Ekspresionline.com—Sebelum novel Kura-Kura Berjanggut terbit, Azhari Aiyub bukanlah nama asing di sastra Indonesia kontemporer. Namun berkat novel ini, namanya kembali diperbincangkan di panggung sastra Indonesia akhir-akhir ini. Tahun lalu, ia menyabet penghargaan kategori prosa Kusala Sastra Khatulistiwa.
Boleh dikata kalau Kura-Kura Berjanggut adalah adikarya Azhari. Novel ini memuat kisah Lamuri (Aceh) menjelang era imperialisme. Tak seperti citra Aceh kontemporer, Lamuri dalam novel Azhari adalah sebuah dunia yang penuh dengan bandit dan sangat kosmopolit. Ia novel tebal yang dipenuhi humor, mitos, dan hal aneh; agak berbeda dari karya Azhari sebelumnya, Perempuan Pala.
Di Perempuan Pala, Azhari sebagai pengarang muda menceritakan Aceh modern dari gejolak emosi tokoh-tokohnya. Cerita Azhari berkisar pada penghilangan paksa, penyiksaan, dan pembunuhan yang marak selama operasi militer di Aceh. Pengalaman-pengalaman muram itu mewarnai corak kisah-kisahnya. Dan Kura-Kura Berjanggut, pada satu sisi, adalah upayanya untuk menepi dari “kesakitan” Aceh pada masa itu.
Di sisi lain, Azhari mengaku sangat ingin menuliskan Aceh yang sekarang. “Saya punya obsesi, suatu hari nanti saya akan kembali ke sini [Aceh modern],” katanya dalam wawancara dengan kami.
Reporter EKSPRESI, Ikhsan Abdul Hakim dan Rizal Amril menemui Azhari setelah mengisi sesi diskusi bertajuk “Saya, Kura-Kura Berjanggut, dan Sejarah Aceh” di Kampung Buku Jogja, Selasa (3/9/2019) lalu. Salah satu penggagas Museum Hak Asasi Manusia Aceh ini membagi pendapatnya perihal sejarah, mitos, dan penerapan syariat Islam. Ia juga bercerita tentang riwayat kepengarangannya dan bagaimana kebengisan militer di Aceh modern mempengaruhi hidupnya.
Saya pernah baca tulisan soal jejak kepengarangan anda. Di tulisan itu, ada seorang penyair Aceh yang sangat berkesan bagi anda. Nah, selain penyair Aceh itu, tokoh atau karya sastra apa yang membentuk kepengarangan anda saat ini?
Saya kan sebenarnya terlambat bertemu dengan sastra Aceh. Waktu kecil, saya nyaris tidak bertemu dengan sastra Aceh—dalam bentuk tertulisnya, ya. Saya tidak bertemu sastra Aceh yang ditulis dari masa lalu, seperti Teungku Chik Geulima yang nulis Si Ujud. Kan saya terpengaruh oleh dia, bagaimana dia menggambarkan Si Ujud dalam Hikayat Malem Dagang. Saya juga baru dengar Hikayat Prang Sabi itu belakangan, waktu demo-demo menjatuhkan kediktatoran [Soeharto], saya baru bertemu dengan hikayat-hikayat itu.
Tapi secara lisan itu sering dengar. Di kampung, ibu-ibu meninabobokkan anak-anak dengan hikayat itu [Hikayat Prang Sabi]. Tapi saya tidak tahu bahwa itu adalah satu bagian dari hikayat yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu yang nulis Hikayat Prang Sabi. Sepenuhnya saya dengar ini lisan. Kan sastra bukan sesuatu yang lisan? Dongeng-dongeng itu saya dengar dari ibu-ibu, dari nenek, misalnya.
Kalau yang tertulis, saya mulai bertemu dengan buku-buku Balai Pustaka—buku cerita anak yang diproduksi pada saat Orde Baru. Dan agak netral menurut saya buku-buku itu. Dikhususkan untuk anak dan hampir tidak ada nilai edukasi di situ. Itu berbeda sekali dengan sekarang. Saya nggak tahu apakah Orde Baru agak luput ini. Jadi itu [buku cerita anak], pelan-pelan bisa membuka imajinasi kita untuk melihat keluar, untuk melihat sesuatu yang lain.
