Ekspresionline.com–Pada Rabu malam (8/5/2024), keramaian terlihat di depan Performance Hall, FBSB UNY. Terlihat susunan tenda hajatan berdiri dengan hiasan berwarna putih-biru yang menaungi jajaran makanan, minuman, dan meja administrasi.
Barisan panjang mahasiswa dan staf kampus mengantri untuk mengambil hidangan yang telah disediakan secara cuma-cuma. Saling mengobrol dibarengi bersantap ria, menjadi pemandangan yang mengisi tempat-tempat duduk dan seisi pelataran gedung tersebut.
Pada pintu masuk Performance Hall, terdapat sekelompok orang berpakaian adat Jawa, menyambut siapa saja yang akan menonton acara Ketoprak UNY Budaya. Mereka adalah para pendidik dan tenaga kependidikan yang bertugas sebagai panitia acara tersebut. Selain menyambut, mereka juga mengingatkan kepada para pengunjung agar tidak membawa makanan masuk gedung.
Saat waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB, orang-orang yang berada di halaman Performance Hall mulai masuk gedung, dan memenuhi bangku-bangku penonton aula pertunjukkan. Sambutan dari alunan musik gamelan dan nyanyian para sinden dari Unit Kegiatan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Seni Tradisi (UKM Kamasetra) UNY, menjadi penanda pra-acara.
Rektor UNY, Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes., AIFO., memasuki ruangan bersama rombongan akademisi di belakangnya, sekitar 15 menit setelah pra-acara dimulai.
Alunan musik dan tetembangan UKM Kamasetra tak lama kemudian berhenti, lalu muncul sepasang mahasiswa berbusana adat Jawa sebagai pranatacara, membuka rangkaian acara malam hari ini. Menggunakan bahasa Jawa, sepasang pranatacara tersebut membuka dengan mengucapkan salam, menghaturkan penghormatan, juga membacakan susunan acara, sebagaimana pembawa acara pada umumnya.
Acara diawali dengan berdoa dengan mengheningkan diri, lalu dilanjutkan dengan atur pangandikan oleh Dekan FISHIPOL UNY, Prof. Dr. Supardi, M.Pd., selaku Ketua Panitia Dies Natalis UNY ke-60. Mengenakan baju beskap berwarna merah khas FISHIPOL UNY, disertai pula jarik, keris, selop, dan blangkon, Prof. Suhardi berjalan ke atas panggung diiringi merdu suara musik gamelan.
Dengan pose ngapurancang, Supardi memberikan sambutan dengan melaporkan bahwa acara Ketoprak UNY Budaya dihadiri oleh 882 dari 995 mahasiswa yang mendaftar melalui Google Form. Ia juga mengatakan bahwa pertunjukan ketoprak yang menghadirkan cerita Ande-Ande Lumut tersebut merupakan salah satu ikhtiar dalam rangkaian perayaan Dies Natalis UNY Ke-60 dengan 39 pemain hasil lolos seleksi yang telah berlatih selama dua bulan. Ia juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan arahan dan bantuan.
“Kegiatan menika insya Allah sukses amargi arahan, bantuan [dari] Bapak Rektor, Bapak Wakil Rektor, Bapak/Ibu Pimpinan, dan Keluarga Besar Universitas Negeri Yogyakarta,” ujar Supardi.
Supardi juga melaporkan adanya tiga instansi yang menjadi sponsor acara Ketoprak UNY Budaya tersebut. Pertama, Bank BPD DIY yang ia sebut memberi dukungan paling banyak. Kedua, Heri Jaya Group, disebut sebagai salah satu kontraktor yang bekerja sama dengan UNY. Ketiga, Grand Rohan Jogja, yang dituturkan sebagai hotel yang telah lama melakukan kerja sama dengan UNY.
Supardi meminta apresiasi dari para hadirin dengan bertepuk tangan untuk ketiga instansi tersebut sebelum menutup laporannya, lalu turun dari panggung dengan kembali diiringi alunan musik gamelan.
CNCN (Ceneng-ceneng) dan Saweran Waru Doyong Rektor Sumaryanto
Serupa seperti Supardi, Sumaryanto naik ke atas panggung dengan alunan musik gamelan. Gaya berjalannya cepat, sudah menjadi ciri khasnya. Mengenakan baju batik berwarna hitam, Sumaryanto mulai mengucap sabda pangandikan menggunakan bahasa campuran antara Indonesia dan Jawa.
Dalam sambutannya, Sumaryanto memberikan aplaus kepada segenap panitia Dies Natalis UNY Ke-60, beserta seluruh pihak pendukungnya. Ia meminta maaf kepada guru besar senior yang hadir, utamanya ia sebutkan yaitu Prof. Drs. Suyanto, M.Ed., Ph.D., karena harus menunggu dosen angkatan‘90.
Sumaryanto melanjutkan sambutannya dengan berkelakar bahwa kedatangannya ke acara ini terasa berat karena beberapa hal. Salah satunya karena kekalahan Tim (UNY) Pusat pada Final Pekan Olahraga Antar Akademisi Cabang Tenis Lapangan melawan Tim FIKK. Ia ceritakan hal tersebut dengan memberikan sedikit perspektif tentang olahraga pada acara kesenian.
“Rasane abot ajeng sowan ke FBSB. Ning karena wedi dijewer Prof. Minto, ya, pokoke kudu sowan,” ujar Sumaryanto.
Kecewa dengan hasil pertandingan, Sumaryanto bercerita bahwa ia ingin mencari hiburan di Kemahasiswaan. Namun, ia justru dihadapkan pada berbagai urusan, seperti rapat persiapan KONASPI (Konvensi Pendidikan Nasional), mitigasi ijazah yang belum diambil dengan jumlah yang sangat banyak disebabkan kekurangan sesuatu, dan lain sebagainya.
Itulah mengapa, ia menyebut kehadirannya terasa berat, tetapi dirinya tetap hadir untuk menghormati guru besar senior, yang ia sebutkan pula nama Prof. Dr. Drs. Suminto A. Sayuti.
“Bertanding ki anane mung kalah karo menang. Tapi yang penting CNCN, [singkatan] ceneng-ceneng,” tambah Sumaryanto.
Sumaryanto juga menyambut para penonton yang akan menyaksikan pertunjukan ketoprak, sekaligus menyinggung soal persiapannya pada pertandingan Pekan Olahraga Cabang Tenis Meja dan rapat tentang back up pendanaan acara dengan panitia.
Sumaryanto menambahkan bahwa Ande-Ande Lumut adalah cerita yang sangat baik, sampai-sampai warna baju batik yang ia kenakan ia sesuaikan dengan warna tema surat undangan. Baju batik tersebut merupakan baju yang diberikan seseorang.
“Iki nggih mung baju ratu, [singkatan] ra tuku. Amung paringan ndalem angkatannya Prof. Ranto, Prof. Sefti, Prof. Kus, dan kawan-kawan lainnya, sehingga sengaja saya pilih supaya cocok dengan undangannya,” ujar Sumaryanto.
Sebagai penutup, Sumaryanto memohon maaf atas kalimat yang kurang berkenan dan berterima kasih pada mitra pemberi sponsor. Selanjutnya, ia mengingatkan kembali kepada hadirin untuk CNCN (ceneng-ceneng)–plesetan dari seneng-seneng atau senang-senang–dan berjanji akan menyawer jika diiringi lagu Waru Doyong saat turun dari panggung. Ia menenangkan istrinya, Sulastri, bahwa ia tidak akan nyawer banyak.
“Ketua Dharma Wanita nggak usah khawatir saya nyawer banyak, karena kulo nggak nggowo dompet,” ujar Sumaryanto sambil membalikkan badan seraya menunjukkan saku celana bagian belakang yang tidak ada benjolan dompet.
Dua pesinden UKM Kamasetra bersiap membawakan baki yang berisi kentungan dan sampur, bersama mengajak Riana Nurhayati, M.Pd., selaku pemeran Putri Candrakirana atau Klenting Kuning. Nantinya, kentungan tersebut akan ditabuh dan sampur tersebut dikalungkan ke pemeran Candrakirana yang akan dilakukan oleh Sumaryanto, sebagai penanda bahwa acara Ketoprak UNY Budaya dengan membawakan cerita Ande-Ande Lumut akan segera dapat disaksikan.
