Ekspresionline.com–Angin meliuk-liukkan lentera yang terpancang di bagian kanan rombong kupang. Suara pelanggan dan mesin kendaraan yang lalu lalang saling bersahutan. Para pelanggan itu tengah menunggu makanan yang mereka pesan. Mereka duduk saling bersebelahan di bangku panjang yang tersedia tanpa meja. Tempat duduk mereka diatur menyerupai bentuk persegi dengan rombong kupang yang berada di tengahnya.
Suasana malam itu cukup ramai. Bangku panjang para pelanggan terisi penuh dan membuat sebagian pelanggan lain harus mengantre berdiri. Beberapa dari mereka ada yang memilih menunggu di jok kendaraan yang terparkir tidak beraturan. Di lain sisi, pemilik warung tengah sibuk menyiapkan pesanan para pelanggan. Mereka adalah Usman Hadi dengan kedua anaknya yaitu Fitria dan Andri. Ketiganya merupakan keluarga dan mengelola dagangan lontong kupang bersama-sama.
“Pak, saya kupangnya satu. Makan sini,” ucap salah seorang pelanggan yang baru saja datang. Tidak lama setelah itu datang seorang pelangan lagi. “Pak, kupangnya 2. Bungkus!” pesan pelanggan tersebut. Pelanggan itu kemudian mengambil tempat untuk mengantre, menunggu pesanannya dibuatkan. Ia berdiri, karena bangku pelanggan sudah penuh.
Setelah mendengar pesanan itu, Usman dengan cekatan membikin lontong kupang. Pertama ia akan membikin bumbu kupang yang terdiri atas beberapa bahan. Bahan-bahan tersebut diulek di atas piring-piring yang terjajar. “Srek..srek..srek,” bunyi ulekan bumbu kupang bercampur menjadi satu dengan obrolan para pelanggan. Bersamaan dengan itu, rombong kupang pun bergetar selaras dengan gerakan Usman dalam mengulek bumbu kupang.
Tak lama setelahnya, pring-piring yang terjajar tadi kini telah terisi dengan bumbu kupang hasil ulekan Usman. Setelah ia rampung dengan meracik bumbu kupang, Usman berdiri dari tempat duduknya. Kursi kayu yang ia tempati tadi kini telah tergantikan oleh salah seorang anaknya, Fitria.
Ia mengambil alih pekerjaan bapaknya yang sempat terjeda. Sebelum melanjutkan menyiapkan sajian lontong kupang, diraihnya lap bermotifkan kotak-kotak yang tersampir didepannya –di tiang tegak rombong kupang. Diambilnya lap itu guna membersihkan tangannya.
Setelah dirasa bersih, ia mengambil satu bungkus lontong dan membelahnya menjadi dua bagian. Satu bagian ia potong lagi menjadi empat hingga lima potong. Diletakkannya potongan lontong tersebut di atas piring-piring tadi. Pun sama halnya dengan sebagian lontong lainnya.
Ia juga akan menanyakan kembali kepada beberapa pelanggan. “Masnya pakai lontong?” tanya Fitria memastikan. “Iya mbak,” jawab salah seorang pelanggan yang ditanya Fitria. Satu demi satu piring-piring yang berisi bumbu tadi terisi oleh potongan-potongan lontong. Di bagian akhir pembuatan makanan ini adalah menambahkan kupang pada piring-piring yang terisi lontong. Tak lupa, ia mengambil satu buah Lentho dan irisan jeruk nipis sebagai pelengkap lontong kupang. Satu porsi lontong kupang pun jadi.
Andri –adik Fitria- akan membantunya membagikan lontong kupang yang telah jadi kepada para pelanggan. “Monggo, mas, mbak,” ucap Andri menyilakan. Selepas ia memberikan pesanan, Andri bergegas membuat minuman untuk para pelanggan. Ia sibuk beraktivitas di meja belakang yang mana memang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan perkakas minuman. Menyendok gula, menyeduh teh lalu mengaduknya. Begitulah ia membuat minuman untuk para pelanggan itu.
Jika minuman yang ia buat telah jadi, Andri akan memberikannya kepada para pelanggan. Sama seperti ia memberikan lontong kupang sebelumnya.
Pelanggan yang berkurang
Sendok yang berdenting, bunyi air cuci piring, dan rombong yang bergetar, melebur meriuhkan suasana di warung kecil Usman. Sesekali Usman akan menimpali obrolan pelanggan, pun sama dengan Andri. Ia akan membuat sedikit guraan, sedang Fitria menyimak semua itu sembari menyiapkan pesanan.
Usman bersyukur betul. Tanggal 26 bulan Juli, kala itu warung kupangnya cukup ramai pelanggan. “Alhamdulillah, kebetulan hari ini yang datang cukup banyak,” tuturnya setelah ia beres dengan kegiatan mencuci piringnya.
Ia kemudian mengambil tempat duduk di bangku panjang –tempat duduk pelanggan- di mana pelanggan sebelumnya sudah rampung makan. Sehingga menyisakan ruang kosong yang dapat ditempati Usman. Ia pun berbagi cerita mengenai jualannya ketika PPKM darurat yang diberlakukan selama kurang lebih dua minggu kemarin. Ia mengaduh, karena jualannya benar-benar sepi pelanggan. “Hadoh..Mbok yo wes yoiku. Gimana kalau sudah begini Ndri,” sambatnya pada anak lelakinya ketika ditanya soal jualannya selama PPKM kemarin. Sedang Andri hanya tersenyum getir mendengar sambatan bapaknya.
Sebelum pagebluk mewabah, Usman selesai berdagang biasanya pukul sepuluh malam. Lain halnya ketika pagebluk berulah, ia terpaksa harus menunggu lebih lama agar kupangnya habis terjual. Biasanya ia akan pulang pukul sebelas malam. Bahkan ketika PPKM diberlakukan, Usman baru bisa pulang sekitar pukul dua belas malam.
Karena sepi pelanggan, pendapatan yang diperoleh Usman juga berkurang. Jika di masa normal, perolehan pendapatannya bias mencapai 900 ribu hingga satu juta tiap harinya. Namun, ketika pagebluk corona ada dan ditambah pemberlakuan PPKM, pendapatan yang diperolehnya mencapai 600 ribu hingga 700 ribu. “Menyusut uwakeh Mba, semenjak ada pandemi gini,” tambahnya.
Usman juga mengeluhkan hal lain. Pendapatan yang berkurang membuatnya cukup kesulitan untuk melunasi hutang-hutangnya di bank. Uangnya yang belum cukup untuk melunasi hutang, mengharuskannya ia menunda waktu pembayaran. Akibatnya, hutangnya pun menunggak dan denda tak bisa dielak. “Seharusnya pemerintah itu menutup bank-bank di masa seperti ini,” ujarnya.
Berbeda ketika pandemi belum ada, lontong kupang buatannya sangat laris. Ia dan kedua anaknya dibuat kewalahan karena saking banyaknya pelanggan. Lain halnya jika di masa sekarang, masa pandemi.
Lampu jalan yang dimatikan ketika PPKM, membuat warung kecilnya lebih sepi. Hanya bercahayakan lentera yang jumlahnya satu buah, warung itu tetap ia buka. Usman dan kedua anaknya masih setia melayani para pelanggannya. Walaupun hanya satu dua orang pelanggan yang datang, mereka tetap melayaninya sebagaimana seharusnya.
***
Berjarak 400 meter ke arah barat dari kupang lontong Usman, terdapat sebuah warung mie ayam. Orang-orang lebih akrab menyebutnya dengan mie ayam Sanusi sebagaimana nama pemilik warung tersebut, Iwan Sanusi. Rombongnya yang berwarna biru laut dengan tulisan putih, “Mie Ayam” berdiri paling depan di warung Iwan.
Malam itu, tanggal 26 Juli, pelanggan mie ayam Sanusi tengah menikmati sajian yang sudah jadi. Beberapa lagi ada yang menunggu pesanannya datang. Berbeda dengan warung kupang milik Usman, pelanggan Sanusi tidak seramai warungnya. Pelanggan yang datang tidak lebih dari sepuluh orang dan warung terlihat lenggang.
Kepulan asap menyembul keluar ketika panci rebus dibuka oleh Sanusi. Diambilnya sumpit panjang untuk mengangkat mie yang telah matang. Sanusi meletakkan mie tersebut di atas mangkok-mangkok yang terjajar rapi sedari tadi. Diaduknya mi tersebut agar tercampur merata dengan bumbu yang telah diracik sebelumnya. Sentuhan terakhir dari sajiannya adalah menambahkan olahan ayam yang dipotong kecil dan tak lupa ceker ayam dengan rasa khas olahan Iwan.
Satu per satu porsi mie ayam Sanusi telah siap saji. Setelah ia membikin beberapa porsi mie ayam tadi, Sanusi mengambil tempat dan duduk di bangku pelanggan. Sedang istrinya, Tatik tengah sibuk menyiapkan minuman pesanan para pelanggan. Sama seperti halnya Usman, Sanusi menuturkan keadaan jualannya selama PPKM beberapa minggu kemarin.
Ramai pelanggan di waktu tertentu
Sewaktu PPKM, warung mie ayamnya hanya ramai dari waktu setelah azan magrib hingga pukul delapan malam. Lewat jam delapan malam, pelanggan yang datang tidak lebih dari sepuluh orang. Pun kalau lebih dari itu hanya bisa ditemukan di hari Sabtu ataupun Minggu. Warung mie ayam Sanusi, terletak di pinggir Jalan Raya Pandokan. Lampu jalanan yang dimatikan di atas jam delapan malam, menjadi salah satu faktor dari sepinya pelanggan yang bertandang.
Ketika ditanya soal pendapatannya selama PPKM dilangsungkan, Sanusi menjawab dengan wajahnya yang lelah. Air mukanya berubah menjadi sendu. Terlepas dari apa yang dipikirkannya, ia menjawab bahwa pendapatannya selama PPKM tidak dapat diperkirakan. Jika di masa sebelum pandemi melanda, Sanusi akan pulang dengan kantong yang berisi kurang lebih 250 ribu per hari –hasil penjualannya. Lain cerita jika pandemi sudah merebak begini adanya.
Di masa PPKM kemarin lalu, ia mengantongi pendapatan kurang lebih 150 ribu. Jika penjualannya di hari itu bersamaan dengan habisnya bahan-bahan mi ayam, pendapatannya juga berkurang. “Kalau bebarengan dengan waktu belanja, pendapatan yang bisa kami bawa pulang ya sekitar 50 ribu,” tutur Sanusi.
Jumlah bahan yang digunakan untuk membuat olahan mi ayam tidak sebanyak ketika masa normal. Di masa normal Sanusi bisa menghabiskan adonan mi ayam kurang lebih 10 kilogram. Namun, di masa pandemi ini ia hanya mampu menghabiskan sebanyak 5 kilogram. Itupun kalau pelanggan cukup ramai.
Sanusi pun melanjutkan keluh kesah hingga rasa syukurnya. Kumisnya yang sudah memutih turut bergerak selaras dengan cerita yang keluar dari mulutnya. Ia dan istrinya bersyukur masih bisa berjualan di masa PPKM kemarin lalu. Bisa berjualan di atas jam delapan malam dan tanpa ada pengobrakan ataupun pembubaran, baginya itu sudah lebih dari cukup untuk bertahan di masa pandemi ini. “Aku nyambut gawe ora diobrak ae wes alhamdulillah,” tambahnya.
Bisa makan dari hasil jualan
Pandemi yang sedang berjalan di dua tahun ini, Sanusi hanya mendapat bantuan dari desanya sekali.. Setelahnya, ia sama sekali belum mendapat bantuan apapun. Jika di desa lain akan mendapatkan bantuan dari pemerintah, lain halnya dengan Dusun Pandokan yang ditempati Sanusi. Sejak dua tahun pandemi berjalan, Sanusi hanya mendapatkan bantuan 200 ribu di awal masa pandemi lalu, tahun 2020.
Ia sama sekali tidak mengeluhkan hal itu. Baginya, bisa berjualan itu sudah syukur alhamdulillah, sekalipun pelanggan yang datang tidak banyak. “Yang terpenting saya bisa makan dari hasil jualan, itu sudah cukup,” tuturnya.
Saat lampu jalan dimatikan di masa PPKM kemarin, warungnya tetap ia buka. Biarpun yang datang hanya satu, dua, tiga pelanggan. Setidaknya ketika pulang nanti tidak menyisakan banyak olahan mi ayam. “Meskipun sepi begini, tetap saya tunggui. Barang satu, dua orang yang datang, setidaknya ketika pulang tidak menyisakan (bahan mi ayam) banyak,” jelasnya.
Warung mie ayamnya akan ia buka hingga pukul sebelas malam. Sanusi dan istrinya dengan sabar menanti datangnya pelanggan.
***
Berjarak hampir 5 km ke arah timur dari warung mi ayam Sanusi, sebuah mobil hitam terparkir di depan warung lalapan. Tiga orang pun keluar dari dalamnya. Seorang pria dengan dua wanita, yaitu istri dan anaknya. Mereka kemudian merabah masuk ke dalam warung. Sedang keadaan di warung benar-benar lenggang, menyisakan pasangan suami istri yang memang pemilik warung ini. Mereka adalah Indriasari dengan suaminya, Fitri Hariyanto.
Hariyanto menyapa para pelanggan yang baru saja mendudukkan pantatnya di bangku yang tersedia. Bangku itu berada tepat di depan etalase jualannya. Ia menghampiri para pelanggannya dan tak lupa ia menyapa ramah terlebih dahulu.
“Malem Umi. Umi pesan apa?” tanya Hari pada pelanggannya.
“Ayam gorengnya tiga, seperti biasanya,” jawab pelanggan yang disapa Umi tadi.
“Minumnya pesan apa, mi?”
“Es tehnya satu, teh hangat satu, sama es jeruknya satu,”
“Baik mi, tunggu sebentar nggih!” ucap Hari mengakhiri.
Tidak lama setelahnya, datang pula para pelanggan lain. Mereka adalah sepasang suami istri yang datang menggunakan motor. “Sudah datang, toh mas?” sapa Hariyanto kepada pelanggan itu. Sedang yang disapa merespon sembari menjawab, “Inggih mas, enggal.” Ternyata mereka adalah tamu Hariyanto yang sengaja datang sekalian makan. Kedua orang tadi mengambil tempat duduk di sebelah kiri etalase. Mereka memesan dua teh hangat dan dua porsi menthok rica-rica.
Setelah mendengar apa yang dipesan, Hariyanto lantas menyiapakan pesanan para pelanggannya. Tak lupa Indri turut membantu suami. Hariyanto menggoreng lauk-lauk pesanan pelanggan, sedang Indri tengah menyiapkan nasi dan sambal. Tak lupa ia menambahkan beberapa daun lalapan seperti selada dan kemangi. Di sela-sela pekerjaannya, Indri juga merebus air hangat yang akan digunakan nanti untuk membuat minuman. Setelah rampung dengan pekerjaannya, Indri akan menyandak membuat minuman.
Bersamaan dengan itu, Hariyanto telah selesai dengan kegiatan menggorengnya. Diletakkannya lauk-lauk yang sudah matang di atas piring-piring yang telah terisi nasi beserta lalapannya. Rampung sudah pekerjaan mereka. Sisanya adalah menyerahkan pesanan tersebut kepada para pelanggan yang tengah menanti pesanan mereka datang.
Para pelanggan warung lalapan ini tengah menyantap makanan yang mereka pesan. Hiriyanto sendiri membersamai tamunya yang juga sedang makan. Sedang Indri kini telah duduk di salah satu bangku pelanggan. Selasa malam itu tanggal sepuluh dan sudah memasuki bulan Agustus. Indri dengan ramah menyambut kesediaan untuk berbagi cerita penjualannya di masa pandemi.
Pendapatan menukik ke bawah
Ia memulai ceritanya dengan keluh kesah. Penjualan selama pandemi merebak membuat pendapatan yang ia peroleh berkurang. Ditambah dengan PPKM darurat yang diberlakukan, pendapatannya benar-benar menurun drastis. Di masa normal, ia dapat membawa pendapatan kotornya sebesar kurang lebih 2,5 juta tiap harinya. Setelah pandemi ada, pendapatannya menurun menjadi setengah dari pendapatan normalnya yaitu kurang lebih 1,3 juta tiap harinya. Parahnya yaitu ketika masa PPKM darurat. Ia dan suaminya paling mentok bisa membawa pulang 750 ribu tiap harinya. “Yang paling parah itu ya PPKM darurat kemarin. Perolehannya anjlok drastis,” imbuh Indri.
Wanita 46 tahun itu kemudian melanjutkan ceritanya. Adanya PPKM darurat membuat warungnya sepi pelanggan, mengingat rata-rata pelanggannya berasal dari luar kota. “Jalan-jalan waktu itu pada ditutup, sehingga pelanggan yang datang pun juga jarang,” tuturnya. Belum lagi warungnya yang harus ditutup tepat setelah jam delapan malam.
