Ekspresionline.com–Pendidikan memiliki arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (KBBI). Berawal dari kata dasar “didik” yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan adalah usaha membentuk dan mengembangkan jiwa, pikiran, serta jasmani untuk menjadikan individu atau kelompok sebagai manusia sejatinya.
Pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Kemudian pada pasal 3 disebutkan, pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu juga memiliki tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perkembangan pendidikan di Indonesia cukup terasa sejak masa pemerintahan Orde Baru. Tercatat pada periode tahun 2021/2022 ada sebanyak 4.004 perguruan tinggi yang terbagi 184 perguruan tinggi negeri dan 3820 perguruan tinggi swasta. Lalu, terdapat 14.199 untuk sekolah menengah kejuruan, 14.007 untuk sekolah menengah atas, 41.402 untuk sekolah menengah pertama, dan 148.992 untuk sekolah dasar. Akan tetapi, apakah dengan sekian banyaknya wahana pendidikan tersebut dapat menjamin berkembangnya kualitas masyarakat kita?
Pendidikan Perlu Mendidik
Masih ingatkah dengan berita “Gegara Diteriaki Maling saat Kendarai Mobilnya Sendiri, Kakek-Kakek di Jakarta Tewas Dikeroyok Massa”? Atau “Pelajar di Yogya yang Tewas Disabet Gir Bukan karena Klitih, Tapi Tawuran”?
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) sepanjang tahun 2021 mencatat, sebagian besar kekerasan kolektif di Indonesia sepanjang tahun 2021 disebabkan oleh motif main hakim sendiri. Aksi main hakim sendiri menyumbang lebih dari 45,2% (636 individu) dari semua kasus pada tahun 2021. Disusul 40,7% kekerasan kolektif yang disebabkan oleh keinginan untuk melakukan balas dendam atas kejahatan, penghinaan, atau perselisihan. Lalu, ditemukan bahwa di antara kekerasan kolektif tersebut merupakan kasus tawuran antar pelajar.
Dapat dikatakan, kebanyakan dari kita gampang untuk tersentuh dan terpancing secara sadar maupun tidak, untuk mengeluarkan reaksi emosional. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang buruk, sebaliknya jika emosi yang dikeluarkan tidak diikuti dengan penguasaan diri, maka akan muncul respon yang tidak tepat bahkan salah sasaran.
Ketidaktepatan dalam mengeluarkan sikap, sifat, maupun emosi pastinya berkaitan dengan kurangnya pendidikan yang mengajarkan untuk mengontrol hal-hal tersebut. Padahal, dalam UU yang mengatur sistem pendidikan nasional, tujuan pendidikan setelah mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, secara berurutan adalah berakhlak mulia, diikuti sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara hierarki, artinya tujuan mewujudkan manusia berakhlak mulia lebih didahulukan sebelum sehat, berilmu, dan seterusnya.
Maknanya, secara praktis pendidikan kita masih jauh dari tujuan yang dirumuskan sendiri oleh negara ini. Bahkan secara pengertian pendidikan seperti yang sudah disebutkan di awal paragraf saja belum sesuai. Menurut Inkeles (1974:304), pendidikan memberi dampak dua atau tiga kali lebih kuat dalam pembentukan kualitas manusia.
Tetapi, alih-alih meningkatkan kualitas karakter, peserta didik malah didulang dengan format moral sekolahan yang mengabaikan pendekatan afeksi dalam proses pembelajarannya. Maka, tak heran apabila generasi masyarakat kini kebanyakan “bersumbu pendek”.
Istilah afeksi mungkin jarang didengar oleh sebagian masyarakat awam. Afeksi muncul dalam dunia psikologi dan digunakan untuk mengartikan ungkapan suatu perasaan. Kemudian afeksi dirumuskan oleh Benjamin S. Bloom (1964) sebagai salah satu tujuan dari pendidikan, yang kemudian terkenal dengan rumusan taksonomi Bloom.
Pendidikan kita menganut sistem taksonomi Bloom, yang apabila membicarakan tentang capaian, maka melibatkan tiga ranah: afeksi, kognisi, dan psikomotor. Ranah afeksi mencakup kepribadian; perasaan dan cara-cara seseorang dalam bereaksi secara emosional; serta kemampuan berkelakuan bermasyarakat.
Ranah kognisi mencakup pengetahuan dan pemikiran seseorang serta kemampuan pemahaman pada suatu ide. Ranah psikomotor mencakup keterampilan fisik untuk mengontrol gerakan tubuh maupun alat. Ketiga ranah tersebut merupakan satu kesatuan dalam diri individu dan tidak terpisah, juga sejalan dengan arti, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional kita.
Idealnya, capaian pendidikan menganjurkan terpenuhinya ketiga ranah dalam taksonomi Bloom dengan seimbang. Akan tetapi, pada implementasinya selama ini pendidikan kita kerap berjalan timpang.
Menurut Holt dan Hannon (2006), mata pelajaran di ruang kelas cenderung menekankan pada ranah kognisi, sedangkan pada mata pelajaran di luar ruang lebih mengedepankan ranah psikomotor dibandingkan kedua ranah yang lain (Worrell, dkk, 2002).
Kenyataan ini patut untuk dijadikan keprihatinan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Bagaimanapun dalam sistem pendidikan kita, sekolah masih memegang posisi yang sangat menentukan bagi perkembangan kepribadian peserta didik. Secara kuantitatif, peserta didik menghabiskan hampir separuh dari waktunya setiap hari di sekolah. Sangat disayangkan apabila waktu sebanyak itu tidak digunakan untuk mengembangkan potensi kepribadian peserta didik.
Kesulitan untuk mengajarkan pendidikan dengan pendekatan afeksi disebabkan oleh bermacam faktor. Salah satunya adalah proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukkan intelektual peserta didik.
Dengan demikian, keberhasilan proses pembelajaran diukur dengan kemampuan kognisi. Akibatnya, upaya yang dilakukan kebanyakan guru atau pendidik, diarahkan kepada standar bagaimana peserta didik dapat menguasai pengetahuan yang sesuai dengan kurikulum.
Misalnya, Pendidikan Agama atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang semestinya diarahkan untuk pembentukkan karakter peserta didik, malah diukur keberhasilannya dari kemampuan intelektual. Pada akhirnya, tolak ukur capaiannya pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif ketimbang pengendalian karakter diri dalam bentuk afeksi.
Memang, sudah bermacam upaya dilakukan oleh negara untuk mengembalikan tujuan pendidikan nasional yang mengarah pada pembentukan karakter. Tiap kurikulum mencetuskan cara-cara untuk memperbaiki kualitas karakter peserta didiknya. Tapi, lagi-lagi hal ini bukanlah suatu hal yang mudah terlebih dengan kebiasaan yang seperti sudah melekat dalam dunia pendidikan sekolah kita, bahwa ilmu pengetahuan merupakan satu hal yang utama.
Jika fokus pendidikan kita yang lebih mengutamakan kemampuan berpikir tidak diimbangi dengan penajaman kemampuan untuk mengontrol diri dan terus dibiarkan saja, maka dapat berdampak pada kemunduran kualitas dalam diri masyarakat. Meski perlu diakui bahwa pendidikan kita juga telah banyak mencetak intelektual-intelektual dari segala bidang. Tetapi, ilmu yang tinggi tidak diimbangi dengan kontrol diri yang jernih terasa sia-sia saja. Sekolah-sekolah hanya akan mencetak manusia bermental mesin dengan nafsu gila.
Meminjam istilah yang sering muncul di masyarakat media sosial; ibarat orang pandai membuat nuklir tapi alih-alih digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dengan kebaruan energinya, malah digunakan untuk menciptakan senjata pemusnah massal.
Kita semua tahu bahwa ilmu pengetahuan memanglah satu hal yang penting terlebih dengan pesatnya pertumbuhan dan kemajuan zaman. Bangsa-bangsa bersaing menjadi yang terbaik. Namun, apa guna ilmu pengetahuan tinggi tapi keluar dari persoalan kehidupan?
Untuk menciptakan peradaban bangsa, kita tidaklah hanya membutuhkan para orang pandai belaka. Kita butuh orang-orang yang sadar dan peduli dengan keadaan sosial sebangsanya, sehingga tidak perlu lagi ada ironi antar sesama masyarakat bangsa.
Ikrar Hatta Tiwikrama
Editor: Rosmitha Juanitasari