Penulis: Regis Machdy
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rilis: September, 2019
Tebal: xxix + 287
Ekspresionline.com–Buku ini dirilis bertepatan dengan merebaknya film fenomenal Joker di Indonesia. Apabila kehadiran Joker dapat memantik tren self diagnosis di kalangan anak muda, sebaiknya orang-orang segera membaca buku ini untuk memahami kesehatan mental lebih dalam lagi, khususnya gangguan depresi. Oleh Regis Machdy, depresi diulas sedemikian rupa, mulai dari sisi psikosomatis hingga derita emosional pengidap depresi yang digambarkan secara gamblang. Di tengah keringnya buku yang membahas depresi di Indonesia, Loving the Wounded Soul hadir sebagai oase di tengah meluasnya glorifikasi gangguan mental di media sosial Indonesia.
Gangguan depresi adalah gangguan kesehatan mental yang sangat kompleks dan melahirkan beragam efek negatif. Ditambah lagi dengan adanya stigma, menjadikan pengidap depresi kian terpinggirkan dari pergaulan dan masyarakat. Melalui kapasitasnya sebagai akademisi psikologi, Regis menjelaskan bahwa depresi dipengaruhi oleh pelbagai faktor seperti lingkungan, sosial-budaya, genetik, pergaulan, hingga perubahan cuaca. Dengan bukunya ini, Regis mematahkan stigma bahwa pengidap depresi bukanlah orang yang “lemah”, pencari perhatian, ataupun individu yang jauh dari tuhan.
Secara sederhana, depresi adalah kekacauan terkait aspek bio-psiko-sosial. Secara biologis, depresi terkait dengan landasan gen, struktur otak, dan senyawa kimia yang ada di dalam tubuh. Aspek psikologis dilandasi oleh suasana hati negatif yang berkepanjangan. Sementara pada aspek sosial, depresi terkait dengan hubungan individu dengan orang-orang sekitarnya. Bahkan, depresi dapat ditilik dari aspek spiritual, yakni pemaknaan dan tujuan hidup yang bisa selaras dengan agama (hal. 15).
Berdasarkan pengertian komprehensif di atas, Regis menjelaskan depresi dengan bertolak dari pengalamannya sendiri sebagai seorang penyintas. Ia memendam pikiran negatif (bayangan bunuh diri, low mood, dan tidak memiliki energi) sejak berusia 12 tahun. Beragam emosi negatif tersebut terus menumpuk hingga ia beranjak dewasa. Puncaknya, ketika ia melanjutkan kuliah di Inggris, Regis tidak lagi peka terhadap emosi dan harus menenggak obat antidepresan agar dapat terus bertahan hidup.
Selepas ia merasa pulih, Regis mulai berbagi cerita di media sosial pada 2017, yang disambut positif oleh warganet. Ratusan orang menghubunginya dan menceritakan gejala serupa yang ia rasakan. Rupanya, pengalaman depresi merupakan gangguan yang banyak dialami oleh orang-orang Indonesia. Hanya saja, kesadaran untuk membuka diri masih dihalangi oleh “budaya Timur” yang kerap menganggap pengidap depresi sebagai orang yang “lemah” dan tidak religius.
Perbedaan Gender
Di antara faktor-faktor yang melatari depresi, perbedaan gender memiliki peran penting dalam menyumbang penyebab gangguan mental. Secara statistik, perempuan lebih rentan mengalami depresi. Hal ini disebabkan fluktuasi hormon yang tidak stabil dan kecenderungan perempuan untuk memikirkan sesuatu secara berulang-ulang. Sejak pubertas, perempuan bergelut dengan perubahan hormon yang diakibatkan siklus menstruasi setiap bulannya. Ungkapan “senggol bacok” agaknya cukup tepat menggambarkan perubahan emosional yang dialami perempuan ketika mengalami premenstrual syndrome (PMS) atau sindrom pramenstruasi. Perubahan hormonal ini menjadikan perempuan lebih mudah tersinggung, sedih, marah, dan mengalami beragam emosi negatif.
Apalagi dengan perubahan zaman yang terlampau cepat dan belum sempurna memosisikan perempuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akibatnya, banyak perempuan menjalankan peran ganda: berkarier dan harus menjalankan pekerjaan domestik. Paham patriarki yang belum terkikis habis di masyarakat menjadikan laki-laki merasa berkuasa di dalam rumah. Pada saat bersamaan, mereka masih menuntut perempuan bekerja untuk menambal kebutuhan rumah tangga yang kian tinggi. Padahal perempuan tetap dituntut melayani kebutuhan laki-laki, seperti menyiapkan makanan, berdandan, memenuhi kebutuhan biologis, hingga mendidik anak.
Posisi perempuan yang tidak stabil menjadikan perempuan yang tercatat mengalami gangguan jiwa lebih banyak dibandingkan laki-laki (hal. 79). Untung saja, mereka lebih terbuka mengungkapkan apa yang mereka alami dan mencari pertolongan.
Jika perempuan rentan mengalami depresi, laki-laki memiliki kecenderungan yang tak kalah berbahaya. Toxic masculinity (stereotipe maskulinitas yang menjadikan laki-laki sulit memperlihatkan sisi emosionalnya) menjadikan laki-laki kerap memendam beban mental yang mereka rasakan. Hal inilah yang tumbuh subur di “Timur”. Tak heran, banyak laki-laki tidak mengenal emosi mereka sendiri sehingga mereka hanya bisa marah-marah ketika sedang sedih atau kecewa. Ironisnya, jika tidak bisa dikendalikan lagi, laki-laki dapat melakukan kekerasan kepada sosok yang lebih lemah dari mereka (misalnya pasangan atau anak-anak). Inilah pangkal muasal dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dilakukan karena laki-laki memiliki masalah kejiwaan yang tak bisa diekspresikan.
Hal ini tidak berarti bahwa laki-laki tidak bisa mengalami depresi, hanya saja prevalensinya lebih kecil daripada perempuan. Akibatnya pun lebih parah, karena terus-menerus memendam beban mental, angka bunuh diri pada laki-laki tiga kali lipat lebih tinggi dari perempuan. Laki-laki memilih mengakhiri hidupnya daripada menceritakan masalah-masalah emosional yang mereka hadapi, yang membuat mereka tampak lemah di mata orang-orang sekitarnya.
Wacana laki-laki harus kuat ini mengingatkan saya pada salah satu bagian film Malaikat tanpa Sayap (2012). Di salah satu adegan, Vino (Adipati Dolken) menyatakan bahwa menjadi laki-laki adalah tumbuh untuk menyimpan sepinya sendiri. Menyimpan masalah dan menanggungnya sendirian agar tidak menyusahkan orang lain. Oleh sebab itu, jika masalah terasa menyesak, bunuh diri menjadi pilihan terakhir. Betapa toxic-nya maskulinitas yang kerap disalahposisikan di masyarakat.
Depresi dan Gangguan Mental Impor
Tak kalah menarik, depresi baru dikenal di Indonesia beberapa dekade terakhir. Begitu juga di Jepang, istilah depresi populer dengan sebutan kokoro nokaze atau flu jiwa yang berbeda dengan term depresi di bahasa Inggris. Jepang memiliki berbagai istilah untuk menjelaskan ketidaknyamanan psikologis seperti yuutsu, ki fa fusagu, dan ki ga meiru.
Bukan hanya depresi, beragam penyakit rupanya hanya dikenal di wilayah tertentu. Misalnya masuk angin yang kerap dialami orang Indonesia tidak dikenal di Eropa dan Amerika. Kyoul geou (pingsan karena pusing, mual, serta sakit leher dan tangan yang diakibatkan tekanan angin di perut) hanya ditemukan di Kamboja. Gangguan stres pasca trauma (PTSD) yang awalnya dialami orang-orang Sri Lanka. Demikian juga bullimia dan anorexia nervosa.
Gangguan dan penyakit yang dialami oleh orang-orang di wilayah tertentu kini mengalami resonansi di wilayah lain. Akibat globalisasi dan persebaran informasi, tidak hanya komoditas yang diimpor dari luar negeri, penyakit juga turut serta ditularkan. Gangguan depresi kini dikenal di mana-mana dan semakin banyak orang-orang didiagnosis mengalami depresi.
Bisa jadi, benih depresi muncul di pikiran orang Indonesia sejak Fakultas Psikologi pertama di Indonesia didirikan. Atau mungkin benih depresi lahir bersamaan dengan kehadiran situsweb berbahasa Inggris tentang psikologi manusia bisa diakses oleh orang Indonesia (hal. 191).
Melalui ratusan referensi ilmiah, Regis menjelaskan depresi secara komprehensif. Kendati sangat banyak istilah psikologis, pendiri situs pijarpsikologi.org ini mampu meramu tulisannya dengan lincah dan lugas. Pada akhirnya, Regis menyatakan bahwa depresi adalah tanda bahwa seseorang hidup dalam dunia abu-abu. Depresi adalah tanda bahwa seseorang sedang tidak di jalan hidup yang sesuai jati dirinya.
Akan tetapi, jika dihadapi dengan bijaksana, depresi bisa menjadi “guru spiritual” yang menjadikan individu mengenal dirinya sendiri, alam, dan dunia transendental yang melampaui dunia manusia itu sendiri.
Abdul Hadi
Editor: Ikhsan Abdul Hakim