Hierarki Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bukan pemerintah daerah,” terang Ni’matul Huda, dosen Hukum dan Tata Negara UII, saat ditemui di kantornya, Selasa (31/10). Ni’matul menyayangkan kinerja BPN DIY tidak sesuai dengan garis instruksinya. Namun demikian, Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, Arie Yuriwin, bersikukuh mematuhi Instruksi Kepala Daerah 1975. “Selama ini, instruksi kepala daerah masih kami patuhi, sehingga permohonan hak milik dari warga nonpribumi yang datang ke sini pun tidak kami proses,” terang Arie saat ditemui pada Jumat (23/9).
Willie Sebastian, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) juga mengamini pendapat Ni’matul mengenai garis instruksi BPN. Menurut Willie, tindakan BPN bisa dikategorikan sebagai malaadministrasi karena tidak mematuhi aturan dari kementerian dan malah mengikuti Instruksi Kepala Daerah 1975. Malaadministrasi adalah kondisi di mana penyelenggara negara dan pemerintahan mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik. “Saya sudah melapor ke Ombudsman Republik Indonesia mengenai adanya malaadministrasi ini,” ungkap Willie saat ditemui di rumahnya pada Kamis (29/6).
Sejauh ini sudah ada enam orang yang melapor ke Ombudsman terkait dengan kinerja BPN di Kabupaten Kulon Progo, Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sementara itu, Dahlena, Asisten Ombudsman Yogyakarta, mengatakan bahwa pihaknya masih mencari keterangan untuk mengkaji masalah-masalah yang diadukan. “Kami akan melakukan telaah dokumen. Memang argumen dari Pemda dan BPN sama-sama terkait Instruksi Kepala Daerah 1975. Kami akan mengkaji, apa yang bisa kami lakukan. Tentu kami akan fokus pada pelayanan publik, karena itu yang menjadi ranah Ombudsman,” katanya, seperti dilansir Rappler.
Dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia pada Selasa, (08/03), salah satu pimpinan Ombudsman RI, Laode Ida, mengatakan, BPN termasuk salah satu dari tiga badan pemerintahan dengan administrasi terburuk. Hal ini disebabkan banyaknya laporan dari masyarakat yang mengeluh soal pelayanan terkait pemberian sertifikat tanah. “Untuk memperoleh sertifikat sebidang tanah, masyarakat dipungut biaya macam-macam dan urusannya berbelit-belit,” ujar Laode.
Dalam kasus di Yogyakarta, Ombudsman Yogyakarta pernah sempat meminta klarifikasi. Pada hari Kamis (14/04), Ombudsman Yogyakarta mengundang tiga instansi terkait, yaitu Biro Hukum DIY, Kanwil BPN DIY, serta BPN Bantul. Namun, waktu itu hanya Biro Hukum DIY yang hadir. Ombudsman pun memeriksa dua pegawai BPN DIY dan BPN Bantul pada Rabu, (20/04).
BPN RI sebenarnya pernah memberikan teguran kepada BPN DIY. Pada 16 November 2011, Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Tanah BPN RI waktu itu, Gede Ariyuda, mengirimkan ketetapan undang-undang yang harus dipatuhi BPN. Surat tersebut sekaligus menjadi tanggapan atas aduan yang disampaikan Willie Sebastian kepada Presiden RI. Februari 2011, Willie menyampaikan aduan kepada Presiden mengenai aturan penyeragaman policy yang diterapkan di DIY.
Dalam surat tersebut, BPN RI menegaskan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berlaku sepenuhnya di Yogyakarta. Hal ini merujuk pada Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 yang dikeluarkan Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan berlakunya UUPA di Yogyakarta, pembagian subyek hukum yang boleh memiliki tanah tidak dibedakan berdasarkan etnis atas ras. Surat tersebut juga berisi bahwa tidak boleh ada aturan yang bertentangan produk perundang-undangan yang lebih tinggi.
Masih dalam surat yang sama, BPN RI juga mengingatkan agar BPN DIY menaati Instruksi Presiden RI nomor 26 tahun 1998. Dalam salah satu isinya disebutkan penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah. Ditegaskan pula, bahwa pejabat negara harus meniadakan pembedaan bentuk pelayanan dalam segala bentuk, sifat, serta tingkatan kepada warga negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut.
Affirmative Action Berjangka Waktu
Tihara Seto Sekar, mahasiswa Magister Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, dalam tesisnya menyebutkan bahwa kebijakan affirmative action seharusnya diatur dengan jelas jangka waktunya. “Tapi sekarang kan kita enggak tahu kapan akan dicabut,” ungkap Tihara. Affirmative action adalah tindakan pemberian hak istimewa terhadap suatu kelompok tertentu yang belum mampu setara dengan kelompok yang lain. Selain itu, lanjut Tihara, affirmative action baru bisa dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan. “Ini kan enggak jelas, MA bilang ini bukan perundang-undangan, tapi PTUN bilang ini bukan kebijakan,” ungkap Tihara.
Senada dengan Tihara, menurut Ni’matul, legalitas instruksi tersebut sebagai produk hukum yang mengikat dan mengatur memang membingungkan. “Jika pemerintah memang ingin mengatur hal tersebut (pembatasan hak milik tanah, Red.) dan memiliki political will, seharusnya segera dijadikan peraturan daerah,” tambahnya.
Sesuai dengan Ketetapan MPRS.XX/MPRS/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, instruksi memang masih diakui sebagai produk perundang-undangan yang sah. Namun, Ketetapan MPRS.XX/MPRS/1966 itu sudah dicabut oleh UU Tahun 2004 Nomor 10 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 ayat 2 huruf b disebutkan, instruksi dinyatakan sudah tidak lagi diakui.
“Sudah jelas bahwa Instruksi Kepala Daerah 1975 hanya berlaku dari 1975 sampai 1984,” ungkap Ni’matul.
“Waktu itu, instruksi dimaknai sebagai peraturan, tapi kalau sekarang itu dimaknai sebagai peraturan maka harus dinaikkan statusnya sebagai peraturan daerah,” lanjut Ni’matul. Kendati demikian, Ni’matul masih beranggapan bahwa instruksi ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi sejak tahun 1984. c Sesudah itu, DIY harus mengikuti UUPA. Pada 1984, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No.33/1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY. Menindaklanjuti Keppres itu, lahir pula Perda No.3/1984 yang berisi penghapusan Rijksblad Nomor 6 tahun 1918 serta seluruh hukum pertanahan di DIY sebelum tahun 1984. “Jadi sudah enggak berlaku lagi sejak 1984,” lanjut Ni’matul.
Sementara itu, DIY memberlakukan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) yang dianggap lebih tinggi dari UUPA. Padahal, UUK tidak mengatur tentang pertanahan selain Sultanaat Ground dan Pakualamanaat Ground. “UUK tidak bisa disebut Lex Specialis dengan UUPA, karena UUK itu tidak spesifik pertanahan. UUK itu membicarakan perundang-undangan daerah, yang salah satunya pertanahan,” ujar Ni’matul.
“Status Sultan sebagai penguasa tanah ini juga tidak jelas, dalam undang-undang, yang memiliki hak atas tanah yang tidak terbatas adalah organisasi keagamaan, rumah sakit,” terang Ni’matul. Keraton di mata hukum tidak berhak atas penguasaan tanah yang tak terbatas. Dengan UUK, seakan-akan Kasultanan dilegitimasi sebagai badan hukum. “Bahkan itu juga tidak diperbolehkan tanpa batas, makanya dalam UUK dijelaskan bahwa harus ada inventarisasi dan klasifikasi oleh Sultan,” jelas Ni’matul.
Proses inventarisasi dan klasifikasi tanah itulah yang nanti jadi tugas Pantikismo. Panitikismo adalah badan yang mengurusi Sultan Ground dan Sultanaat Ground. Sultan Ground adalah tanah yang digunakan masyarakat yang milik sultan. Sementara Sultanaat Ground adalah tanah yang digunakan Sultan dan miliknya sendiri. Setelah diinventarisasi dan diklasifikasi, tanah-tanah tersebut akan diserahkan pada BPN. “Dari sini tugas BPN sangat strategis,” ujar Ni’matul.
Kus Sri Antoro, peneliti agraria yang aktif di Jogja Darurat Agraria (JDA), mengatakan bahwa seharusnya hak milik tanah dibatasi berdasar kelas, bukan ras. Ia mengatakan, bahwa memberlakukan UUPA artinya melindungi rakyat kecil. “Bila memang ketakutannya adalah ketakutan soal rakyat kecil tidak bisa punya tanah, jalankan saja UUPA pasal 17,” ungkapnya. Pasal 17 UUPA menyatakan tentang pembatasan berdasarkan kemampuan pemilikan tanah.[]
AS Rimbawana
Laporan oleh Aziz dan Putra
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXIX November 2016 “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”