Kemudian penyair yang anda sebutkan tadi, apa yang anda maksud Fikar W. Eda? Atau siapa? Mungkin Chik Pante Kulu itu; karena mahasiswa-mahasiswa pada zaman menjatuhkan Soeharto, untuk membakar semangat massa, selain lagu “Darah Juang” mereka baca itu [Hikayat Prang Sabi]. Dan bisa kerasukan orang-orang kalau dengar itu, terutama kalau yang bahasa ibunya bahasa Aceh.
Di Perempuan Pala, saya merasakan emosi anda sebagai pengarang di “pinggiran” yang menceritakan represi “pusat”. Sementara di Kura-Kura Berjanggut, gaya penceritaan anda berubah jadi cenderung mendongeng. Motif apakah yang membuat perbedaan gaya penceritaan di dua karya tersebut?
Perempuan Pala kan buku pertama saya. Saya tulis itu mungkin waktu saya berusia 20-an. Waktu itu Aceh sedang konflik. Operasi militer sedang berlangsung, dan kita baru tahu tentang kekejaman Orde Baru itu, tentang Kopassus itu kan setelah Soeharto jatuh. Sebelum itu saya sebagai orang yang tinggal di Banda Aceh, yang jaraknya dengan tempat konflik—tempat pembantaian massal itu mungkin tiga-empat jam perjalanan ke Pidie, ke Lhokseumawe; ke Aceh Timur enam jam perjalanan; kami yang di Banda Aceh tidak tahu apa-apa selama masa Orde Baru. Tapi orang-orang di situ tahu ada mayat yang dibuang, ada penculikan, ada extrajudicial killing terhadap penduduk.
Nah, itu baru kami semua tahu setelah Soeharto jatuh. Itu kan membuat marah. Mahasiswa marah segala macam, penduduk marah, orang-orang di mana-mana marah setelah mendengar itu kan. Itu mungkin [penyebab saya] menjadi sangat emosional. Dan itu mengawali masa kepengarangan saya.
Itu pertama. Yang kedua, Perempuan Pala saya tulis juga ketika Aceh di bawah darurat militer. Jadi di sana yang berkuasa adalah otoritas militer, otoritas penguasa darurat militer; jadi sipil tidak berperan sama sekali. Dan waktu itu ada sensor yang sangat ketat terhadap informasi yang keluar dari Aceh.
Aceh kan seperti diisolasi, persis seperti Papua sekarang. Tapi agak sulit [penyensoran] di Papua sekarang karena ada media sosial. Tapi di Aceh waktu itu belum ada media sosial, internet belum begitu berkembang seperti sekarang. Satu-satunya tumpuan, harapan kita waktu itu adalah pers, pers nasional.
Ya, kan tapi wartawan pers nasional memakai rompi antipeluru yang diberikan oleh militer. Mereka mengikuti apa yang disebut embedded journalism—melekat sama militer mereka. Jadi mereka menulis laporan dari sudut pandang militer. Para wartawan, yang bekerja untuk media-media nasional, mereka “bermuka dua”. Siang hari menulis untuk media mereka, sore hari mereka menulis untuk media underground seperti Acehkita yang dulu dikelola oleh Dandhy Dwi Laksono dan kawan-kawan.
Nah, mereka menulis [di media underground] itu karena tidak boleh [di media nasional]. Sensor sangat kuat, baik sensor dari militer sendiri maupun sensor oleh redaksi koran-koran nasional atau di televisi-televisi nasional. Jadi terpaksa wartawan-wartawan pada waktu itu—ya istilah yang tepat—“bermuka dua”. Semua orang—bukan hanya wartawan—pada waktu itu “bermuka dua”.
Di situlah saya mulai menulis cerita pendek yang terkumpul dalam Perempuan Pala. Tidak ada cara lain saya pikir. Saya harus menulis sesuatu dan bentuknya adalah cerita pendek. Ya mungkin tidak sepenuhnya mengikuti Seno yang di Saksi Mata itu, ya. Itulah kira-kira.
