Ekspresionline.com–Pandemi yang kian berlarut-larut seakan tidak menampakkan kapan akan berakhir. Semenjak pandemi terdeteksi dan mulai menjangkiti masyarakat, menjadikan banyak sektor perlu beradaptasi. Pun sama halnya dengan pendidikan di Indonesia, pandemi yang tak kunjung pergi dan masih nyaman untuk tinggal, mengharuskan perkuliahan dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh atau daring (dalam jaringan). Terhitung sudah hampir setahun lamanya pembelajaran daring ini berjalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa bulan lagi, para mahasiswa angkatan pandemi akan menginjak semester baru.
Dalam praktiknya, pembelajaran daring masih menemui banyak kendala. Mulai dari perangkat yang dibutuhkan, kejelasan materi, kuota internet yang tidak memenuhi, hingga fasilitas kampus yang belum dapat dinikmati. Setidaknya itulah sedikit banyak kendala yang dihadapi para mahasiswa di masa pandemi ini. Seringkali kita menyoroti kendala dan peliknya dunia perkuliahan selama pandemi. Namun, ada hal yang kita lupakan atau bahkan tidak terpikirkan, yaitu pembelajaran mahasiswa difabel di masa pandemi ini.
Kendala Spesifik Belum Lagi Ada
Mentari yang bangun dari peraduannya mengharuskan ia menarik diri dari selimutnya. Bangun dan mandi seperti biasa atau mungkin hanya gosok gigi dan cuci muka saja. Tak lupa ia mengisi perut kosongnya dengan sarapan. Setelahnya, ia pun mempersiapkan diri untuk mengikuti perkuliahan pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya. Ia akan menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk mengikuti jalannya perkuliahan. Pagi hari itu, Bayu Aji Firmansyah telah duduk bersila dihadapan laptopnya. Ia siap untuk mengikuti perkuliahan di rumah secara daring tentunya.
Mahasiswa difabel tunanetra tersebut berbagi cerita mengenai perkuliahannya selama pandemi. Selama pembelajaran, ia akan mendengarkan penjelasan dosen dengan seksama. Setelah pembelajaran usai, ia akan membuat catatan-catatan pembelajaran dengan laptopnya. Begitulah aktivitas belajar yang ia lakukan selama pembelajaran daring. Sebab, perkuliahan tatap muka belum dapat dipastikan kapan datangnya.
Selama pandemi belum lagi berakhir, perkuliahan daring pun masih berjalan. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi 2020 tersebut menuturkan bahwa selama pembelajaran daring, belum ada kendala spesifik yang ia dapati. Akses dan proses pembelajaran selama daring menurutnya lebih mudah, mengingat mata kuliah yang ia pelajari di semester ini masih berupa teori. Materi yang berupa gambar-gambar sejauh ini belum ia dapati.
Meskipun belum ada kendala yang spesifik, bukan berarti kendala lainnya tidak ada. Sama seperti mahasiswa pada umumnya, kendala yang ia temui tidak jauh beda dengan mereka, yaitu masalah koneksi internet yang seringkali membuatnya uring-uringan sendiri. Selain koneksi internet yang sering ilang-ilangan, ia menambahkan bahwa koordinasi daring ini kurang efektif. Ketika ia mendapat penugasan berupa proyek kelompok, koordinasi yang dilakukan hanya sebatas komunikasi online melalui Google Meet, telepon, hingga WhatsApp. Ia menambahkan, respons yang ia dapatkan ketika berkomunikasi cukup lambat. Sehingga hasil pekerjaan kelompok yang ia lakukan dirasa kurang maksimal.
“Kalau aku tanya secara daring, responnya juga nggak secepat ketika offline,” ujarnya.
Ia merasa bahwa kendala yang demikian tidak terlalu berarti untuk mengahalangi proses belajarnya selama pandemi. Teman-teman yang mengasyikkan, dosen yang perhatian dan paham akan kondisinya, telah membantunya melewati dua semester ini dengan happy. Ia berharap pembelajaran dan usaha yang ia lakukan selama pembelajaran daring ini dapat membuahkan hasil yang sesuai dengan harapannya.
Beberapa Kendala Dapat Diatasi
Berbeda cerita dengan apa yang dialami oleh Bayu, Siti Khoiriyah mahasiswa PLB 2020 berbagi kesehariannya mengenai proses belajarnya selama pandemi. Sama halnya dengan Bayu, Khoiriyah yang lebih akrab disapa Khoir merupakan mahasiswa difabel tunanetra. Apabila mata kuliah yang diterima Bayu masih berupa banyak teori, Khoiriyah tidak demikian.
Mata kuliah yang ia dapatkan di semester ini seringkali menggunakan gambar-gambar dan tidak terbaca oleh perangkat bantuan suara di laptopnya. Sehingga, ia perlu teman lihat untuk menjelaskan maksud dalam gambar tersebut. Guna menuntaskan pemahamannya terhadap materi, ia biasanya meminta temannya untuk membantu menjelaskan gambar-gambar yang ada pada materi tersebut.
Tidak cukup itu, mata kuliah bahasa isyarat dimana ia membutuhkan praktik juga menambah kendalanya selama pandemi ini. Kondisi yang demikian mengharuskan ia untuk mencari pendamping belajar untuk membersamainya selama pembelajaran praktik itu berlangsung.
Jika kuliah dilaksankan secara tatap muka di kampus, tentunya ia tidak akan mendapati kesulitan tersebut. Ia akan dibantu oleh dosen pengampu untuk mempraktikkan dan memahami mata kuliah tersebut. Pandemi belum lagi usai dan pembelajaran daring yang belum berakhir mengharuskan ia untuk mencari pendamping. Mau tidak mau ia berusaha mencukupi kebutuhan kuliahnya sendiri dan salah satunya mencari pendamping belajar.
Ia pun mendapat pendamping belajar dan beruntungnya, pendampingnya adalah teman ibunya. Seminggu sekali beliau akan mendampingi dan membersamai Khoiriyah ketika mata kuliah bahasa isyarat berlangsung. Ketika dosen mulai menjelaskan dan mempraktikkan bahasa isyarat, pendampingnya akan memperhatikan dengan seksama. Setelahnya, beliau akan mentranskripkan dan mengumpanbalikkan materi dari dosen kepadanya. Dengan sabar dan telaten, pendampingnya mengajari dirinya untuk memahami bahasa isyarat tersebut hingga ia mengerti.
Pendampingnya yang memang notabene adalah teman ibunya benar-benar berniat membantu Khoriyah untuk memahami apa yang ia pelajari. Ia tidak mematok tarif yang berarti selama mendampingi Khoiriyah belajar. Berapapun nominal rupiah yang ia dapatkan, ia terima dengan ikhlas karena memang pada awalnya ia telah berniat membantu Khoiriyah. Maksud baik tersebut telah meringankan dan menyelesaikan kendala yang didapati oleh Khoiriyah.
Dua kendala telah ia tuntaskan dengan cukup mudah. Namun, tidak berhenti disitu. Kendala lain dengan ramah menyapa dirinya. Materi yang dijelaskan dosen melalu platform video conference seringkali tidak terbaca oleh screen reader sehingga ia akan menyimak dan mempelajari kembali melalui materi yang telah dibagikan oleh dosen pengampunya. Jika di beberapa mata kuliah ia selalu mendapatkan materi tersebut, di mata kuliah filsafat ilmu tidak demikian. Materi yang dijelaskan dalam perkuliahan tidak dibagikan kepada mahasiswa sehingga mereka diminta untuk mencari referensi lain di internet. Padahal, Khoiriyah berharap setelah pertemuan usai, materi tersebut dapat dibagikan. Namun, pada akhirnya ia pun juga harus mencari materi lain di internet untuk menuntaskan pemahamannya. Ia mempelajari dan memahami materi secara mandiri, sebisanya dan semampunya.
Lain hal lagi dengan kisah Muhammad Rifki, salah satu mahasiswa difabel tunanetra dari jurusan PLB 2019. Rifki menuturkan bahwa pembelajaran selama pandemi ini menurutnya ada plus dan minus–nya. Pembelajaran daring yang serba online mengharuskan para dosen membuat materi secara online juga. Hal itu merupakan salah satu kemudahan yang ia dapatkan saat pembelajaran daring. Salah satu mata kuliah yang ia dapatkan semester ini adalah observasi pembelajaran siswa difabel, di mana materi yang ia dapatkan berupa video yang harus dianalisis. Sama halnya dengan Khoiriyah, Rifki juga membutuhkan teman lihat untuk menjelaskan materi berupa video agar ia lebih paham mengenai maksud dari video itu sendiri.
