Mendudukkan makanan semata untuk memadamkan kelaparan hanya akan berakhir sebagai onggokan tahi. Fungsi makanan yang sekadar mengenyangkan perut mengingkari kenyataan bahwa makanan juga menyangkut laku manusia. Melalui Aruna dan Lidahnya, sutradara Edwin mengupayakan agar makanan bisa disikapi lebih dari sekadar urusan perut.
Usaha pertama Edwin setidaknya bisa ditandai pada karakter Aruna sendiri. Sosok wanita karier yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo ini dipoles untuk menghadapi problem pekerja kantoran: beban tugas dan rutinitas. Dua hal itu menjadi lingkaran setan yang tetap dijalani. Kendati demikian, kegemarannya pada makanan adalah pelarian yang tak bisa ia dustakan.

Aruna menegaskan: “Makanan itu punya kekuatan yang sama dengan alam semesta. Dia menghubungkan kita ke berbagai macam orang. Dia juga melahirkan banyak kemungkinan baru.”
Penegasan Aruna tersebut menguatkan relasi makanan dengan penikmatnya. Seolah-olah makanan harus beriringan dengan urusan-urusan personal dan publik. Pada awal film, relasi Aruna dan makanan diperlihatkan sebagai hubungan yang sangat personal ketika ia sedang memasak sop buntut sendiri. Lewat sebuah monolog, persoalan enak dan tidak enak makanan dilemparkan: apakah tergantung makanannya atau tergantung dengan siapa kita makan? Monolog Aruna di awal film seakan pancingan untuk konflik yang dialaminya.
Aruna sesungguhnya wujud paripurna seorang single yang berada di usia 30-an: tarik-ulur antara memilih karier atau berberes untuk menikah. Masalah yang dialami Aruna memang rada klise. Tetapi, secara cerdas, konflik ini tidak dibiarkan bertele-tele untuk menekan Aruna.
Hubungan Aruna dengan Bono dan Nad juga dijembatani oleh makanan. Dua orang terakhir ini secara profesional akrab dengan makanan. Bono berprofesi sebagai koki di restoran. Sementara Nad adalah seorang traveler dan penulis buku kuliner dari tempat-tempat yang pernah dikunjunginya.
Ketiganya akhirnya terlibat penjelajahan kuliner di empat kota (Surabaya, Pamekasan, Pontianak, Singkawang). Rute penjelajahan ini disesuaikan dengan tugas Aruna menginvestigasi virus flu burung. Inilah upaya kedua Edwin yang menunjukkan keterhubungan makanan dengan manusia. Bersama kedua temannya, Aruna menemukan jalan dari runyamnya pekerjaan: mencicip kuliner di empat kota tersebut.
Persoalan rasa kemudian berkembang pada perkara kolektif. Relasi mereka tidak cuma atas dasar kepentingan memanjakan lidah, melainkan hasrat untuk berkumpul.

Film tidak hanya menampilkan adegan ketika sedang makan di restoran atau warung, melainkan juga menyuguhkan aktivitas makan saat sedang ngobrol di kamar hotel atau di jalan. Dua tempat terakhir ini terobosan dari kebiasaan menyantap makanan.
Penilaian atas hal ini mungkin berlebihan. Apa yang intimewa dari berubahnya cara makan orang?
Tunggu dulu. Urusan makan ini menyangkut hajat hidup manusia. Di Indonesia, cara menyikapi makanan bahkan menunjukkan sebuah tatanan sosial tertentu. Berubahnya kebiasaan makan dari memakai tangan kosong menjadi bersendok tak lepas dari silang budaya dan silang peradaban. Kolonialisme turut berandil mengubah cara kita menyikapi makanan dan memengaruhi perspektif kita soal keadaban makan.
Aktivitas makan di Aruna dan Lidahnya coba mendekonstruksi pakem-pakem yang kadung mapan. Ihwal makanan dikemas sebagai sesuatu yang dinamis, sama halnya dengan manusia. Makanan menandai perubahan karakter tokoh dan berubahnya pandangan orang terhadap makanan.
Ambil contoh si Farish. Tokoh ini dicitrakan sangat formal dan struktural. Ia diutus oleh kantor yang sama dengan Aruna untuk menyupervisi investigasi Aruna. Dalam beberapa kesempatan, Farish terlihat prosedural, seperti pemakaian baju pelindung yang dianggap Aruna berlebihan dan pertanyaan-pertanyaannya terhadap pasien terduga flu burung yang tidak sekultural Aruna.
Wajarlah Farish tidak menerima jelajah kuliner Aruna, Bono, dan Nad yang menyela tugas investigasi kantor. Akibat sikapnya itu, pandangan Farish terhadap makanan juga kaku. Farish memandang makanan sebagai kebutuhan biologis manusia. Seperti yang dikatakannya, “Bagiku makanan ya jelas, bikin kenyang.”

Pandangan Farish terhadap makanan berbanding terbalik dengan Aruna. Relasi Aruna—juga Bono dan Nad—dengan makanan berlangsung secara personal, bahkan amat romantik, dari mulai dimasak sampai dihidangkan. Gampangnya, mungkin kita bisa menyebut Farish sebagai pemakan, bukan penikmat.
Perubahan karakter Farish secara drastis juga secara tidak langsung disebabkan oleh makanan. Sejak bertemu dan mengobrol dengan Nad di restoran hotel, Farish mulai mengapresiasi makanan dan lebih menerima penjelajahan kuliner mereka, walaupun sesungguhnya merupakan pendekatan Farish kepada Aruna.
Aruna dan Lidahnya benar-benar mengekplorasi makanan. Kita disuguhkan dengan perubahan karakter dengan keberadaan makanan sebagai pintu masuknya. Makanan menjadi elemen utama untuk membangun situasi.
Pengambilan gambar yang merekam keseluruhan proses pembuatan makanan cukup untuk cuci mata di tengah investigasi yang penuh kejanggalan (data yang tidak sesuai dengan di lapangan) dan drama antara Aruna dan Farish.
Hubungan manusia dengan makanan tidak hanya soal perut, tetapi menyangkut juga pemahaman soal rasa. Mengutip Masimo Montanari dan Jean Anthelme Brillat-Savarin (dalam Fadly Rahman, 2016: 13), rasa dari hasil kita mengindera makanan terbentuk atas interaksinya dengan ruang-ruang geografis, bahasa, identitas, dan sosial. Rasa, meskipun absurd dideskripsikan, tetapi memantik individu untuk berkembang dengan terus memperbarui sikap kita kepada makanan agar tidak sama dengan sebelumnya. Aruna dan Lidahnya setidaknya sudah mengupayakannya.
Ahmad Yasin
Editor: Ikhsan Abdul Hakim