Ekspresionline.com–Dalam pendidikan, peserta didik berkebutuhan khusus (disabilitas) juga memiliki hak dalam mengakses pendidikan terbaik untuk pengembangan diri serta peningkatan kemampuan yang dimilikinya. Sayangnya masih banyak terdapat bentuk diskrimnasi dan stigma negatif yang ditujukan kepada penyandang disabilitas dalam lingkungan pendidikan.
Pada jenjang pendidikan tinggi, sudah seharusnya proses pendidikan inklusif berjalan secara maksimal, lembaga pendidikan memiliki kewajiban dalam memberikan layanan yang inklusif seperti penyediaan aksesibilitas dan layanan pendidikan yang mampu mengakomodasi kebutuhan setiap mahasiswa didalamnya.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak disabilitas kerap mengalami bentuk diskriminasi, mulai dari proses pembelajaran yang tidak mengakomodasi kebutuhannya, kurangnya perhatian yang diberikan oleh tenaga pendididik, hingga lingkungan pertemanan yang kurang mendukung, hal ini tentunya akan menyulitkan para mahasiswa dengan disabilitas dalam tumbuh dan berkembang di dalam pembelajaran yang berlangsung.
Proses pembelajaran yang berlangsusng di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia masih mengalami banyak permasalahan, salah satu permasalahan tersebut adalah kurangnya tenaga pendidik yang andal dalam memberikan layanan yang layak begi para peserta didik dengan berbagai kebutuhannya.
Dilansir dari Kumparan.com “Beberapa waktu lalu ada salah satu penanya dari kalangan disabilitas di acara kampanye salah satu capres. Dia menyampaikan bahwa aksesibilitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia masih tergolong belum inklusif untuk penyandang disabilitas, khususnya disabilitas daksa. Menurutnya, penyandang disabilitas, apapun jenis disabilitasnya, masih mengalami kesulitan menempuh pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi. Inklusi yang digadang-gadang pemerintah nyatanya belum sepenuhnya inklusifa.”
Dari contoh kasus tersebut, berarti pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan belum mampu mewujudkan lingkungan pendidikan yang inklusif bagi semua orang, namun terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang inklusi, yaitu melalui beberapa bentuk layanan serta pemberian beasiswa pendidikan kepada para siswa.
Apakah benar pendidikan inklusi di perguruan tinggi terutama di Universitas Negeri Yogyakarta telah berjalan dengan baik?
Dukutip dari laman resmi berita Universitas Negeri Yogyakarta (18/7/2019) Pada sebuah kegiatan diskusi pengembangan pendidikan inklusi di UNY yang dilansir oleh direktur pascasarjana UNY, Prof. Dr. Marsigit M.A yang dihadiri oleh Vindi Dwi Winanto seorang ABK alumni S2 PLB PPs UNY.
Menurut Vindi di dalam laman berita tersebut pendidikan yang diselenggerakan UNY memberikan kultur yang baik dalam melayani ABK “ABK memang harus diperlakukan berbeda, tapi bukan berarti dimanja. Fasilitas ABK sebenarnya bagus, tapi menurutnya, terlalu banyak fasilitas malah membuat mahasiswa ABK akan kaget bila harus mendatangi tempat yang tidak memiliki fasilitas untuk ABK” ujarnya, Namun apakah hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu keberhasilan lembaga pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan yang baik?
Menurut penuturan beberapa narasumber yang bersedia menuangkan ceritanya, diantaranya menyatakan bentuk kultur sosial yang baik dalam menunjang proses pendidikan, bentuk layanan yang diberikan sudah cukup baik dalam mengakomodasi proses pembelajar.
Dari salah satu narasumber yang memberikan pernyataan mengungkapkan sebagai berikut “menurut saya kultur layanan pendidikan di UNY sangat beragam, hal ini kan juga terjadi karena perbedaan latar belakang sosial yang dibawah dari berbagai daerah yang berbeda, sejauh ini saya tidak mendapatkan keluhan yang berarti, tetapi saya pernah mengalami kesulitan dalam pembelajaran, berupa pada proses pengumpulan tugas yang sulit bagi saya karena kurang dalam akomodasi proses penyelesaian tugasnya” ujarnya.
Hasil penuturan dari salah satu narasumber lain juga menyimpulkan penuturan yang hampir sama, namun ada salah satu narasumber yang memberikan keluhan tentang masih adanya stigma negatif yang terjadi pada ABK oleh oknum mahasiswa dan dosen di lingkungan UNY, bentuk stigma negatif yang berkembang tersebut seperti kata-kata yang kurang pantas dan celotehan/umpatan yang dilakukan oleh oknum tersebut kepada mahasiswa di lingkungan kampus.
Dari sini kita dapat membuat sebuh kesimpulan mengenai adanya komitmen yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan dukungan yang positif kepada penyandang disabilitas dalam pendidikan, melalui berbagai program yang dilaksanakan, tentunya adanya harapan yang besar dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang inklusif, terlepas dari latar belakang yang berbeda dari setiap individu.
UNY selaku lembaga pendidikan tinggi di Indonesia telah memberikan bentuk pendekatan pendidikan yang inklusif bagi ABK, melalui penyediaan fasilitas pendukung, penyediaan berbagai layanan dan bimbingan kepada mahasiswa.
Meski tidak dapat dipungkiri masih adanya bentuk stigma dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendididikan Indonesia, kurangnya edukasi dan kesadaran dari setiap individu dalam mewujudkan lingkungan yang inklusif menjadi penyebab terbesar berkembangnya stigma negatif dalam dunia pendidikan, bentuk toleransi dan empati yang rendah mampu menciptakan kehidupan sosial dengan berbagai polemik dan masalah didalamnya. Sudah menjadi tantangan bagi kita semua dalam mewujudkan lingkungan yang inklusif dan berkeadilan.
Pendidikan seharusnya dapat memberikan akses dan kenyamanan bagi semua mahasiswa. Setiap manusia memiliki hak dalam mendapatkan layanan terbaik di dunia pendidikan, proses pendidikan harus mampu memberikan layanan yang berkeadilan kepada semua peserta didik.
Dalam pendidikan, peserta didik berkebutuhan khusus (disabilitas) juga memiliki hak dalam mengakses pendidikan terbaik untuk pengembangan diri serta peningkatan kemampuan yang dimilikinya. Sayangnya masih banyak terdapat bentuk diskrimnasi dan stigma negatif yang ditujukan kepada penyandang disabilitas dalam lingkungan pendidikan.
Pada jenjang pendidikan tinggi, sudah seharusnya proses pendidikan inklusif berjalan secara maksimal, lembaga pendidikan memiliki kewajiban dalam memberikan layanan yang inklusif seperti penyediaan aksesibilitas dan layanan pendidikan yang mampu mengakomodasi kebutuhan setiap mahasiswa didalamnya.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak disabilitas kerap mengalami bentuk diskriminasi, mulai dari proses pembelajaran yang tidak mengakomodasi kebutuhannya, kurangnya perhatian yang diberikan oleh tenaga pendididik, hingga lingkungan pertemanan yang kurang mendukung, hal ini tentunya akan menyulitkan para mahasiswa dengan disabilitas dalam tumbuh dan berkembang di dalam pembelajaran yang berlangsung.
Proses pembelajaran yang berlangsusng di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia masih mengalami banyak permasalahan, salah satu permasalahan tersebut adalah kurangnya tenaga pendidik yang andal dalam memberikan layanan yang layak begi para peserta didik dengan berbagai kebutuhannya.
Dilansir dari Kumparan.com “Beberapa waktu lalu ada salah satu penanya dari kalangan disabilitas di acara kampanye salah satu capres. Dia menyampaikan bahwa aksesibilitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia masih tergolong belum inklusif untuk penyandang disabilitas, khususnya disabilitas daksa. Menurutnya, penyandang disabilitas, apapun jenis disabilitasnya, masih mengalami kesulitan menempuh pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi. Inklusi yang digadang-gadang pemerintah nyatanya belum sepenuhnya inklusifa.”
Dari contoh kasus tersebut, berarti pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan belum mampu mewujudkan lingkungan pendidikan yang inklusif bagi semua orang, namun terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang inklusi, yaitu melalui beberapa bentuk layanan serta pemberian beasiswa pendidikan kepada para siswa.
Apakah benar pendidikan inklusi di perguruan tinggi terutama di Universitas Negeri Yogyakarta telah berjalan dengan baik?
Dukutip dari laman resmi berita Universitas Negeri Yogyakarta (18/7/2019) Pada sebuah kegiatan diskusi pengembangan pendidikan inklusi di UNY yang dilansir oleh direktur pascasarjana UNY, Prof. Dr. Marsigit M.A yang dihadiri oleh Vindi Dwi Winanto seorang ABK alumni S2 PLB PPs UNY.
Menurut Vindi di dalam laman berita tersebut pendidikan yang diselenggerakan UNY memberikan kultur yang baik dalam melayani ABK “ABK memang harus diperlakukan berbeda, tapi bukan berarti dimanja. Fasilitas ABK sebenarnya bagus, tapi menurutnya, terlalu banyak fasilitas malah membuat mahasiswa ABK akan kaget bila harus mendatangi tempat yang tidak memiliki fasilitas untuk ABK” ujarnya, Namun apakah hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu keberhasilan lembaga pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan yang baik?
Menurut penuturan beberapa narasumber yang bersedia menuangkan ceritanya, diantaranya menyatakan bentuk kultur sosial yang baik dalam menunjang proses pendidikan, bentuk layanan yang diberikan sudah cukup baik dalam mengakomodasi proses pembelajar.
Dari salah satu narasumber yang memberikan pernyataan mengungkapkan sebagai berikut “menurut saya kultur layanan pendidikan di UNY sangat beragam, hal ini kan juga terjadi karena perbedaan latar belakang sosial yang dibawah dari berbagai daerah yang berbeda, sejauh ini saya tidak mendapatkan keluhan yang berarti, tetapi saya pernah mengalami kesulitan dalam pembelajaran, berupa pada proses pengumpulan tugas yang sulit bagi saya karena kurang dalam akomodasi proses penyelesaian tugasnya” ujarnya.
Hasil penuturan dari salah satu narasumber lain juga menyimpulkan penuturan yang hampir sama, namun ada salah satu narasumber yang memberikan keluhan tentang masih adanya stigma negatif yang terjadi pada ABK oleh oknum mahasiswa dan dosen di lingkungan UNY, bentuk stigma negatif yang berkembang tersebut seperti kata-kata yang kurang pantas dan celotehan/umpatan yang dilakukan oleh oknum tersebut kepada mahasiswa di lingkungan kampus.
Dari sini kita dapat membuat sebuh kesimpulan mengenai adanya komitmen yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan dukungan yang positif kepada penyandang disabilitas dalam pendidikan, melalui berbagai program yang dilaksanakan, tentunya adanya harapan yang besar dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang inklusif, terlepas dari latar belakang yang berbeda dari setiap individu.
UNY selaku lembaga pendidikan tinggi di Indonesia telah memberikan bentuk pendekatan pendidikan yang inklusif bagi ABK, melalui penyediaan fasilitas pendukung, penyediaan berbagai layanan dan bimbingan kepada mahasiswa.
Meski tidak dapat dipungkiri masih adanya bentuk stigma dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendididikan Indonesia, kurangnya edukasi dan kesadaran dari setiap individu dalam mewujudkan lingkungan yang inklusif menjadi penyebab terbesar berkembangnya stigma negatif dalam dunia pendidikan, bentuk toleransi dan empati yang rendah mampu menciptakan kehidupan sosial dengan berbagai polemik dan masalah didalamnya. Sudah menjadi tantangan bagi kita semua dalam mewujudkan lingkungan yang inklusif dan berkeadilan.
Rizal Ariswandi
Editor: Antasya Mahaditya Islami