Ekspresionline.com–Perilaku melukai diri sendiri (self injury) yang lazimnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, melalui bantuan media sosial dan jaringan internet menemukan komunitasnya masing-masing. Masalahnya, internet yang merupakan ruang terbuka menjadikan gangguan mental ini kian mudah “ditularkan”. Perilaku yang sejak awal sudah membingungkan, kini makin sulit diatasi. Media sosial turut berperan melanggengkan gangguan mental self injury ini.
Beberapa tahun terakhir, perilaku melukai diri sendiri menjadi problem klinis dan kesehatan mental yang akut. Diestimasikan sebanyak lebih dari 20% remaja di seluruh dunia pernah melukai dirinya sendiri dengan sengaja (Wilkinson, 2012). Perilaku ini kemudian berkembang menjadi sorotan tajam dalam kajian psikologi. Pada 2013, American Psychiatric Association (APA) menerbitkan buku manual terbaru DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) untuk deteksi gangguan mental dan memasukkan perilaku melukai diri sendiri atau NSSI (Non-Suicidal Self Injury) sebagai gangguan mental terbaru yang lazimnya dialami oleh remaja.
Tidak hanya pegiat kesehatan mental, masyarakat tampaknya juga kian sadar mengenai bahaya laten gangguan self injury ini, terutama ketika diketahui seorang remaja asal Inggris, Molly Russel (14) melakukan bunuh diri pada 2017. Ketika diperiksa, pada akun Instagram ponselnya, ditemukan bahwa remaja perempuan itu mengikuti akun-akun yang mengunggah gambar mengenai bunuh diri, depresi, dan self injury.
“Instagram membantu anak saya bunuh diri,” ujar ayah Molly, yang dijadikan tajuk berita oleh BBC.
Akibat kasus tersebut, awal 2019 lalu, Instagram kian mengetatkan sensor gambar di media sosialnya. Gambar-gambar yang berhubungan dengan self injury dilarang tayang dan seketika dihapus oleh pengaturan algoritma Instagram. Selain itu, konten yang mengandung kekerasan juga diatur sebagai tayangan sensitif. Bagi yang bermaksud mengaksesnya, diminta persetujuannya terlebih dahulu.
Upaya Instagram membatasi akses terhadap konten self injury memang patut diapresiasi. Hal ini dikarenakan gangguan self injury ternyata “menular”. Rupanya, tidak hanya penyakit fisik disebabkan oleh kuman dan virus yang dapat menular, penyakit mental, seperti perilaku melukai diri sendiri pun, ketika diketahui orang lain, dilihat, atau ditayangkan, memiliki potensi untuk ditularkan kepada orang yang rentan psikisnya.
Penularan yang dimaksud di sini bukan dalam bentuk virus atau epidemi seperti penyakit menular lainnya. “Maksud penularan adalah bisa ditiru,” ujar Benny Prawira, pendiri Into The Light Indonesia, salah satu komunitas yang jadi pusat kajian kesehatan jiwa di Indonesia.
Benny menyampaikan bahwa “penularan” bisa terjadi ketika ada penayangan kejadian self injury, terutama yang dilakukan orang terkenal, pesohor, dengan menyertakan kronologi, metode, dan asumsi tunggal. Ketika orang lain melihat dan merasakan bahwa ia turut mengalami keadaan yang sama—tekanan stres yang luar biasa—maka ada rasa penasaran untuk mencoba tindakan serupa dengan menganggapnya sebagai “jalan keluar”. Menurut Brossard (2018), modelling atau meniru dari orang lain merupakan salah satu sebab pangkal muasal self injury dilakukan.
Menurut Suyemoto (1998), salah satu alasan perilaku self injury sendiri adalah upaya untuk mengalihkan rasa sakit batin kepada rasa sakit fisik. Cara melukainya, baik dengan menyayat permukaan kulit, membenturkan fisik ke benda keras, menempatkan diri di situasi berisiko terluka, hingga meminum obat-obatan secara berlebihan; pelakunya merasa bahwa lebih baik didera sakit fisik daripada merasakan tekanan emosional tak tertahankan.
Media Sosial dan Self Injury
Sejauh ini, gangguan self injury merupakan salah satu gangguan mental yang paling membingungkan psikolog, psikiater, konselor, dan ahli kesehatan mental lainnya. Tidak ada terapi yang bisa menjamin pulihnya penderita self injury, entah karena kurangnya penelitian di bidang ini, ahli kesehatan mental yang kurang kompeten, atau keinginan penderitanya yang kurang kuat untuk pulih dari self injury.
Tidak seperti gangguan mental atau perilaku deviatif lainnya, perilaku self injury sebagian besar dilakukan secara diam-diam. Karena itu, gangguan ini amat sulit dideteksi, kecuali penderitanya tidak sadar ketahuan atau secara terbuka mengakui bahwa ia memang melukai diri sendiri.
Alasan self injury dilakukan secara sembunyi-sembunyi disebabkan perilaku destruktif ini bertentangan dengan nilai dan norma sosial, serta nyaris tak ada kelompok deviatif yang merangkulnya. Jika dibandingkan dengan perilaku menyimpang lainnya, misalnya judi atau obat-obatan, kendati dianggap melanggar nilai dan norma sosial, sering kali terbentuk kelompok-kelompok kecil yang melakukan pelanggaran secara bersama-sama.
Oleh karena itu, secara simplifikatif sebagai makhluk sosial, pelaku self injury mencari ruang yang bisa menerima perilaku mereka. Jika tak ada orang yang memahaminya di dunia nyata, mereka beralih ke ruang maya. Karena itulah, media sosial di internet menjadi ruang yang subur bagi forum-forum self injury yang merangkul keberadaan serta menoleransi perilaku mereka.
Twitter, Tumblr, Facebook, WhatsApp, Instagram, Ask.fm, dan pelbagai media sosial lainnya adalah ruang komunikasi bagi pelaku self injury, baik itu sebagai ruang mencari pertolongan, legitimasi perilaku melukai diri sendiri, berbagi cerita, hingga mendengar pendapat satu sama lain. Terlebih lagi, internet, khususnya media sosial memberikan kesempatan untuk menyembunyikan identitas secara anonim dan setiap orang bebas mengutarakan hal-hal yang di dunia nyata tabu dibicarakan, termasuk perilaku self injury yang mereka lakukan.
Akibatnya, perilaku self injury “dinormalisasi” karena sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh anggota grup atau forum maya tersebut. Ada dukungan sosial (social reinforcement) di internet yang menjadikan pelaku merasa dipahami dan tidak terisolasi lagi. Selain itu, sebagian besar pelaku self injury didera kesepian akut di dunia nyata, yang menjadikan mereka beralih ke dunia maya untuk mencari orang yang bisa memahami mereka.
Masalah selanjutnya, gangguan mental ini ternyata “menular” dan media sosial memberikan jalan untuk mentransmisikan perilaku self injury ini. Apa yang dilakukan Instagram sebenarnya merupakan tonggak awal bagi kesadaran kesehatan mental di dunia maya, khususnya melalui media sosial. Selain Instagram, belum ada media sosial lain yang menyensor gambar atau konten yang berhubungan dengan perilaku melukai diri sendiri.
Kendati demikian, kinerja Instagram dalam menyensor konten bermuatan self injury sendiri pun belum sepenuhnya efektif. Selama ini, penyensoran dilakukan melalui algoritma pencarian tagar (hashtag). Padahal, Instagram adalah media sosial berbasis gambar. Menurut hemat penulis, jika Instagram memang benar-benar serius untuk mengontrol konten bermuatan self injury dan menghindari transmisinya, harus dikembangkan algoritma pendeteksi gambar yang benar-benar akurat untuk melacak konten bermuatan self injury.
Selain itu, media sosial lainnya, seperti Twitter, Tumblr, Facebook, WhatsApp, Ask.fm, dan lain sebagainya juga harus bersinergi, satu suara untuk melawan gangguan mental yang “menular”, salah satunya adalah gangguan self injury.
Abdul Hadi
Editor: Fadli Muhammad