Sumaryanto kembali memberikan pernyataan tambahan bahwa ia menyukai kesenian ketoprak. Selain UNY Budaya, ia juga memiliki klub ketoprak bernama Akrab Budaya. Akhir-akhir ini, Sumaryanto selalu di-dapuk memerankan tokoh brekasakan (makhluk kasar, suka bertarung, bisa diartikan raksasa). Ketika bermain ketoprak sebagai lomba yang diadakan di Pendopo Rumah Kampung Seyegan, ia berperan sebagai Dadung Awuk (musuhnya Jaka Tingkir).
“Tung, tung, tung, tung, tung… Waru, waru doyong. Doyong nang pinggir kali.” Suara kentungan ditabuh diikuti musik gamelan dengan lagu Waru Doyong permintaan Sumaryanto.
Sebelum turun panggung, ia duduk bersila di depan para sinden dan pengrawit UKM Kamasetra. Ia mulai mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah muda. Nampak wajah sumringah terpancar dari para sinden dan pengrawit tersebut.
“Weh, UKT-mu, Mas,” celetuk teman yang duduk di bangku penonton sebelah saya, ketika seluruh penonton yang lain bersuara riuh dan tertawa saat aksi sawer itu berlangsung.
Sumaryanto pun akhirnya kembali ke tempat duduknya. Namun, sebelum pranatacara melanjutkan acara, keduanya sedikit memberikan sindiran bahwa pranatacara belum disawer. Sumaryanto kembali naik ke atas panggung lagi dan memberikan beberapa lembar uang kepada pranatacara.
Seketika raut sumringah terhias di wajah kedua pranatacara. Intonasi kedua pranatacara pun meninggi, menunjukkan bahwa saweran tersebut ternyata menambah semangat keduanya. Hal ini tentunya disambut riuh sorakan para penonton.
Komedi Satire Para Akademisi
“… UNY budayane hanjayeng bawono… Tung-tung, tung-tung, tung, tung, tung, tung, tung… Ngelmu iku kelakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani,” nyanyian para sinden diiringi suara gamelan dan suara kentungan ketoprak membuka pentas Ketoprak UNY Budaya dengan judul Ande-Ande Lumut.
Segmen pertama menyuguhkan adegan perang antara Kerajaan Kediri dan Jenggala. Kepulan asap buatan, properti berupa pohon dan batu buatan, serta sorot lampu panggung berwarna merah mendukung adegan para akademisi yang berperan sebagai prajurit dari kedua kerajaan. Mereka saling adu kebolehan silat yang selama dua bulan ini telah dilatih bersama.
Lampu panggung berubah dari merah ke hijau, menandakan perubahan segmen cerita. Pengaturan warna lampu yang tepat dalam mendukung latar suasana cerita dan suara yang didukung sound system yang jelas sangat mendukung kelancaran jalannya cerita. Wajarlah jika harga sewanya mencapai Rp4.800.000,00 rupiah untuk satu hari.
Segmen kedua memperlihatkan Putri Candrakirana yang ditarik untuk berlari oleh Dr. Drs. Bambang Saptono, M.Si., yang berperan sebagai Panji Asmara Bangun. Mereka berlari untuk menghindar dari kerumunan dan memulai percakapan yang menghibur seisi aula pertunjukkan.
“Kangmas iki lho, senengane apus-apus,” ungkap Candrakirana merajuk palsu.
“Ora jeneng aku kuwi apus-apus. Yen jaman saiki jenenge modus,” sahut Panji Asmara Bangun.
“Oh, inggih. Modus, nggih mboten nopo-nopo. Amung ning ketoprakan mawon tho, Kangmas?” tanya Candrakirana.
“Iyo. Sebab ning pojok kono ono anakku, mantuku, sak besan-besanku,” jawab Panji Asmara Bangun sambil menunjuk ke arah bagian tempat duduk penonton.
Panji Asmara Bangun dan Candrakirana saling merayu dan melempar umpan candaan pada sepanjang segmen kedua, juga disisipi adegan nembang dan alunan gamelan. Adegan romantis keduanya digambarkan khas percintaan ala remaja masa kini. Hanya saja dibalut dengan nuansa masa lampau.
