Ekspresionline.com–Pada hari kedua Festival MocoSik 2019 (25/08/2019), pewara festival tersebut mewanti-wanti para pengunjung untuk tidak membeli buku bajakan. Membeli buku bajakan, katanya, bakal mematikan industri buku secara perlahan. Imbauan tersebut adalah transisi, pertanda acara akan masuk ke sesi konferensi pers oleh Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) yang baru saja memulai perang dengan pembajak buku lewat pelaporan ke polisi.
Di depan wartawan, penggerak sekaligus inisiator konsorsium, Hisworo Banuarli, menyatakan kegelisahan tentang pembajakan buku yang dirasa kian masif dalam dua tahun terakhir. Sambil memegang mikrofon, pria berambut gondrong itu juga menegaskan bahwa pembajakan buku bukan masalah penerbit dengan pembajak, tetapi masalah negara yang seharusnya melindungi ekosistem penerbitan buku. “Bahwa dunia perbukuan di Indonesia harus dilindungi oleh negara,” katanya santai.
Melawan Pembajakan: Sebuah Usaha
Tim Ekspresi pertama kali betemu dengan Hinu, panggilan akrab Hisworo, pada 26 Juli 2019, seusai pertemuan para pelaku industri buku untuk mempersiapkan Festival MocoSik 2019 di Medpresso Coffee Garden. Waktu itu, kami sedang melakukan wawancara dengan Indra Ismawan, CEO Media Pressindo. Saat kami menanyakan perihal pembajakan, Indra lantas memperkenalkan gerakan memerangi pembajakan buku yang dilakukan oleh Hinu pada kami.
“Hinu melakukan gerakan melawan pembajakan dengan cara pakai lawyer, pakai polisi gitu. Dia yang mengawali gerakan ini, semua penerbit yang mau ikut diajak, termasuk kita [Media Pressindo] juga,” ujarnya.
Kebetulan, Hinu juga berada di Medpresso waktu itu. Indra lantas memaggilnya. Lelaki itu, yang waktu itu menggunakan kemeja dengan dua kancing bagian atas yang terbuka, menoleh dan berjalan mendekati kami. Sebelum kami mulai bertanya tentang gerakan anti-pembajakan yang ia inisiasi, sambil membakar rokoknya, ia terlebih dahulu berkelakar pada kami, “Yakin mau reportase [soal pembajakan]?”
Candaan itu bukan tanpa alasan. Hinu lalu bercerita, salah satu kendala ketika mencoba menginisiasi gerakan pemberantasan pembajakan buku adalah sulitnya meyakinkan para penerbit agar memerangi pembajakan buku bersama-sama. “Ketika saya mengajak teman-teman untuk memerangi pembajakan buku, banyak yang pesimis,” ungkapnya.
Indra merupakan salah satu yang pesimis untuk memerangi buku lewat jalur hukum. Ia lebih percaya pada kampanye untuk membuat budaya malu membaca buku bajakan. “Mengatasi pembajakan dengan cara legal itu cuman kayak nekan balon. Ditekan di sini, menggelembung di sana. Itu dari dulu juga kayak gitu kok,” ujarnya. Meskipun demikian, ia tetap mendukung apa yang dilakukan Hinu. Media Pressindo adalah satu dari 13 penerbit yang tergabung di KPJ.
Senada tapi tak serupa, pemimpin Klinik Buku EA, Puthut EA, juga menyatakan pemberantasan pembajakan melalui jalur hukum sulit dilakukan. Namun, bukan karena ia skeptis dengan langkah hukum yang ada. Menurutnya, kesulitan ini lebih dikarenakan tidak bersatunya para penerbit, sebagai pihak yang dirugikan, dalam melawan pembajakan. “Orang meluangkan waktu untuk rapat saja tidak mudah, apalagi meluangkan waktu untuk mengadvokasi hal kayak gitu. Butuh intensitas, butuh uang, butuh tenaga,” katanya pada Rabu, (24/7/2019).
Ketua Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Yogyakarta, Ariyanto, memahami munculnya sikap pesimis para penerbit pada jalur hukum. Menurutnya, hal itu dikarenakan, selama ini, para penerbit tidak benar-benar menggunakan taktik jitu dalam memerangi pembajakan buku—selain tidak bersatunya panerbit. Hal tersebut membuat jalur hukum yang ditempuh tidak maksimal. “Malah keluar banyak uang dan capek,” ungkapnya saat kami temui di kantornya pada Jumat (04/10/2019).
Oleh karenanya, saat KPJ kemudian meminta bantuan hukum ke IKADIN, Ariyanto mengatakan bahwa gerakan ini harus memerhatikan tiga hal. “Benar-benar bikin laporan, kita kawal kasus ini, dan terpenting adalah memanfaatkan momentum,” katanya.
Lantas, dengan bantuan IKADIN, pelaporan benar-benar dilakukan pada 21 Agustus lalu. Festival MocoSik 2019 yang dihadiri banyak pelaku industri buku dijadikan momentum dan dilaksanakanlah konferensi pers. Dan berkat pelaporan yang tidak dilakukan secara pribadi, kasus ini kemudian dikawal oleh setidaknya 13 penerbit yang tergabung di KPJ.
Pemanfaatan momentum MocoSik ternyata berbuah manis. Menurut Ariyanto, selepas konferensi pers tersebut ramai diberitakan media, Polda DIY menjadi tanggap pada perkara ini. “Polda yang selama ini masih meraba-raba, langsung memanggil [pihak KPJ],” ungkapnya.
Delik yang Bikin Pelik
Undang-undang yang dapat digunakan, yang juga digunakan KPJ, untuk memerangi pembajakan buku ialah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang tersebut merupakan perubahan atas UU hak cipta sebelumnya, yakni UU Nomor 19 Tahun 2002. Selain menambah beberapa pasal, UU terbaru tentang hak cipta juga mengubah jenis delik dari delik pidana biasa menjadi delik aduan.
Menurut Ariyanto delik aduan dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 menjadi salah satu alasan peliknya pemberantasan pembajakan buku. Bila sebuah undang-undang pidana bersifat delik aduan, maka perkara baru bisa diperkarakan ketika ada pihak yang merasa hak ekonomi atas karyanya dilanggar, melaporkannya. Dengan kata lain, kalau tidak ada yang mengadukan, penegak hukum tidak bakal bergerak. Padahal banyak penerbit yang sudah lelah untuk mengadu.
KPJ sendiri, melalui Hinu, meyakini bahwa pemberantasan pembajakan buku tidak bakal berhasil tanpa campur tangan negara, sebagai pemilik kuasa terbesar. Oleh karenanya ia bersikeras bahwa negara harusnya proaktif terhadap pemberantasan pembajakan buku. Diubahnya UU menjadi delik aduan justru menunjukkan bahwa negara pasif dalam hal ini.
Sebuah Hasil: Permintaan Maaf
Akhir bulan September, saat proses hukum masih berkutat di penyelidikan pihak kepolisian, Hinu mendapat ajakan bertemu dengan perwakilan pelapak Shopping Center, sentra penjualan buku yang Hinu sebut 90% buku yang dijual adalah bajakan.
Pertemuan pun dilaksanakan. Hinu sebagai perwakilan KPJ bertemu dengan empat orang pelapak Shopping Center. Empat orang ini, kata Hinu, adalah pelapak “yang dituakan” oleh pelapak lain di Shopping Center. Mereka, atas nama semua pelapak, menyampaikan tiga hal. Pertama, permintaan maaf karena telah menjual buku bajakan. Kedua, permohonan untuk tidak membawa mereka ke meja hijau. Ketiga, berjanji untuk tidak lagi menjual buku bajakan dari 13 penerbit yang tergabung di KPJ.
Lalu, hari Jumat minggu kedua bulan Oktober, anggota KPJ berkumpul. Bertempat di Medpresso, mereka mendiskuskan tiga poin hasil pertemuan Hinu dengan empat pelapak Shopping Center. Terhadap poin ketiga, KPJ merasa kecewa. Bagi mereka, perlawanan yang KPJ lakukan tidak terbatas pada kepentingan 13 penerbit yang tergabung di dalamnya.
“Bagi kami, perjuangan kami enggak untuk kami tok, tapi untuk seluruh penerbit di Indonesia,” ungkap Hinu ketika kami temui di kantornya pada Rabu, (16/10).
Akan tetapi, mengenai permintaan maaf dari para pelapak Shopping Center, KPJ menyambut baik iktikad itu. Lebih lanjut, Hinu mengatakan kalau memang benar nanti pelapak Shopping Center sudah tidak lagi menjual buku bajakan, para penerbit akan memberi suport dengan mendistribusikan bukunya ke sana.
“Tujuan kami itu industri buku yang sehat. Ketika anda [pelapak di Shopping Center] sudah tidak jual buku bajakan, kemudian anda menjual buku original dari kita [penerbit], selesai,” tambahnya.