Waktu saya menulis Kura-Kura Berjanggut, saya sudah lepas dari seluruh emosi itu. Itu semua hanya pertunjukkan teknik, kan? Tapi waktu di Perempuan Pala, hampir sebagian besar adalah emosi. Makanya itu juga, agak sulit saya sekarang hendak menulis lagi tentang Aceh walaupun saya sangat ingin. Karena saya tidak mau terganggu dengan emosi ini. Itu membuat kita tidak leluasa dalam menulis. Lebih mudah bagi saya untuk menulis sesuatu di luar emosi seperti ini [Kura-Kura Berjanggut].
Ketika menulis sastra, apakah anda berusaha mengambil jarak dari pengalaman sehari-hari sebagai warga Aceh yang punya sejarah represi yang panjang. Apakah anda berusaha menghindari itu?
Ya, saya sebisa mungkin menghindari itu, karena itu tidak menyenangkan—untuk sekarang, ya. Tapi saya punya obsesi, suatu hari nanti saya akan kembali ke sini [Aceh modern]. Karena begini, kalau semisal saya mulai dengan ini [Aceh modern] mungkin tidak akan selesai juga. Mungkin ada semacam kesakitan yang harus saya tanggung. Maka saya mulai dulu dengan yang seperti Kura-Kura Berjanggut atau sejenis itu, ya. Nanti ketika ini sudah ada, ya saya akan mencoba [menuliskan Aceh yang sekarang]. Jadi secara waktu saya tidak akan rugi. Kalau buku sudah ada, kita bisa berhenti kalau misal kita “sakit”.
Bayangkan, saya misalnya membantu kawan-kawan di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Mereka mengambil pernyataan dari orang-orang yang keluarganya dibunuh, diculik, disekap di kamp-kamp penyiksaan. Itu sakit sekali untuk kita baca kronologi itu. Sakit sekali waktu kita baca. Dan saya nggak sanggup.
Sekarang kan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang berjalan. Itu [KKR] lembaga negara, dibentuk pemerintah Aceh untuk menyelesaikan persoalan masa lalu.
Apakah novel Kura-Kura Berjanggut kemungkinan menjadi “awal” dari cerita anda selanjutnya yang membahas kondisi Aceh atau Indonesia kontemporer?
Betul, saya akan mencoba masuk ke situ pelan-pelan. Saya punya beberapa—anggaplah, premis cerita soal konflik. Premis-premis yang menurut saya sangat menantang. Tapi kan ini masih di tahap itu [premis]. Ketika kita masuk, itu yang saya khawatirkan sebenarnya; akibatnya yang saya khawatirkan. Bukan kepada orang lain, tapi kepada jiwa saya sendiri. Ya menurut saya, sekarang ini saya mau senang-senang dulu sebentar.
Tadi anda bilang bahwa pada masa Orba, akses informasi itu sangat dibatasi (sehingga kebenaran tidak terarsip dengan baik), dan ini terkait juga ke distorsi sejarah yang menjadi sumber novel Kura-Kura Berjanggut. Kalau anda menghadapi kekaburan sejarah itu bagaimana, terutama di Aceh?
Sejarah tentang Aceh kan selalu tentang kekerasan, ya. Memang tidak ada yang menyenangkan dari kolonialisme. Iya, kan? Tetapi kalau kita lihat di Jawa, Sumatera Timur, Sumatera Utara, Padang itu ada sisi-sisi yang menyenangkan. Misalnya aspek pendidikan, aspek politik etisnya, ya kan? Tapi kalau di Aceh itu hampir sepenuhnya bergelimang dengan kekerasan.
Itulah ketika saya mulai melihat sejarah, dan kebetulan saya menulis fiksi. Tentu saja—seperti yang saya sebutkan tadi—saya tidak menulis sejarah; tapi tantangan saya adalah bagaimana orang bisa menganggap itu sebagai suatu sejarah. Kalau kita menulis sejarah kan berarti kita harus terpaku pada sumber-sumber sejarah. Seperti kebanyakan novel-novel historical fiction kita, mengikuti kronologi sejarah.
Tapi saya tidak, saya berusaha menulis sesuatu yang bukan-sejarah, tapi efeknya dianggap sebagai sejarah. Tantangan bisa saya selesaikan ketika ada pertanyaan, “Ini betul tidak?”. Tapi dari mana rujukan pembaca dalam mempertanyakan itu? Rujukan mereka datang dari buku-buku sejarah itu. Tapi kan karena ini fiksi, sudut pandang sangat tergantung kepada kita, bukan lagi tergantung kepada sumber atau cara menganalisis sumber.
