Ekspresionline.com–Debat kedua Pemilwa KM UNY dilaksanakan pada Rabu (18/12/2024) siang. Debat kali ini bertempat di salah satu ruangan gedung Abdullah Sigit Hall, FIPP UNY.
Tema dari debat Pemilwa KM UNY kali ini ialah “Revitalisasi Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai Agen Advokasi”. Debat kedua ini memberikan kesempatan bagi paslon mengutarakan strategi mereka dalam menampung aspirasi mahasiswa.
Tema dari debat ini dilatar belakangi karena banyak pihak merasa BEM saat ini kurang terlibat dalam terjun menampung keluhan mahasiswa. Menurut Bagas, Ketua KPU KM UNY, pihaknya merasa BEM kurang menggaet mahasiswa.
“Jadi, mereka [BEM] merasa merepresentasikan mahasiswa, padahal di lapangan tidak seperti itu. Diperlukan kajian-kajian untuk [mencari] bagaimana masalah ini ada dan bagaimana cara pengaspirasian dan pengadvokasiannya nanti yang akan dilakukan BEM sebagai agen advokasi,” ujar Bagas, Rabu (19/12/2024).
Ia juga menuturkan, BEM perlu menjaring dahulu laporan-laporan dari mahasiswa. Hal itu dimaksudkan agar setelahnya mereka dapat benar-benar merepresentasikan mahasiswa.
Pentingnya Kolaborasi BEM dan Kampus
Debat berlangsung dengan beberapa sesi. Saat sesi pertama, para panelis menegaskan pentingnya kolaborasi dari BEM. Panelis yang mayoritas kalangan dosen mengutarakan BEM harus ikut andil dalam meningkatkan prestasi mahasiswa.
Prof. Aman, Dosen Fishipol, saat diwawancarai Ekspresi pasca sesi pertama, menyatakan sebutan partner UNY bagi BEM sangat tidak cocok. Hal itu dikarenakan menurutnya, BEM sebagai KM UNY akhirnya bersifat kekeluargaan sebagai bagian dari UNY.
“Sebagai warga UNY ya maka harus tunduk pada aturan-aturan yang ada di UNY. Boleh organisasi itu, tapi kalau bisa justru bagaimana organisasi itu menjamin apa yang namanya kolaborasi, kolaborasi dengan BEM dan [organisasi] yang lain,” ujar Aman.
Ia juga menuturkan ketidaksetujuannya dengan istilah advokasi. Menurutnya, istilah yang baik untuk diambil adalah diskusi, dengan pengertian apabila ke depannya ada permasalahan, maka dapat dicarikan pencerahan (jalan keluar).
Pihaknya mengharapkan adanya transformasi BEM secara positif, sehingga BEM mampu berkolaborasi dan mendukung program-program kampus.
“Betul, maka saya sarankan ada departemen penerangan, sehingga betul-betul informasi itu sampai dengan betul. Sehingga suasana kampus ya nyaman, semuanya nyaman. Hal-hal yang kurang berkenan bisa didiskusikan bukan advokasikan. Diadvokasi boleh tapi ke luar, pihak eksternal, ke media yang kemungkinan menyerang UNY,” pungkas Aman.
Berbeda dengan pendapat Aman, menurut Ghozi, salah satu peserta debat, istilah advokasi memang sudah tepat. Hal itu guna memberi jalan untuk mendahulukan kepentingan mahasiswa.
“Yang paling benar itu, masa itu bisa diselesaikan dengan advokasi, engga usah perlu pakai kaya pergerakan atau apa lah. Kalau advokasinya benar, kita bisa ngegandeng birokrasi dengan baik gitu ya, itu hasil pasti bagus juga,” tutur Ghozi, mahasiswa UNY, saat ditemui Ekspresi pasca debat sesi pertama.
Ia menekankan pentingnya dialog dalam menangani persoalan mahasiswa, sehingga advokasi akan benar-benar terlaksana secara maksimal.
“Di mana-mana juga kan, kalau kita ngerasa kalau haknya dilanggar ya bukan kaya langsung teriak-teriak dulu. Cuma, kaya kita coba tanyakan dulu kenapa kita dipotong haknya, diambil haknya, atau mungkin dihilangkan haknya. Jadi kaya bener-bener totalitas dalam mengadvokasi, enggak setengah-setengah gitu,” jelas Ghozi.
Menurutnya, penting adanya advokasi menyeluruh, tidak hanya dalam lingkup tertentu saja. Bagi Ghozi, advokasi tidak hanya terkait permasalahan keuangan seperti UKT, tetapi juga akademik dan lingkungan kampus yang toksik.
Rizqy Saiful Amar
Reporter: Desta Yunda Dewanti, Luisa Diah Cahyaningtyas, dan Lutfiya Lamya Dauratul Hikmah
Editor: Rosmitha Juanitasari