Dalam cerita tersebut, Panji Asmara Bangun yang berasal dari Jenggala dan Candrakirana yang berasal dari Kediri, sudah mendapat restu dari Prabu Lembu Amiluhur, yang diperankan oleh Prof. Dr. Suranto, M.Pd., M.Si., untuk dapat berjodoh. Namun, dikarenakan Panji Asmara Bangun belum mau menerima tawaran sang prabu untuk menjadi penerus, ia dan Candrakirana pun terusir dan terpisahkan.
Panji Asmara Bangun dan Candrakirana dalam kebingungan, saling mencari satu sama lain. Keduanya mau tidak mau harus membuang kebangsawanan mereka, dan hidup menumpang, atau ngenger, dengan warga biasa. Candrakirana ngenger kepada Mbok Randha Nyai Intan, seorang janda kaya raya yang kikir dan semena-mena.
Nyai Intan hidup bersama keempat anaknya yaitu Klenting Abang, Klenting Biru, Klenting Ijo, dan Klenting Ungu. Candrakirana pun mengubah namanya menjadi Klenting Kuning dan menjalani hari-hari penuh penderitaan.
Sementara itu, Panji Asmara Bangun cukup beruntung karena ngenger kepada dua janda kakak beradik yang miskin, tetapi baik hati dan humoris, bernama Mbok Randha Dadapan dan Surti. Panji Asmara Bangun pun mengubah namanya menjadi Ande-Ande Lumut.
“Aku ki rondho, ra duwe opo-opo. Lha, wingi aku ki keblusuk neng Koperasi Mapan Sejahtera. Aku utang, tak nggo tuku motor. Jebul motor bekase Pak Siswanto, ning stang-e kewalik. Yo, njur tak dandani nganti duwitku ntek. Ning yo rapopo. Aku esih dodolan mben dino. Dodolan abab. Kae, sing tuku abab poro siswo kaluhur,” monolog dari Prof. Dr. Dra. Sri Harti Widyastuti, M.Hum., yang berperan sebagai Mbok Randha Dadapan.
“Lha, ra tau menyang kok,” sahut salah satu pengrawit UKM Kamasetra yang disambut tawa penonton.
“Bener. Ra tau menyang mergo bar nggebuk gamelan, ngantuk, njaluke daring. Oke, rapopo senenge dorang-daring, on cam yo. Jawabe ‘nggeh’ kabeh. Basan presensi, jebule Prastowo nembe tangi turu, rambute reab-reab. Terus neng mburine pating cranthel mbuh opo. Durung maneh sing, ‘Bu, kulo tak meng kamar mandi’. Ono maneh sing, ‘Bu, kulo sambi nylumbat klopo, nggeh’. Waduh…” lanjut Mbok Randha Dadapan.
Ada dua segmen yang paling ikonik dalam pentas ketoprak Ande-Ande Lumut ini. Yang pertama adalah kemunculan Yuyu Kangkang. Alasannya, karena siapapun yang berperan sebagai Yuyu Kangkang pastinya akan memiliki dandanan dan gerak-gerik tubuh yang tidak seperti tokoh lainnya.
Wajah pemeran Yuyu Kangkang biasanya dicat merah dengan hiasan tubuh kepiting. Gerak tubuhnya geal-geol dengan kedua tangan terangkat menyiku bak kepiting raksasa dengan sifat yang cabul.
Peran Yuyu Kangkang kali ini dimainkan oleh Prof. Dr. Drs. Saliman, M.Pd. dengan sangat baik. Terdapat tambahan hiasan berupa cakar panjang di jemari tangannya, serta monolog awalnya menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Banyumasan.
“Ha, ha, ha, ha. Yuyu kuwe nek ana wong, umpetan. Soale wedi dicekel terus digawe yuyu rebus. Apa maning angger ditambahi saus tiram, enake ra karu-karuan … Lha kiye tugase saking sutradara, nyong kon nyebrangnya wong ayu-ayu mengko diambungi upahe,” ujar Yuyu Kangkang beraksen Ngapak.