Tugas yang ia dapatkan di semester ini berupa wawancara dan observasi terhadap kondisi siswa difabel. Ia pun mendapati kendala selama proses pengerjaannya. Kondisi pandemi ini membatasi dirinya untuk melakukan wawancara dan observasi secara langsung. Ia mengaku cukup kesulitan untuk menuntaskan tugasnya. Ia menyiasati tugas tersebut agar dapat terselesaikan, yaitu dengan menggunakan data sekunder dari referensi lain serta menalar dan mengira-ngira jawaban apa yang tepat untuk analisisnya.
Meskipun demikian, baginya, melakukan pengamatan secara langsung lebih efektif untuk dirinya yang merupakan seorang tunanetra. Dengan pengamatan secara langsung, ia lebih tahu mengenai keadaan atau kondisi yang diamati.
Adaptasi Belajar Selama Pandemi
Bermula dari kebingungan hingga usaha untuk beradaptasi dengan lingkungan belajar, Rhoudhotun Fadhila, mahasiswa PLB 2020, juga turut membagikan aktivitasnya mengenai perkuliahan selama pembelajaran daring. Dila merupakan mahasiswa difabel tunarungu. Pada awalnya, Dila yang diterima kuliah melalui jalur mandiri ini sedikit kelimpungan menghadapi PKKMB yang sudah semakin dekat. Dila yang selama ini bersekolah di SLB belum memiliki gambaran mengenai jalannya perkuliahan dan ospek daring. Beruntungnya ia diberi tahu oleh temannya. Ia bisa menggunakan aplikasi penerjemah suara menjadi teks atau tulisan. Ia sangat terbantu dengan adanya aplikasi tersebut.
Awal semester, ia belum paham secara pasti bagaimana jalannya kuliah daring nanti. Rasa menyerah dan ingin berhenti kuliah menyapanya dengan ramah. Seakan-akan hal itu menjadi lagu yang terus berputar di dalam logika dan hatinya. Terdengar nyaring dan memanggil-manggil. Namun hal itu tidak berselang lama. Semangat dan motivasi dari teman-temannya lebih nyaring daripada rasa menyerah. Ia pun akhirnya memilih untuk bangkit dan belajar beradaptasi di lingkungan dan suasana baru.
Selama perkuliahan berlangsung, ia menggunakan aplikasi penerjemah suara. Dengan hal itu ia bisa mengikuti jalannya perkuliahan dengan seksama. Hasil transkrip aplikasi tersebut ia baca guna memahami materi yang disampaikan oleh dosennya. Kendala yang ia hadapi selama pandemi ini belum lagi berarti. Hanya ada beberapa kalimat typo dari hasil transkrip penerjemahnya, mengingat dosen yang menjelaskan kerap kali menggunakan sedikit bahasa asing.
Belum lagi listrik di rumah Dila yang memang seringkali mati secara tiba-tiba. Mau tidak mau, ia harus mencari tempat lain agar tetap bisa mengikuti perkuliahan. Rumah teman dan perpustakan menjadi peraduannya untuk kembali melanjutkan kuliah. Ditambah jarak rumah ke tempat-tempat tersebut cukup jauh. Namun bagaimana lagi, perkuliahan harus tetap berjalan. Walaupun ia seringkali uring-uringan karena mati listrik, ia tetap mengusahakan untuk mengikuti jalannya perkuliahan.
Ketika mendapatkan materi bahasa Inggris, ia mendapat keringanan dari dosen untuk berbicara semampunya, mengingat dirinya yang belum bisa berbicara bahasa Inggris. Pun ketika ia tidak paham mengenai materi atau penugasan, ia akan bertanya kepada dosen atau temannya. Ia berusaha semampunya untuk memenuhi pemahaman serta kebutuhan perkuliahan. Ia selalu berusaha untuk meminimalisasi bantuan, pun kalau ada suatu hal yang dirasa benar-benar sulit untuk diselesaikan, ia baru akan meminta bantuan kepada orang lain.
“Jadi aku usahain sebisaku. Aku harus berusaha sendiri tanpa bantuan teman, kalau benar-benar tidak bisa aku baru meminta bantu,” tutunya.
Ayu Cellia Firnanda
Editor: Arizqa Shafa Salsabila