Ekspresionline.com–Pit Dhuwur merupakan komunitas yang menjadikan “sepeda tinggi” sebagai objek kegiatannya. Keberadaan komunitas ini kerap menghiasi jalanan kota dan menjadi salah satu daya tarik yang menambah kesan “istimewa” dari Yogyakarta.
Mulanya, pembentukan komunitas ini didasari atas nilai historis yang berawal dari barter karya antara pendiri komunitas dengan seorang pemimpin sirkus asal Italia, Piero.
Pada 2006, Dhomaz “Kampretz” Yudhistira yang merupakan pendiri komunitas sekaligus seniman tato, bertemu dengan Piero yang tengah mengadakan pertunjukan sirkus di Yogyakarta. Keduanya saling berbagi pengetahuan dan bertukar pengalaman. Dhomaz membuatkan sebuah tato untuk Piero, sedang Piero pun turut membuatkan sepeda tinggi ‘pit dhuwur’ untuk Dhomaz. Piero merangkai kerangka sepeda dengan besi rongsokan, hingga terciptalah 10 sepeda tinggi pertama di Yogyakarta.
Salah satu penggiat komunitas ini, Arip Buwono menuturkan bahwa secara umum aktivitas komunitas Pit Dhuwur ditujukan guna menyampaikan pesan kepada masyarakat. Pesan itu berisikan nasihat agar masyarakat dapat mandiri dalam bekerja dan merdeka dalam berkarya. Komunitas ini juga kerap melakukan interaksi dengan masyarakat dengan mengadakan workshop atau sekadar ngobrol santai.
Kata Arip, komunitas ini tidak terlalu aktif di dunia maya. Hal tersebut dikarenakan sosial media sebatas digunakan menjadi sarana komunikasi pendukung. Targetnya pun ditujukan bagi kalangan yang paham betul dengan segala aktivitas (pesan) yang ingin mereka sampaikan.
“Enggak melulu kita bermain dunia maya, meskipun era digital seperti sekarang [dipenuhi] dengan bumbu anak muda menye-menye dan wagu-wagu. Kita mencoba [mengubah] arah pandangan mereka dengan bersepeda dan mengenal hidup di jalanan,” ujarnya saat dihubungi via WhatsApp pada Rabu (16/02/2022).
Berawal dari kegemaran mereka akan sepeda tinggi tersebut, Komunitas Pit Dhuwur mulai melakukan aksi protes atas kemacetan yang terjadi di Yogyakarta. Caranya dengan melakukan bersepeda keliling kota ‘rolling’. Namun dalam kegiatannya tersebut, mereka kerap kali menerima klakson beruntun dari pengendara lain. Tak jarang pula mereka disingkirkan dari tempat-tempat “milenial” lantaran dianggap mengotori ruang publik.
Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat menampik fakta bahwa banyak masyarakat yang mendukung aksi mereka, sehingga komunitas Pit Dhuwur terus eksis hingga sekarang. Tak sedikit pula masyarakat yang menegur komunitas ini ketika bertemu di jalanan. Menurut Arip, hal tersebut menjadi apresiasi tersendiri bagi komunitas mereka.
Arip menambahkan bahwa mereka juga menginginkan pemerintah dapat memperbaiki fasilitas dan ruang bersepeda. Apalagi, kondisi jalanan kota di masa sekarang semakin ekstrem. Selain itu, komunitas ini juga berusaha mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Sebab menurut Arip, sejatinya Yogyakarta merupakan “Kota Sepeda”.
Selain dari kepentingan tersebut, Arip berharap seluruh bagian dari komunitas Pit Dhuwur dapat terus menjadi keluarga dan saling menjaga satu sama lain agar dapat terus beregenerasi. Mereka juga turut membangun relasi dengan komunitas sepeda tinggi lain di seluruh Indonesia.
Ita Silvia
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri