Ekspresionline.com–Dalam Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, Iwan Awaluddin Yusuf dkk (2010) menyebutkan bahwa memasuki era Orde Baru, pelarangan buku dilakukan secara terang-terangan oleh pemerintah. Tak hanya pelarangan, tindakan represif pada masa ini juga diikuti dengan penyitaan buku secara paksa, bahkan penangkapan dan pengadilan bagi mereka yang terkait dengan buku tersebut.
Pelarangan buku di bawah rezim militer Orde Baru berpangkal dari Instruksi No. 1381/1965 yang dikeluarkan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Instruksi tersebut berisi larangan mempergunakan buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota ormas/orpol yang dibekukan sementara waktu kegiatannya. Regulasi tersebut makin dikukuhkan dengan disahkannya Tap MPR XXV/MPRS 1966 yang membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme-Komunisme.
Adanya Tap MPR XXV/MPRS 1966 mendorong banyak terjadinya pemberangusan buku-buku yang memuat ideologi “kiri” serta buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan PKI dan onderbouw-nya. Ditambah pada 1991, pemerintahan Orde Baru dan Dewan Perwakilan Rakyat mengadopsi UU No. 4/PNPS/1963 yang diterbitkan pada masa Orde Lama dengan menerbitkan UU No. 5 Tahun 1991. Undang-undang ini makin memberi wewenang pada Kejaksaan Agung untuk melarang bacaan atas nama pemeliharaan ketertiban umum.
Selanjutnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto “lengser keprabon” alias turun dari tampuk kepemimpinan sebagai presiden. Euforia atas anggapan kebebasan dari represifitas Orde Baru kemudian banyak memengaruhi dan mengubah aspek sosial, budaya, politik, dan hampir seluruh aspek lainnya. Tak terkecuali pada industri perbukuan. Ruang gerak industri buku yang sebelumnya banyak tersekat oleh berbentuk-bentuk pengekangan, akhirnya menampakkan geliat kebangkitannya. Salah satunya dapat dilihat dari kompleksitas tema buku yang diterbitkan dan munculnya penerbit-penerbit alternatif pascareformasi.
Adhe Ma’ruf, aktivis perbukuan Yogyakarta sekaligus pendiri Penerbit Octopus, saat ditemui pada Selasa (23/7/2019), menyebutkan bahwa penerbit-penerbit alternatif ini kebanyakan muncul dari basis mahasiswa dan aktivis, yang pada perkembangannya banyak menjadi antitesis dari tema-tema populer yang berkembang di pasar.
Selain itu, melalui Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007), Adhe juga mengutip pernyataan Nur Musidi yang melakukan periodisasi dalam dunia penerbitan pascareformasi. Yang pertama adalah periode euforia yang terjadi pada 1998 hingga 2004. Periode ini ditandai dengan maraknya buku yang diterbitkan dan peningkatan jumlah penulis lokal. Periode euforia ini lantas melahirkan Muhidin M. Dahlan, Nur Khalik Ridwan, Eka Kurniawan, dan konco-konconya.
Yang kedua adalah periode tantangan yang terjadi mulai 2004 hingga medio 2009. Dalam periode ini, penulis dan penerbit ditantang untuk membaca serta memenuhi kebutuhan pasar sebab masa lima tahun pertama pascareformasi dapat dijadikan “cermin” untuk berbenah dan melakukan koreksi.
Eskalasi Pasar dalam Dinamika Zaman
Kosongnya celah pasar akan bacaan-bacaan alternatif, mendorong tumbuhnya penerbit-penerbit baru pasca-1998, misalnya saja Penerbit Daun Malam. Penerbit yang didirikan pada 2015 ini berfokus pada tema politik alternatif, anarkisme, sosialisme libertarian, dan sistem politik antiotoritarian.
Tony Jerikho (bukan nama sebenarnya), salah satu inisiator dari Daun Malam, memaknai kekosongan tersebut sebagai celah bagi masuknya buku-buku bertema non-arus utama. “Jadi selama ini [pasar buku] seperti satu ide monoton yang seperti itu [arus utama]. Kita memberi tawaran alternatif agar ada keberimbangan ide di masyarakat,” ujar Tony pada Selasa (13/8).
