Sutradara: Ken Loach
Produser: Rebecca O’Brien
Penulis: Paul Laverty
Tanggal Rilis: 13 May 2016
Ekspresionline.com–Hidup seorang diri di usia senja tanpa kekasih maupun sanak saudara yang menemani, seperti kisah dalam novel Para Pelacurku yang Sendu karya Gabriel Garcia Marquez, bisa menjadi introspeksi untuk memahami apa artinya menjadi tua dalam kesepian. Kisah masa tua yang digelar dengan cara mengerikan, penuh rasa sakit, dan kekecewaan. Itulah mengapa, Gie mengatakan bahwa sesial-sialnya seseorang adalah yang hidup hingga usia tua.
Seperti kisah Daniel (Dave Johns) dalam film I, Daniel Blake (2016), yang penuh kekecewaan dan kesepian. Daniel adalah seorang pengrajin kayu berusia 59 tahun, hidup seorang diri di Newcastle tanpa ada sanak-saudara yang menemani. Jika Para Pelacurku yang Sendu menyajikan kisah penuh kepasrahan dan pesimisme, I, Daniel Blake sebaliknya.
Daniel adalah seorang yang mencoba mengeliminasi penderitaan di usia tuanya, terkhusus yang disebabkan oleh negara. I, Daniel Blake adalah kisah yang dapat memberikan pemahaman bukan hanya soal masa tua dalam kesepian, tetapi juga masa tua dalam perjuangan melawan penindasan. Dengan kata lain, I, Daniel Blake adalah seruan untuk orang-orang yang tertindas.
Sistem birokrasi negara hanya memberi dua pilihan kepada Daniel: Mati karena penyakit jantung atau mati karena kelaparan. Daniel tak sudi menerima pilihan tersebut, kendatipun ia sadar di usianya yang senja, tak mungkin untuk melawan. Ia jelas akan mati, tapi bukan karena kelaparan atau jantungan seperti pilihan yang diajukan negara. Untuk memperjuangkan kisah akhir hidupnya itu, ia memilih jalan perlawanan, yang mana mengutip istilah Mochtar Lubis, adalah sebuah “jalan tak ada ujungnya”. Sementara, usia pasti menemui penghujung. Artinya, perlawanan Daniel adalah perlawanan sampai kematian.
Ken Loach, sang sutradara, seperti membantah apa yang dikatakan oleh Gie. Penderitaan atau kesialan seseorang di usia tua, bukan disebabkan karena usianya. Ada suatu sistem yang menindas dan menyebabkan seseorang menderita, yaitu birokrasi.
Sistem birokrasi yang berbelit-belit dalam I, Daniel Blake menghalangi orang tua macam Daniel yang sedang sakit untuk mendapatkan haknya. Seandainya sistem birokrasi negara tidak begitu berbelit-belit, itu tidak akan terjadi. Setidaknya, negara tidak menambah beban hidup Daniel di masa tuanya.
Lebih dari sebuah bantahan terhadap kata-kata Gie, Ken coba memberikan imaji lebih soal penderitaan di masa tua. Sistem birokrasi yang menjadi sumber penderitaan, ternyata bisa dilawan, kendatipun oleh mereka yang sedang hidup di penghujung usia. Ken dalam I, Daniel Blake melampaui batas-batas usia, bahwa perlawanan terhadap penindasan tak pernah mengenal masa tua.
Seperti tuan Carl Fredricksen dalam Up (2009) yang menderita karena ancaman penggusuran rumahnya oleh korporat. Namun, orang tua penjual balon itu memilih untuk menentang dan melawan korporat dengan menerbangkan rumahnya menggunakan balon. Dapat diartikan bahwa Tuan Fredricksen telah menang, korporat tak sanggup menggusur rumahnya.
Sayangnya, jika kisah Fredricksen dalam Up berujung kemenangan dan kebahagiaan, Daniel dalam I, Daniel Blake, lagi-lagi mengalami kebalikannya.
Daniel sampai akhir hidupnya tetap menderita dan tak pernah mendapatkan haknya yang dirampas oleh negara. Ia tetap penyakitan dan kelaparan. Namun, Daniel telah melawan, mengutip kata-kata Nyai Ontosoroh, “Kita telah melawan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Sistem Birokrasi yang Menindas
I, Daniel Blake dibuka dengan adegan yang menunjukkan ketidakbecusan negara dalam mengurusi masyarakatnya. Seorang tenaga kesehatan di dinas sosial, menganggap Daniel tak pantas mendapatkan bantuan dana disabilitas, karena Daniel masih bisa berjalan normal, bisa mengangkat kedua tangannya ke atas, seluruh jari tangan dan kakinya masih bergerak, fisiknya masih terlihat sehat. Padahal, penyakit Daniel memang bukan di otot-otot tubuhnya, melainkan jantungnya yang mulai melemah. Ini menjadi gambaran betapa bebal para pegawai pemerintahan. Mereka seperti robot yang hanya patuh mengikuti perintah majikannya.