Berarti dengan kata lain ingin menciptakan mitos?
Betul. Kalau kita lihat lagi, bagaimana pendapat kita terhadap sumber sejarah? Sejarah kan tidak mungkin ditulis tanpa sumber. Bukan sejarah namanya kalau tanpa sumber. Apakah dia datang dari sumber lokal seperti babad, seperti hikayat—kalau di Aceh.
Bagaimana sumber itu pada awal mula sekali direkonstruksi? Itu kan fiksi. Sumber-sumber itu semuanya fiksi. Catatan-catatan perjalanan para pelaut itu kan semuanya fiksi. Itu kan dikarang oleh seseorang. Dengan intelektualitas dia, dia membuat itu. Dan dia menancapkan wawasan dunia dia kepada teks tersebut. Artinya itu tidak datang kepada kita sebagaimana kenyataan tampak pada waktu itu.
Tapi karena sejarah itu harus bersumber, ya kita tidak bisa bilang apa-apa. Itu betul karena ada sumber. Kayak debat soal Sriwijaya sekarang, bagaimana kita bilang itu tidak betul? Sementara sumber itu ada—kecuali dia tidak punya sumber.
Itu sama seperti fiksi yang dibangun bahwa Borobudur adalah punya Nabi Sulaiman, kan? Masalahnya dia tidak punya sumber. Tapi mungkin kalau ada babad yang ditulis pada, misalnya, abad ke-17, itu kan jadi sesuatu yang menarik. “Ini ada sumbernya, lho. Ditulis oleh Mpu ini,” misalnya. Kan begitu yang namanya pertarungan wacana di dalam kehidupan kita sehari-hari. Nah, maksud saya begini.
Soal Hamzah Fansuri di Kura-Kura Berjanggut, meski tadi anda sudah bilang kalau Hamzah di novel bukan Hamzah yang kita kenal, ya, tapi motif apa yang melatari anda untuk memunculkan Hamzah dengan cara demikian?
Nah, kalau nggak ada Hamzah, Kura-Kura Berjanggut itu kan semuanya tentang ekonomi-politik; pertarungan politik, pertarungan ekonomi. Karena begini, ya, kalau kita bayangkan Sumatera waktu itu kota-kotanya sangat kosmopolit, yang kehidupan mereka sehari-hari diwarnai persaingan ekonomi-politik, mana mungkin tidak ada orang seperti Hamzah? Ini [Lamuri] kan satu kota terbuka, yang orang asing datang berniaga, bertukar barang, bertukar pengalaman, bertukar pengetahuan juga. Pastilah ada model-model orang seperti Hamzah.
Jadi, Hamzah sebenarnya ingin mempertegas tempat yang bernama Lamuri itu sebagai satu kota yang terbuka. Walaupun politik juga akhirnya yang memberangus ide-ide orang seperti Hamzah. Tapi [ide] itu bisa terus hidup. Tidak mungkin kota terbuka bisa bebas dari pengaruh-pengaruh seperti ini, walaupun itu dianggap kriminal.
Seperti anak punk. Aceh sempat ada keinginan untuk membebaskan kota dari anak punk beberapa tahun yang lalu. Itu kan seperti menolak takdir. Sementara Banda Aceh pada waktu itu sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisata. Ya kalau kamu mau mempromosikan pariwisata, dan targetnya orang asing, maka hal-hal seperti ini [budaya punk] juga ikut masuk.
Bagaimana persepsi anda terhadap kebudayaan Indonesia? Meski terdiri dari banyak etnis dan kebudayaan, tapi yang paling sering mengisi ruang perbincangan itu kebudayaan Jakarta, kebudayaan Jawa. Sebagai warga Aceh, menanggapi kondisi tersentralisasi seperti itu bagaimana?
Sekarang agak relatif lebih longgar, ya. Internet mungkin yang membuat itu relatif lebih longgar. Bayangkan misalnya Felix K. Nesi—sudah baca punya dia? Itu kan tentang Kupang, yang mungkin sama jauhnya dengan Aceh—kalau kita tetapkan “pusat” itu sebagai Jakarta dan Jawa. Dengan cara itu, kita bisa dapat sesuatu yang lain, kan? Menjelang masa pendudukan [Timor Leste] atau tentang Kristiani, misalnya; kebudayaan yang berbeda sekali dari kebudayaan yang didominasi Islam.
