Ekspresionline.com–Kemajuan teknologi yang semakin pesat memberikan kontribusi bagi perkembangan sistem kecerdasan buatan atau sering disebut dengan artificial intelligence (AI). Perkembangan tersebut terjadi di berbagai bidang seperti pembelajaran mesin, pemrosesan bahasa alami, visi komputer, kendaraan otonom, robotika, komputasi kuantum, aplikasi pada layanan kesehatan, dan lain-lain. Baru-baru ini, sistem AI bernama Chat GPT menjadi viral di media sosial.
Sistem chatbot berbasis AI ini sangat bermanfaat karena dapat menjadi terobosan teknologi pengolahan bahasa yang mampu menganalisis dan menyempurnakan tulisan. Fitur utama dari Chat GPT adalah mampu dalam menghasilkan teks analitis yang dapat membantu beberapa tugas seperti pembuatan konten tulisan. Kemampuannya dalam memahami bahasa yang rumit dapat memberikan kesan yang menarik bagi penggunanya.
Dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh Chat GPT, secara umum target pengguna dapat mencakup individu dengan berbagai usia, latar belakang pendidikan, jenis pekerjaan, dan minat. Pengguna individu mengakses Chat GPT untuk tujuan hiburan atau pembelajaran. Sementara itu, organisasi bisnis menggunakannya untuk mendukung kemudahan layanan pelanggan, penjualan, atau dukungan teknis. Mengingat kompleksitas potensi penggunaan di masa mendatang, Chat GPT diprediksi akan tumbuh lebih pesat sejalan dengan peningkatan kemampuan bahasa serta integrasi dengan teknologi lainnya.
Sejarah Berdirinya Chat GPT
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi pemrosesan bahasa alami mengalami kemajuan pesat. OpenAI, sebuah perusahaan riset kecerdasan buatan di Amerika Serikat memulai proyek untuk mengembangkan algoritma pemrosesan bahasa alami yang mampu berkomunikasi dengan manusia secara efektif. Tim peneliti OpenAI berhasil mengembangkan sebuah model bahasa alami yang dikenal dengan Generative Pre-trained Transformer (GPT).
Dalam upaya untuk menciptakan model bahasa alami yang dapat berkomunikasi dengan manusia melalui obrolan atau percakapan online, OpenAI meluncurkan proyek baru bernama Chat GPT pada tanggal 30 November 2022. Proyek ini diprakarsai oleh Sam Altman bersama Elon Musk pada tahun 2015. Namun, setelah satu hingga dua tahun Elon Musk memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan tersebut. Hanya dalam waktu dua bulan setelah peluncurannya, Chat GPT telah mencapai popularitas yang luar biasa dengan capaian 100 juta pengguna.
Implikasi dalam Bidang Akademik
Keberadaan Chat GPT telah memberikan gambaran masa depan terkait dengan praktik pengajaran dan pembelajaran dengan dukungan kecerdasan buatan. Sekolah-sekolah dan universitas seringkali memberikan tugas-tugas akademik kepada mereka, seperti esai atau karya tulis lainnya. Baru-baru ini, Darren Hick, seorang profesor filsafat di Furman University di Carolina Selatan menemukan bahwa murid-muridnya menggunakan Chat GPT untuk menyelesaikan tugas esai mereka.
Dengan adanya sistem kecerdasan buatan seperti Chat GPT ini, para siswa dan mahasiswa dapat menyelesaikan tugas-tugas mereka dengan lebih mudah dan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, hal ini juga memiliki implikasi tersendiri dalam konteks akademik. Salah satu implikasi yang perlu diperhatikan adalah bahwa penggunaan Chat GPT dapat menyebabkan hasil pekerjaan siswa atau mahasiswa tidak mencerminkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kecerdasan buatan dalam bidang pendidikan memiliki tantangan tersendiri.
Tak hanya itu, tanggapan yang dihasilkan oleh Chat GPT seringkali tidak menyertakan sumber informasi yang valid, sehingga sulit untuk mendeteksi plagiarisme. Penggunaan informasi dari Chat GPT tidak selalu dapat dikategorikan sebagai plagiarisme, terutama ketika merujuk pada kebijakan integritas akademik yang berlaku di perguruan tinggi saat ini. Chatbot baru ini berusaha menghindari praktik menyalin dan menempelkan potongan teks pada tanggapan yang dihasilkan. Meskipun risiko plagiarisme sangat rendah, mekanisme kerja chatbot ini tetap memiliki potensi bias dalam menghasilkan respons.