Poin kedua, mengenai permohonan untuk tidak memperkarakan pelapak Shopping Center ke pengadilan, ternyata menjadi pembahasan yang cukup pelik. Ariyanto, yang mengaku belum mengetahui adanya pertemuan Hinu dengan perwakilan pelapak saat kami konfirmasi, menyatakan tak ada kata permintaan maaf dalam proses hukum. “Undang-undangnya kan sudah jelas, ancaman pidana,” tuturnya.
Ancaman yang dimaksud Ariyanto adalah denda sebesar Rp100.000.000, seperti yang termaktub dalam Pasal 114 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal tersebut ditujukan kepada setiap pengelola tempat perdagangan barang hasil pelanggaran hak cipta. Sedangkan, apabila kedapatan ikut memproduksi barang bajakan, maka ancaman bertambah menjadi denda Rp4.000.000.000.000 dan/atau 10 tahun kurungan, sebagaimana yang tertulis pada Pasal 113 Ayat 4 dalam UU yang sama.
Hinu membenarkan apa yang dikatakan Ariyanto. Langkah KPJ yang mana menyambut baik permintaan maaf pelapak Shopping adalah proses antara KPJ, sebagai pelapor, dengan pelapak Shopping Center, sebagai terlapor. Musyawarah itu tidak termasuk proses hukum. Hinu menegaskan, tujuan KPJ hanya untuk membuat industri buku yang sehat, bukan “main pukul” pada penjual buku bajakan, sehingga proses damai perlu dipertimbangkan.
Ke depan, Hinu menyampaikan bakal ada lagi pertemuan antara pihak KPJ dan pelapak Shopping Center. Pertemuan itu dimaksudkan untuk merumuskan arah penyelesaian perkara buku bajakan di Shopping Center. Ia berharap dengan adanya pertemuan nanti, akan muncul satu kesepakatan tertulis. “Harus tetep ada ‘hitam di atas putih’ ya, biar enggak ada salah perspsi,” katanya.
Bila perkara buku bajakan di Shopping Center telah usai, Hinu mengatakan akan beralih ke marketplace. Ia menyatakan KPJ bakal menutup aliran-aliran distribusi buku bajakan. “Logikanya, ketika ada air deras kita ampetin, yo enggak akan keluar airnya,” katanya.
Bagai Menahan Arus Laut
Seperti yang dikatakan Puthut, memberantas pembajakan buku adalah satu usaha yang tidak mudah. Ariyanto, ketika diajak Hinu untuk membantu KPJ, mewanti-wanti bahwa pemberantasan pembajakan buku adalah usaha yang tidak akan selesai dalam satu-dua tahun. “Ini penyakit menahun dan tidak hanya dialami di Jogja, tetapi juga di seluruh kota. Jadi kalau memang mau bergerak, dari Jogja lah bergeraknya,” ujar Ariyanto.
KPJ mahfum soal hal tersebut. Hinu menjelaskan, apa yang dilakukan KPJ belum cukup untuk memberantas pembajakan buku, diperlukan usaha-usaha yang sama di berbagai daerah lain. Seperti kata Ariyanto, “Bergerak dari Jogja”.
Ketika pertama kali kami bertemu Hinu, saat ia memakai kemeja dengan dua kancing bagian atas yang terbuka, ia menjelaskan kepada kami mengapa akhirnya ia tergerak untuk membikin gerakan pemberantasan buku bajakan. Yaitu enggan melihat industri penerbitan buku mati perlahan karena pembajakan.
“Pembajakan itu berdampak pada kemandekan regenerasi dunia penerbitan di Indonesia,” kata Hinu. Lebih lanjut, ia mengatakan sebuah penerbitan pasti dimulai dari usaha kecil. Ia khawatir, pembajakan yang kian masif akan merambah ke penerbitan-penerbitan yang tergolong baru didirikan. “Begitu Anda menerbitkan satu buku best-seller, lalu dibajak piye? Kalau penerbit yang sudah berumur, misalnya kayak Gramedia gitu, mungkin masih bisa hidup. Dia nyetak 20 yang dibajak lima, ya masih bisa hidup,”
“Kalau [penerbitan] tutup [karena pembajakan], apakah ada buku bagus lagi yang akan dibajak? Kalau begitu. akhirnya pembajakan akan mati, tapi nunggu sumbernya dulu mati, kan jangan sampai seperti itu,” pungkasnya waktu itu.
Rizal Amril
Reporter: Rizal Amril, Sabine Fasawwa, Fiorentina Refani. Reza Egis, Ikhsan Abdul Hakim
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa