Sutradara: Ericson Core
Produksi: Walt Disney Pictures
Penulis: Tom Flynn
Tanggal Rilis: 20 Desember 2019
Ekspresionline.com—Sangat sulit mengambil suatu keputusan di tengah keadaan yang rumit dan resiko yang besar. Memilih di antara ambang kematian pribadi dan kematian orang banyak adalah pilihan menyakitkan, pengorbanan mesti diambil demi kemaslahatan khalayak.
Hal itulah yang dialami oleh Seppala (Willem Dafoe), salah satu penunggang kereta anjing terbaik di kota Nome, Alaska. Ia terkenal sangat berani melewati berbagai cuaca ekstrem Alaska, tentu saja ditemani anjing kesayangannya, Togo. Meski begitu, badai Alaska bukan sesuatu yang mudah ditebak. Seppala harus mengambil keputusan di antara pertaruhan nyawa banyak orang. Nyawa yang dipertaruhkan adalah dari orang-orang yang terjangkit wabah difteri yang melanda kota kecil tersebut.
Wabah difteri yang melanda Nome baru diketahui pada pertengahan Januari 1925, dokter Curtis Welch (Richard Dormer) secara resmi mendiagnosis kasus difteri pertama pada seorang anak yang meninggal di usia tiga tahun.
Dari kasus tersebut, ia langsung menghubungi Walikota George Maynard (Christopher Heyerdahl) untuk mengadakan rapat tentang moda transportasi yang digunakan untuk mengambil serum antivirus. Dalam rapat tersebut, diputuskan bahwa kereta salju anjing yang akan digunakan. Seppala dipilih sebagai pemimpin perjalanan pulang yang menempuh ratusan mil itu.
Keputusan tersebut tentu saja membangkitkan jiwa penyintas Seppala. Namun, ia mengetahui bahwa kondisi Togo, yang sudah berusia 12 tahun dirasa tidak memungkinkan. Dengan kondisi wabah yang semakin mengkhawatirkan, Seppala akhirnya setuju untuk mengambil serum antivirus di rumah sakit di Seattle. Ia yakin bahwa ikatan antara Togo dan dirinya yang begitu kuat dapat menaklukkan badai Alaska.
Saat ini, wabah korona yang hampir sama juga melanda banyak negara di dunia, termasuk Indoensia. COVID-19 yang awal Maret lalu ditetapkan sebagai keadaan darurat nasional oleh pemerintah, membuat panik kalangan masyarakat.
Selain dampak kesehatan, keadaan ekonomi dunia juga terkena imbas dari wabah penyakit ini. Nilai rupiah terhadap dolar AS semakin menurun. Ekonomi Indonesia kini berada di tahap memprihatinkan.
Oleh karena itu, film yang disutradarai oleh Ericson Core bisa menjadi acuan bagi pemerintah Indonesia dan memberi sudut pandang baru kepada masyarakat bahwa untuk mendapatkan sesuatu hal: memutuskan sesuatu, pasti harus ada yang dikorbankan. Menjalankan kebijakan tertentu untuk menangani suatu wabah harus mengorbankan hal lain, demi kebaikan bersama.
Pengorbanan di Tengah Wabah
Perjalanan jauh yang ditempuh Seppala bukan tanpa kendala. Ia harus melewati beberapa gunung es yang terjal, suhu ekstrem, dan angin yang kencang. Hingga di situasi yang genting di ujung jurang, ia temukan luka di kaki Togo. Melihat perjalanan masih panjang untuk sampai ke pemberhentian terakhir, Seppala meyakinkan Togo bahwa ia akan segera sampai dan mengobati lukanya.
Seorang suku asli Alaska yang mengobati luka Togo berujar pada Seppala, “Detak jantung anak [anjing] ini lebih cepat daripada larinya.” Menyiratkan bahwa Togo tidak akan bisa melanjutkan perjalanan.
Seppala pun luluh, ia berusaha untuk menaikkannya ke atas kereta dan melarangnya memimpin kawanan penarik kereta. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Constance (Julianne Nicholson)—istri Seppala, Togo memiliki hati sang penyintas. Togo bersikukuh memimpin kawanan meski berkali-kali dilarang. Seppala menyerah dan membiarkannya kembali memimpin.
Keduanya memang sangat keras kepala. Tidak siapa pun dapat mengganggu ikatan mereka berdua, termasuk istri Seppala sendiri. Togo dan Seppala rela menerjang badai dahsyat yang belum pernah dilalui sebelumnya, kendati mereka tahu nyawa adalah taruhannya. Salah satu alasannya adalah banyak anak kecil yang terjangkit virus tersebut. Obat yang akan mereka ambil menentukan keselamatan anak-anak Nome.
Tak sampai di situ saja, setelah keduanya menempuh perjalanan ratusan mil, keduanya pulang tanpa penghargaan apa pun. Hal itu disebabkan pengantaran Seppala yang tak sampai ke kota Nome; putus di tengah jalan karena Togo yang sudah tak bisa berlari lagi. Henry (Brandon Oakes) bersama Balton—anjing Seppala yang lain, berhasil membawa serum ke Nome. Mereka pun mendapat penghargaan, bahkan di New York dibangun monument Balto untuk mengenang jasanya.
***
Core, sutradara Togo, sangat elegan menghubungkan konflik masa lalu dan masa kini: disatukan dengan pesan yang mengkristal untuk tidak menyerah dalam menghadapi kesulitan apa pun.
Di masa lalu, Togo yang lebih ringan dan lebih konyol menunjukkan bagaimana ia tidak akan berhenti membuktikan dirinya, bahkan ketika ia dikunci dalam kandang (atau gudang). Seppala yang sempat dua kali memberikannya kepada orang lain, kemudian menjadi percaya pada potensinya. “Santo Fransiskus dari Assisi akan menembak anjing ini,” gumam Seppala suatu waktu.
Sedangkan untuk bintang film, Togo adalah anjing sangat baik, dan seperti layaknya binatang film yang layak diikutkan dalam proyek sinematis, karakter Togo terasa lebih dari sekadar hewan pilihan yang digunakan untuk mendukung adegan manusia yang gigih.
Hal itu mampu membuat anjing tersebut tampak seperti benar-benar bereaksi terhadap apa yang Seppala katakan, serta membentuk mimik wajahnya sendiri. Togo adalah anjing independen, gigih, dan bahkan memiliki selera humor.
Sedikit keajaiban di Togo adalah bahwa kita tidak merasa seperti menonton seekor anjing yang melakukan tindakan heroik dan pemberani, bukan karena ia patuh, tetapi karena ia memilih untuk melakukan atas inisiatifnya sendiri.
Dafoe yang memerankan Seppala, seolah hadir dengan bakat alami yang mudah disesuaikan: jika dia bisa memberi tahu pembunuh bayaran apa yang harus dilakukan, dia pasti bisa memerintah beberapa anjing seluncur yang bertengger di depannya. Ia juga selintas memiliki kemiripan dengan sosok kehidupan nyata yang menjadi dasar karakternya: Leonhard Seppala.
Film garapan Disney ini menampilkan ketegangan di tengah lautan es dengan sangat ciamik sehingga terlihat seolah-olah nyata. Kita seperti di bawa ke masa-masa ketika Christoper sang pengelana, dalam film Into The Wild (2007) tiba di hutan Alaska yang masih rimbun dan membahayakan.
Togo, sering membuat sisi-sisi gambarnya terlihat lembut, dan ini membantu film mencapai tampilan yang lebih kuno, seolah-olah diambil dengan lensa tua, tetapi juga membuat cerita terasa langsung; memberi tahu kita bagian mana yang harus fokus. Hal itu tak lepas dari sinematografi yang dibuat oleh tim yang dipimpin oleh Core sendiri.
***
Film ini membuat penonton memiliki rasa cinta kepada binatang karena memungkinkan seluruh rangkaian cerita bertumpu pada pesona Togo. Meski begitu, tokoh manusia tidak membiarkan anjing hanya sebagai anjing pekerja yang melakukan semua pekerjaan.
Togo adalah kisah yang cerdas dan penuh kasih sayang. Cerdas, karena menunjukkan anjing sebagai anak anjing yang terlalu kecil untuk dimusnahkan, dan 12 tahun kemudian menjadi pemimpin yang mengemudikan kereta salju Seppala bersama anjing-anjing lain. Mereka yang melakukan perjalanan untuk membawa kembali serum antivirus ke anak-anak yang sekarat karena wabah difteri.
Pada akhirnya, jenis anjing langka seperti Togo sangat diminati orang banyak karena kemampuan dan kasih sayangnya. Anjing keturunan Togo diberi nama sesuai dengan pemilik awalnya: Seppala Siberian Sleddog
Fadli Muhammad
Editor: Abdul Hadi