Senada dengan yang diutarakan oleh Tony, Achmad Choirudin atau yang biasa dipanggil Udin selaku pemimpin redaksi InsistPress menilai bahwa banyaknya kemunculan penerbit alternatif saat ini linier terhadap permintaan pasar akan bacaan-bacaan alternatif. “Tema-tema tersebut dianggap penting karena masih belum banyak penerbit yang menggeluti isu atau wacana mengenai kritik soal transformasi sosial di masyarakat. Di sisi lain, itu menjadi ceruk pasar yang mendorong lahirnya penerbit baru untuk mengisi kevakuman tersebut,” ungkapnya pada Kamis (15/8).
Berdasar paparan Udin, pangsa pasar akan bacaan alternatif tersegmentasi pada rentang demografi 20-40 tahun. Ia juga menuturkan bahwa tema-tema alternatif tidak bisa cover all karena tidak semua kalangan merasa berkepentingan terhadap tema tersebut, jadi biasanya pasar utamanya adalah mahasiswa dan akademisi.
Sementara itu, Dana Gumilar selaku pendiri Berdikari Book saat ditemui pada Selasa (27/8) mengklaim bahwa tetap terjadi eskalasi akan permintaan buku-buku bertema alternatif. Dana memaparkan bahwa eskalasi pasar akan bacaan alternatif adalah suatu hal yang pasti. Hal itu dikarenakan bertumbuhnya produk yang disokong oleh perluasan jangkauan dan treatment yang saat ini makin masif, terutama lewat media sosial.
Di lain sisi, Tony menganggap eskalasi pasar ini didorong oleh adanya regenerasi yang memengaruhi keterbukaan pasar akan bacaan bertema alternatif. Ada sesuatu dalam generasi baru yang digerakkan oleh ketidakpuasan dengan penjelasan mengenai pandangan hidup dalam masyarakat yang saat ini ada. Ketidakpuasan dan kesangsian tersebut merangsang mereka untuk mencari penjelasan di buku-buku. Itu berefek pada pencarian mereka akan bacaan alternatif.
Penyerapan pasar akan bacaan bertema alternatif tersebut tentu juga dipengaruhi oleh adanya distributor dan toko-toko buku. Berdikari Book, sebagai salah satu distributor cum toko buku yang berfokus pada tema-tema sosial politik, turut menjadi mata rantai yang menghubungkan penerbit-penerbit alternatif kepada pembaca.
Dana menilai kehadiran Berdikari Book dapat menjadi alternatif, baik bagi pembaca maupun penerbit. “Artinya, penerbit sekarang punya opsi tanpa harus tergantung pada penerbit-penerbit mayor. Kita menjual buku yang tidak tersedia di toko buku mayor. Bahwa banyak pemikiran lain, banyak perspektif lain yang bisa kami berikan untuk ruang publik.”
Terbentur Regulasi
Antusiasme publik akan bacaan alternatif tersebut menjadi kontradiktif apabila dihadapkan dengan banyaknya pelarangan buku yang terjadi akhir-akhir ini. Pada penghujung 2018 hingga medio 2019 saja, setidaknya telah tercatat tiga kali adanya razia buku yang terekspos oleh media; 26 Desember 2018 di Kediri, 9 Januari 2019 di Padang, dan 29 Juli 2019 di Kraksaan. Menurut Indra Ismawan sebagai CEO Media Pressindo, adanya pelarangan buku tersebut membatasi ruang gerak penerbit, terutama yang bermain di wacana alternatif.
Apalagi Kejaksaan Agung berencana membentuk satuan tugas khusus pengawasan buku (satgassus pengawasan buku). Wacana satgassus pengawasan buku didasarkan pada Pasal 69 UU 3/2017 tentang Sistem Perbukuan yang menyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia turut melakukan pengawasan terhadap substansi buku untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman umum.
Melalui surel, Kejaksaan Agung menjelaskan bahwa pengawasan dimaksudkan sebagai pencegah terjadinya tindak pidana dalam rangka mendukung penegakan hukum, baik preventif maupun edukatif di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan sehingga tercipta ketertiban dan ketenteraman umum.