Para pemilik warung pada saat itu akan diberi surat pemberitahuan, bahwasanya batas maksimal untuk berjualan adalah jam delapan malam. Para pemilik warung akan diingatkan petugas Satpol PP untuk segera menutup dan membereskan warungnya. Demikian sama halnya dengan warung lalapan Indri, tanpa terkecuali.
Bahan makanan untuk jualan yang digunakan selama PPKM kemarin juga berkurang menjadi seperempat dari jumlah normal. DI masa sebelum pandemi, ia menanak nasi kurang lebih 20 kilogram per hari. Sedang selama pandemi terutama saat PPKM darurat, ia hanya menyediakan nasi sebanyak 5 kilogram. Itu pun belum pasti habis terjual.
Bahan pokok yang lain seperti daging ayam –baik ayam kampung maupun ayam biasa-, menthok, dan lauk yang berupa ikan –baik ikan laut maupun ikan tawar- juga mengalami penurunan. Indri hanya menyediakan 10 ekor menthok, ayam kurang dari 10 ekor, dan ikan yang masing-masing jenisnya adalah 10 ekor.
Berbeda halnya ketika warungnya buka di masa sebelum pandemi datang. Tiap harinya ia dan suami bisa menyiapkan 50 ekor menthok , ayam kurang lebih 20 ekor, dan ikan dengan jumlah yang belum dapat dipastikan. Hal itu memang ia lakukan, karena pelanggan di masa normal berangsur-angsur datang secara bergantian. Tentu pada saat itu membuat Indri dan sang suami kewalahan.
Untuk melayani pelanggannya yang begitu banyak, Indri dan Hariyanto memperkerjakan empat karyawan. Namun, di masa PPKM darurat lalu, empat karyawan itu tidak lagi bekerja di warung lalapan milik mereka. Karyawan itu tidak diberhentikan oleh Indri ataupun Hariyanto, melainkan mereka mengundurkan diri.
Pendapatan yang menurun drastis di masa PPKM darurat juga berpengaruh terhadap jumlah upah yang diterima karyawan warungnya. Untuk menyiasati hal ini, Indri pun menggunakan strategi. Para karyawan tersebut bisa bekerja secara shift-shiftan. Dalam hal ini yaitu, mereka akan membantu selama tiga hari penuh dan setelahnya mereka libur tiga hari juga. Tiga hari bekerja, tiga hari libur. Setidaknya hal ini dapat memberikan kesempatan pada karyawannya untuk mencari pekerjaan lain yang upahnya barangkali lebih besar dari upah menjadi karyawan warung lalapan. Setidaknya begitulah pikir Indri.
Namun, karena satu dan lain hal, para karyawannya mengundurkan diri dan Indri bisa memaklumi. “Barangkali mereka mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar, saya memakluminya,” ucap Indri. Hal ini tidak menjadi soal bagi Indri. Karena warungnya yang sepi pelanggan membuatnya harus pintar-pintar memutar sirkulasi keuangan keluarganya.
Kini yang tersisa di warung itu hanya mereka berdua, Indri dan Hariyanto.
Terlepas dari keluh kesah Indri soal jualannya di masa pemberlakuan PPKM darurat, rasa syukur tetap terucap dari mulutnya. Walaupun tiap harinya ia paling mentok Cuma membawa 700 ribu setidaknya hal itu masih bisa digunakan untuk berjualan di hari berikutnya. Manajemen keuangannya hanya berputar pada sektor penjualannya saja. Ia tidak mengeluarkan uang untuk keperluan kedua anaknya yang sedang sekolah. “Sekolah di masa begini masih daring. Setidaknya pengeluaran untuk anak-anak sekolah tidak terlalu besar,” jelasnya.
Pasangan suami istri itu tiap harinya akan membuka warung lalapan mereka. Pukul empat sore, segala perlengkapan dan peralatan telah siap sedia. Warung mereka berjajar bersebelahan dengan warung-warung lainnya seperti lesehan ayam bakar hingga geprek ayam. Warung-warung itu dapat dijumpai dekat jalanan masuk utama Pasar Baru Porong. Biasanya orang-orang menyebutnya Paspor (Pasar Porong).
Ayu Cellia Firnanda
Editor: Ervina Laraswati