggunaan dan pengumpulan material untuk bangunan. Misalnya untuk membangun pagar, material kayu, bambu, dan botol plastik dikumpulkan oleh warga. Ketersediaan kayu dan bambu didapat dari kebun bambu milik salah satu warga Ngentak, dan sisa pemasangan umbul-umbul (bendera) perayaan 17-an.
“Untuk material bambu sebagian saya minta ke Pak Kades, dari sisa pemasangan umbul-umbul 17-an. Karena nggak kepakai, makanya kita gunakan saja,” ujar Agil, ketua RT 04, Dusun Ngentak (6/9/23).
Hampir seluruh material untuk bangunan menggunakan bambu, dengan beberapa ornamen tambahan lainnya seperti genteng bekas pakai dan botol plastik. Botol plastik digunakan untuk ornamen pada pagar keliling. Penggunaan botol plastik sebagai penyusun kerangka bambu pada pagar tersebut, terpantik karena melihat beberapa bulan terakhir Yogyakarta sedang dalam kondisi darurat sampah.
“Penggunaan ornamen botol plastik sebagai salah satu langkah kecil bagi warga Ngentak, untuk menanggulangi krisis sampah di Jogja,” pungkas April.
Pada hakikatnya, lokalitas merupakan unsur terpenting dalam arsitektur vernakular, selain mengacu pada konsep architecture without architect, juga merujuk pada material yang menandakan unsur lokalitas tersebut. Dengan menggunakan material yang tersedia di suatu daerah, yang kebanyakan berasal dari alam, sehingga akan menimbulkan interdependensi atau ketergantungan antara manusia dan alam. Jika keduanya sudah terikat dan saling bergantung, maka keduanya akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing.
Hayatun Nufus
Editor: Nugrahani