Tenaga kesehatan tersebut tak peduli, meskipun Daniel telah menunjukkan surat dari dokter berisi hasil pemeriksaan jantungnya yang benar-benar dalam kondisi lemah. Selama Daniel tak dianggap sakit atau tak terlihat memiliki kelemahan dalam hal fisik, selama itu pula ia tidak akan mendapatkan dana bantuan disabilitas. Di sisi lain, ia harus berhenti bekerja sebagai pengrajin kayu karena alasan yang ditampik oleh tenaga kesehatan tersebut.
Sementara itu, uang yang dimilikinya terus menipis dan ia terancam kelaparan.
Ken Loach melalui I, Daniel Blake, memprotes buruknya sistem birokrasi yang ada di Newcastle, Inggris. Sistem yang ada sangat strukturalis dan tak berperikemanusiaan. Apa yang menjadi perintah atasan, dijadikan sebuah kebenaran. Tak peduli kelaparan atau tidak, sedang sakit atau sehat, ketika tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, berarti ia tak pantas mendapatkan bantuan. Padahal kita tahu, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak memenuhi persyaratan, seperti yang terjadi pada Daniel. Lagi pula, semestinya masyarakat tak perlu meminta untuk pemenuhan haknya.
Di film ini, Ken menampilkan bagaimana negara tidak hanya menghindari tanggung jawab untuk peduli pada rakyatnya, tetapi juga mempersulit dengan birokrasi yang berbelit. Daniel harus melewati beberapa tahapan yang sulit untuk mengajukan sidang banding atas putusan tenaga dinas sosial yang menganggapnya tak pantas mendapatkan dana bantuan disabilitas.
Jika tiap tahapan birokrasi bisa dilalui dengan mudah dan cepat, itu tidak masalah. Namun, keadaan tidak demikian. Belum lagi tiap tahapan birokrasi yang harus melalui mekanisme daring dan Daniel tak bisa mengoperasikan komputer. Negara tak peduli akan hal tersebut. Kondisi ini, tepat untuk mengingat sekaligus mengutip apa yang dikatakan oleh Emma Goldman, “Berhentilah meminta, mulailah merebut.”
Melampaui Diri Sendiri
Deretan adegan berisi perlawanan Daniel terhadap negara dalam I, Daniel Blake menerkam penontonnya, mengoyak anggapan naif tentang negara yang selalu hadir untuk mengayomi masyarakatnya. Selain itu, dialog dari skenario yang ditulis oleh Paul Laverty juga berperan penting dalam menggugah amarah penonton. Dialog para pegawai pemerintah di film ini terasa sangat legal, formal, dan penuh peraturan. Sementara itu, dialog Daniel bernuansa keadilan, kemanusiaan, sekaligus kemarahan.
Kamera kerap kali menyorot wajah Daniel yang keriput secara dekat. Tidak terlihat adanya kemurungan dan kepasrahan, yang ada hanyalah wajah dipenuhi semangat sekaligus amarah. Ken memproyeksikan tokoh utama dalam film ini, untuk melampaui kekuatan dirinya sendiri. Daniel tak peduli dengan usia, ia juga tak merendah karena dari masyarakat kelas bawah. Daniel bak tercipta dari “baja”, keras kepala dan bermental kokoh.
Belum lagi di tengah-tengah kesulitannya, Daniel masih bersikeras membantu Katie (Hayley Squires), seorang Ibu muda yang kesusahan menghidupi kedua anaknya seorang diri. Daniel yang kesepian kembali menemukan kehangatan oleh hadirnya keluarga Katie di hidupnya. Ia tahu kalau simpanan uangnya sudah menipis, tapi ia masih saja membantu membiayai listrik Katie. Daniel sadar kesehatannya melemah, tapi ia malah mengurangi jam istirahatnya untuk membantu mengurus anak Katie dengan cuma-cuma.
Apalah daya seorang Daniel yang kesepian di masa tuanya harus berhadapan dengan korporasi negara. Sedari awal film diputar, dengan deretan konflik yang disajikan, penonton digiring untuk pesimis atas perjuangan Daniel, ia jelas akan kalah. Namun, I, Daniel Blake berusaha menentang batas kemenangan dan kekalahan tersebut. Semenjak Daniel memutuskan untuk memperjuangkan haknya, semenjak itu pula kemenangan telah menghampiri. Daniel adalah wujud perlawanan kelas proletariat kepada korporasi, untuk mengkonfrontasi kebusukan praktek birokrasi yang berbelit-belit sekaligus menindas.
Tembok kantor dinas sosial yang dicoret oleh Daniel menggunakan pilok dan membentuk tulisan, “Aku, Daniel Blake, menuntut sidang bandingku sebelum aku kelaparan,” dapat diartikan sebagai seruan revolusi.
Reza Egis
Editor: Arummayang Nuansa Ainurrizki