Tapi bagaimana kita bisa dapat seperti ini? Tentu saja salah satu faktornya adalah internet. Yang namanya internet ini kan bisa membuat kita mempersingkat jarak ruang dan waktu, kan? Dan saya pikir ekosistemnya bagus—dalam beberapa tahun terakhir saya pikir ekosistem sastra kita lumayan bagus. Nggak terbayang ekosistem sastra kita seperti ini waktu Orde Baru dulu. Bayangkan, [saat Orde Baru] ada yang namanya “warna lokal”, misalnya. Itu kan penghinaan betul. Dan penamaan itu datang dari Jakarta, padahal Jakarta itu kan juga sesuatu yang lokal?
Ya tapi yakinlah kita akan dapat lagi yang seperti Felix itu. Sangat bagus itu menurut saya. Bukan hanya cara dia menulis, tapi bahan-bahan yang digunakan juga memperkaya kita. Bagaimana kita bisa tahu tentang Kupang—bagi saya yang berada di wilayah yang dikontrol syariat Islam, misalnya; tentang Kristiani, tentang pastor-pastornya segala macam. Ternyata sama juga dengan ustaz-ustaz saya di sana; yang baru-baru ini kita dengar ya soal dia sodomi anak-anak muridnya segala macam, kan?
Di samping yang diketahui umum soal penerapan syariat Islam yang ketat, kondisi di akar rumput Aceh sendiri bagaimana?
Kalau ditanya sekarang soal syariat Islam, orang setuju semua dengan syariat Islam. Hanya sedikit sekali orang yang menolak. Maka orang-orang seperti saya atau beberapa yang lain itu tidak banyak. Mungkin tidak sampai 500 orang. Di bawah [akar rumput], mereka mau syariat Islam.
Tapi syariat Islam seperti apa? Ada banyak model syariat Islam. Ada syariat versi kekuasaan yang mengontrol dan melarang melulu; dan ada model syariat Islam seperti di bawah yang sangat genuine.
Saya kasih contoh, misalnya, kemarin ada orang pakai jubah, kopiah, berjenggot segala macam datang ke satu desa di Aceh. Dia orang dari Medan kalau tidak salah, atau dari Jawa. Dia disambut di satu masjid dan disuruh berdiri untuk menjadi imam sembahyang magrib. Tahu apa yang terjadi? Dia Alfatihah nggak bisa, dan ternyata ini orang gila.
Begitulah kira-kira syariat Islam di Aceh. Jadi penuh simbol—kayak Gereja Katolik juga dengan macam-macam itu; penuh dengan simbol.
Tapi ketika misalnya ada upaya-upaya untuk mengejek syariat Islam, menentang syariat Islam, ya itu akan berhadapan dengan massa. Massa bisa marah. Dan mereka juga tidak tahu kenapa mereka bisa marah.
Nah, yang berbahaya hal-hal seperti ini. Inilah yang dimanfaatkan oleh partai politik, ormas, oleh pesantren-pesantren, misalnya; terutama untuk kepentingan ekonomi-politik. Di pemerintah Aceh, anggaran untuk dayah [pesantren] itu 400 miliar per tahun. Jadi rehabilitasi dayah, pembangunan dayah, pendidikan dayah itu [dananya] besar sekali. Untuk apa? Untuk agama besar sekali. Dan setelah itu dayah-dayah ini tumbuh—semua orang bisa menjadi imam—terutama untuk mengakses dana.
Kemudian muncul masalah baru, yaitu aliran sesat. Karena kan orang datang macam-macam. Dia mau ajari agama, kan? Dan ternyata agama tidak seperti yang masyarakat bayangkan. Dayah-dayah ini kan dibangun dengan mazhab yang bermacam-macam. Pemerintah punya masalah baru untuk membersihkan aliran-aliran sesat ini. Padahal kan uang dari mereka untuk membantu dayah-dayah. Inilah kontradiksi-kontradiksi yang terjadi saat ini di Aceh.
Ikhsan Abdul Hakim
Reporter: Rizal Amril
Editor: Abdul Hadi