Terdapat beberapa kasus di mana Chat GPT memberikan informasi yang tidak akurat kepada penggunanya, seperti munculnya tanggapan berupa judul buku saat ditanya tentang tokoh masyarakat. Selain itu, chatbot ini memiliki keterbatasan dalam memberikan informasi tentang isu spesifik dan lokal, alih-alih mengutip argumen yang sudah dijelaskan pada tanggapan sebelumnya. Perlu diingat bahwa sistem ini sebenarnya tidak sepenuhnya memahami respons yang dihasilkannya karena ia hanya bekerja berdasarkan algoritma yang telah dirancang oleh pengembang.
Tanggapan dari Akademisi
Meskipun AI generatif bukanlah hal baru, kualitas tanggapan yang dihasilkan oleh Chat GPT melampaui kemampuan tools berbasis AI sebelumnya. Fenomena ini memicu perdebatan dalam komunitas pendidikan tinggi mengenai penggunaannya dalam proses belajar-mengajar. Muncul berbagai pertanyaan terkait integritas akademik dan efektifitas penggunaan sistem chatbot. Sejak diluncurkan, beberapa kritikus telah memperingatkan bahwa Chat GPT berpotensi dimanfaatkan oleh siswa untuk melakukan kecurangan dalam mengerjakan tugas.
Baru-baru ini, Departemen Pendidikan Kota New York mengeluarkan larangan terhadap penggunaan Chat GPT karena khawatir akan dampak negatifnya terhadap proses pembelajaran. Sementara itu, Billy Kelly, ketua Jaringan Integritas Akademik Nasional Irlandia mengatakan bahwa Chat GPT mampu menghasilkan esai yang memungkinkan untuk lulus penerimaan universitas. Ella Prihanti, dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, melihat langsung pentingnya proses pembelajaran mahasiswa dalam menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Saat membahas peningkatan aksesibilitas di Chat GPT, Prihanti menekankan pentingnya siswa untuk mengingat tujuan mereka dalam belajar dan tidak membiarkan teknologi mengambil alih pengalaman belajar mereka (McCure, 2023).
Meskipun banyak akademisi yang menentang keberadaan Chat GPT di lingkungan akademik, ada juga sebagian akademisi yang berpandangan positif. Profesor Ahmed El-Gohary, mantan presiden Universitas Sains dan Teknologi Mesir-Jepang di Alexandria mengatakan bahwa AI memang menimbulkan tantangan bagi sistem pendidikan, tetapi juga memiliki potensi positif (Sawahel, 2023). Dr. Abdennasser Naji, mantan penasihat menteri pendidikan tinggi, dan presiden Institut Amaquen di Maroko mengatakan bahwa pelarangan Chat GPT berarti penolakan terhadap kemajuan (Sawahel, 2023). Sementara itu, Dr. Mosab Hamad, kepala departemen fakultas ilmu kesehatan Universitas Elsheikh Abdallah Elbadri di Sudan, juga tidak menganggap Chat GPT harus dilarang, melainkan kemampuan intelektual dan nilai-nilai etika mahasiswa yang harus dikembangkan (Sawahel, 2023).
Munculnya teknologi kecerdasan buatan dengan kemampuan luar biasa seperti Chat GPT memiliki implikasi positif dan negatif di bidang akademik, tergantung konteks penggunaannya. Pemanfaatan yang tepat dari sistem ini akan membantu dan memperkaya wawasan bagi penggunanya. Begitupun sebaliknya, pemanfaatan untuk tujuan negatif seperti menyontek akan sangat merugikan pengguna. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan etika dalam penggunaan teknologi tersebut, salah satunya dalam bidang pendidikan. Penerapan penggunaan teknologi kecerdasan buatan sangat menentukan nasib pendidikan di masa depan.
Diah Sri Rahayu (Mahasiswa S-1 Pendidikan Akuntansi 2021)
Editor: Nugrahani Annisa
Daftar Pustaka
McCure, L. (2023)Apakah kita membutuhkan AI untuk mengembangkan kecerdasan manusia?. Bola Jakarta. [Online] Tersedia di: https://jakartaglobe.id/tech/do-we-need-ai-to-develop-human-intelligence (Diakses: 17 Maret 2023).
Sawahel, W. (2023)Menerimanya atau menolaknya? Akademisi tidak setuju tentang ChatGPT. Berita Dunia Universitas. [Online] Tersedia di: https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20230207160059558 (Diakses: 17 Maret 2023).