Ekspresionline.com–Membuat suatu hal yang memalukan menjadi lebih memalukan lagi adalah dengan cara mempublikasikannya.” Kutipan brilian itu dibikin oleh Musthapa Khayati, kritikus sosial asal Tunisia sekaligus mahasiswa kritis dari Universitas Strasbourg, Prancis. Rasa-rasanya Rony telah berhasil mengerjakan amalan dari kutipan itu, dengan ia menggembosi opini Rizal bertajuk “Rektorat UNY Bau Orde Baru”. Rony mempermasalahkan metodologi, menganggap tulisan tersebut sebagai generalisasi yang banal serta penggunaan diksi Orba yang dianggap masih terjebak dalam kontestasi wacana.
Jumud memang, ketika sebuah tulisan yang berorientasi untuk mengubah kehidupan sosial kampus diwarnai dengan kemiskinan metode filsafat. Ketika idealisme dikawinkan dengan ketidakilmiahan, pada akhirnya lahirlah tulisan serampangan dengan gula-gula eskaptis yang hanya sakkecandake. Rony merasa unggul di atas angin dan Rizal masih mencari-cari racikan yang tepat untuk bikin balasan tulisan yang tepat pula. Sementara Abdul, tulisannya dibilang sebagai “berak terlalu cepat” setelah ia menulis kalau Rony sedang “onani intelektual”.
Satu-satunya apresiasi yang saya berikan pada Rony dalam merayakan perdebatan ini adalah, ia mampu mengalihkan bahasan mengenai represifitas rektorat, sehingga membuat fokus pembaca beralih pada masalah lain yang sama-sama mendesak, metodologi dan diksi. Apakah benar yang dituduhkan Rony?
Menjalankan perannya sebagai wartawan kampus, saya pikir Rizal tak bergerak serampangan. Kami dilatih untuk menggunakan metodologi jurnalistik dengan verifikasi ketat. Maka ketika Rizal menyebut “Rektorat UNY Bau Orde Baru,” saya pikir itu bukanlah sebuah blunder, melainkan sebuah sikap politis yang tegas atas kesewenang-wenangan yang dilakukan rektorat pada beberapa mahasiswa. Ia sedang bermain majas, menentukan tempat di mana ia berdiri, sembari membidik rektorat dengan anak panah yang tajam: Jangan bersikap represif pada mahasiswa!
Rony barangkali terlalu mendewakan klaim objektifitas. Dengan menjelentrehkan pemahamannya soal diksi Orba, ia merasa berjarak dengan era tersebut, sehingga merasa tak terpengaruh dalam kontestasi wacana bikinan Soeharto. Hal yang demikian, ia anggap suci, sementara Rizal jadi profan hanya karena menggunakan diksi tersebut. Rony punya kesadaran sejarah sementara Rizal tidak.
Kepongahan intelektual berlabel metode objektif macam ini mirip bunga mawar: indah dipandang tetapi durinya menyakitkan. Rony harusnya menyadari bahwa ketika ia mengambil jarak dari kontestasi wacana Orba, saat itu pula ia sedang berada pada sebuah situasi hermeneutis yang di dalamnya ia juga di bawah pengaruh horizonnya sendiri. Rony barangkali abai dengan apa yang disebut oleh Hans-Georg Gadamer sebagai sejarah pengaruh.
Bagaimanapun, kita tak bisa menghindari peleburan antar kondisi pandangan yang dalam istilah fenomenologi Husserl disebut sebagai horizon. Fusi antar horizon merupakan hal yang tak terelakkan dan mendaku diri sebagai yang paling objektif adalah sebentuk klaim yang lucu. Tak ada yang benar-benar objektif dalam ilmu sosial. Dengan menyadari itu, kami belajar untuk memilih berdiri di antara orang-orang yang liyan.
Rony giat sekali mengutip Foucault dan saya menduga dia memang Foucauldian. Gagasannya khas, sering membicarakan kekuasaan, arkeologi, juga genealogi pengetahuan dan wajar jika saya berpikir ia telah mengkhatamkan buku babonnya. Satu hal yang bikin saya gagal paham adalah, apakah ia menyadari adanya relasi kuasa yang timpang antara mahasiswa dan pihak rektorat? Kalaupun ia sadar, di manakah ia berdiri? Hal inilah yang bagi saya belum terjawab. Mengapa?
Sepengamatan saya, lewat tulisan balasan kepada Rizal dan Hadi, secara tersirat Rony memang masih gamang dalam bersikap. Ia tak sepakat dengan keduanya, tetapi juga menawarkan opsi untuk menjalankan demokrasi deliberatif ala Habermas. Itu menunjukkan kalau Rony juga tak sepakat dengan sikap represif pihak rektorat. Ia mengajak agar pihak-pihak terkait saling duduk bersama untuk menyampaikan pendapatnya di UNY sebagai ruang publik.
Saya skeptis dengan ajakannya. Pertama, ruang publik haruslah bebas dari relasi kuasa yang timpang, sementara rektorat dengan segala kuasanya bisa menentukan mana yang boleh dan tidak boleh. Ini bukanlah bentuk demokrasi deliberatif seperti yang digembor-gemborkan. Kedua, sepertinya Rony gagal paham dengan istilah ruang publik. Kita tak harus duduk bersama. Bagi saya, internet adalah ruang publik terbaik, sebab di dalamnya kita bisa saling menyatakan pendapat tanpa tekanan. Bahkan, saling berbalas tulisan macam ini saya pikir juga bagian dari demokrasi deliberatif.
Ada sebuah paradoks di mana pasca terbitnya tulisan Rizal, salah seorang dari rektorat minta klarifikasi lewat media sosial. Letak paradoksnya adalah, ketika orang tersebut diminta untuk membalas ketidaksepakatannya dengan tulisan Rizal—agar tulisan berbalas tulisan—ia malah menolak dengan dalih takut dianggap intervensi. Dari sini, saya pikir ia telah gagal paham dengan demokrasi deliberatif.
Maka, mari kita tengok ulang paragraf ketiga opini ini, enaknya diapain ya kalau rektorat represif lagi? Rony atau siapa pun barangkali bisa menjawab pertanyaan pemungkas ini. Salam.
Rofi Ali Majid
Editor: Ikhsan Abdul Hakim
Tulisan 2: Perspektif Hiperbolis “Rektorat UNY Bau Orde Baru”: Menguji Argumentasi Rizal Amril Yahya
Tulisan 3: Bagaimana Rektorat UNY Menjadi Anti-Kritik?
Tulisan 4: Politik Label dan Fetis Aksi: Tanggapan untuk Abdul Hadi
Tulisan 5: Bersama Rony, Melawan Rony, Melawan Represifitas Rektorat
Tulisan 6: Antara Sosok dan Nilai: Khayalan Rofi Mencari Sikap