“Kepenak banget ketoprakan kie. Soale sutradarane sadurunge pembagian peran kuwe wis tak sogok disit. ‘Nyong kudu dadi Yuyu,’ kaya kuwe. Sing paling nggawe sedih kuwe apa? Liyane kuwe wis pada tanda tangan. Lha nyong ra teyeng tanda tangan, wong kaya kiye sih tangane nyong sih, ya,” tambah Yuyu Kangkang sambil menunjukkan jari-jari di tangannya yang dipasangi kuku-kuku panjang.
Bagian menarik yang kedua ialah momen ketika Klenting Kuning dan Ande-Ande Lumut dipertemukan. Pada adegan ini, terdengar tembang yang sangat ikonik, berisi tanya jawab antara Mbok Randha Dadapan dan Ande-Ande Lumut terkait lamaran dari Klenting Kuning.
“Putraku si Ande-Ande Lumut, Temuruno ono putri kang unggah-unggahi, Putrine, kang olo rupane, Klenting kuning iku kang dadi asmane,” tanya Mbok Randha Dadapan.
“Duh ibu, kulo inggih purun, Duh ibu, kulo inggih medun, nadyan olo meniko kang putro suwun,” jawab Ande-Ande Lumut menerima lamaran Klenting Kuning.
Setelah sekian lama berpisah, akhirnya kedua pasangan yang dimabuk rindu dapat bertemu. Ande-Ande Lumut dan Klenting Kuning pun berganti ke pakaian kerajaannya yang semula, dan mengaku kepada Mbok Randha Dadapan dan Surti, bahwa mereka sejatinya adalah Panji Asmara Bangun dan Candrakirana. Seketika, kedua janda tersebut tersentak kaget dan langsung terduduk memberikan hormat selayaknya seorang kawulo kepada bangsawan.
Pesan yang dapat Diambil dari Kisah Ande-Ande Lumut
Tak lengkap rasanya bila tidak membahas amanah cerita dari suatu pagelaran seni. Walaupun secara resmi tidak ada alasan khusus dari panitia Dies Natalis UNY ke-60 dalam memilih cerita Ande-Ande Lumut–selain diduga karena memang ceritanya yang mudah dimainkan dan sudah terkenal–tetap ada pesan yang dapat diambil dari sudut pandang penonton.
Dari tokoh Klenting Kuning, alias Candrakirana mengajarkan pentingnya kejujuran dan kesetiaan dalam hubungan. Klenting Kuning adalah satu-satunya yang berhasil menunjukkan kesetiaannya dengan menolak godaan Yuyu Kangkang, sementara saudara-saudaranya tidak. Klenting Kuning juga menunjukkan kesabaran dan keteguhan hati dalam menjalani berbagai ujian dan cobaan untuk mencapai tujuan dan cintanya.
Dari tokoh Ande-Ande Lumut, alias Panji Asmara Bangun mengajarkan kita untuk melihat seseorang dari kepribadian dan tindakan mereka, bukan dari penampilan luarnya. Ande-Ande Lumut tidak menilai calon istrinya berdasarkan penampilan, tetapi dari hati dan tindakan mereka. Ini merupakan suatu ajaran yang cukup relevan pada masa sekarang, mengingat lookism sudah mulai menyerebak di kalangan anak muda.
Secara keseluruhan, cerita Ande-Ande Lumut menyoroti pentingnya keadilan dan kesetaraan sosial, di mana seseorang tidak boleh dinilai atau diperlakukan berbeda hanya karena status atau penampilan mereka. Kisah Ande-Ande Lumut juga mengandung beberapa elemen yang bisa diinterpretasikan sebagai pesan kesetaraan gender.
Klenting Kuning mengambil inisiatif untuk melamar (unggah-unggahi) Ande-Ande Lumut, yang merupakan hal tidak biasa dalam tradisi Jawa yang lebih konservatif, di mana biasanya pihak laki-laki yang melamar perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki hak dan keberanian untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka.
Klenting Kuning adalah protagonis yang aktif, bukan sekadar objek dalam cerita. Ia mengambil tindakan dan keputusan penting yang mempengaruhi jalannya cerita, menunjukkan bahwa perempuan harus dan mampu memainkan peran aktif dalam hidup mereka sendiri.
Citra Widyastoto
Editor: Rosmitha Juanitasari