Adapun urgensi dari dibentuknya satgassus pengawasan buku, menurut Kejaksaan Agung, adalah sebagai upaya detensi dini untuk mencegah terbit/beredarnya buku-buku yang isi/kontennya dapat mengganggu ketertiban dan ketenteraman umum, serta mendorong terciptanya upaya berekspresi dan berkreasi yang bertanggung jawab.
Meskipun hingga laporan ini diturunkan satgassus pengawasan buku belum dibentuk, Kejaksaan Agung menilai bahwa institusinya tetap berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap substansi buku untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman umum. Wewenang tersebut mengacu pada Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan RI tentang pengawasan peredaran barang cetakan.
Adanya wacana tersebut, menurut Dr. Baskara T. Wardaya, S.J. selaku Ketua Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia Universitas Sanata Dharma, bisa berpotensi disalahgunakan untuk membatasi dan memberangus kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan menulis. “Pada tahun 2010, peraturan mengenai pelarangan buku kan sudah dicabut melalui Putusan MK No.20/PUU-VII/2010. Jika ini mau diadakan lagi, seperti kembali kepada status sebelum 2010,” jelasnya saat ditemui reporter Ekspresi pada Jumat (18/10).
Putusan MK No.20/PUU-VII/2010 yang dimaksudkan di atas telah menganulir UU No. 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. Baskara pun menilai bahwa gagasan pengawasan substansi buku dalam bentuk satuan tugas tersebut terlalu jauh dari urgensinya—terutama dalam ranah akademik.
Di samping itu, menurutnya kewenangan pengawasan ini kontraproduktif terhadap kebebasan yang saat ini sedang dibangun serta kontradiktif terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap buku bermutu dan informasi perbukuan. Padahal hak kemudahan akses tersebut telah tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Sistem Perbukuan
Beda Perspektif
Kendati Putusan MK No.20/PUU-VII/2010 telah menganulir UU No.4/PNPS/1963, menurut Kejaksaan Agung, pengawasan terhadap substansi buku masih berada dalam rel hukum. Sebab dalam pertimbangan putusan MK No.6-13-20/PUU-VII/10/2010 tanggal 13 Oktober 2010 termaktub bahwa dalam implementasi “Due Process of Law”, aparat pemerintah diperkenankan melakukan pengawasan terhadap substansi barang cetakan. Pengawasan yang dimaksud berupa penyelidikan.
Berdasar ketetapan tersebut, Kejaksaan Agung mengklaim bahwa kewenangan kejaksaan dalam melakukan pengawasan tidak berpotensi membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap buku bermutu dan informasi perbukuan karena pengawasan bersifat preventif dan edukatif.
Menanggapi wacana pembentukan satuan tugas pengawasan buku oleh Kejaksaan Agung, Tony menganggap hal tersebut sebagai langkah yang sia-sia. Mengontrol masyarakat mengenai apa yang boleh dibaca dan tidak adalah hal yang mubazir, sebab ide adalah suatu hal dasar yang tidak dapat dilarang. Di samping itu, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengutarakan pemikirannya, baik secara lisan ataupun melalui tulisan. Jadi setiap orang, bahkan negara—melalui berbagai otoritasnya—tidak dapat mengekang individu untuk berpendapat.
Senada dengan yang diungkapkan Tony, Dana melihat adanya wacana pembentukan satuan tugas untuk mengintervensi bacaan sebagai hal yang absurd. Otoritas yang ditujukan untuk mengawasi, mengahalangi, membatasi, atau merintangi ide dalam bacaan berarti menentang kebutuhan alamian manusia akan pengetahuan. Selain itu menurut Udin, di zaman kebebasan penyebaran informasi saat ini, pembatasan gagasan melalui pengawasan buku merupakan langkah yang berlebihan.
“Pelarangan buku adalah bentuk paradoks di negara demokrasi karena memperlihatkan kesewenang-wenangan dalam membatasi kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi. Alih-alih mengantisipasi polemik di masyarakat, lewat tindakan pelarangan buku, pemerintah memperlihatkan praktik-praktik primitif dalam mengontrol, mengarahkan, membatasi, bahkan memandulkan cara berpikir masyarakat,” tulis Iwan Awaluddin Yusuf.
Fiorentina Refani
Reporter: Fiorentina Refani, Sabine Fasawwa
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa