Ekspresionline.com–Wajah Febby Gracia tampak segar dengan polesan gincu merah dan blush on di pipinya. Bulu matanya lentik dan rambutnya terurai panjang.
Waria berusia 40 tahun itu duduk termenung di bangku salon sambil sesekali membuka ponselnya. Setelan kaos dan celana jin di tubuhnya membuat ia terlihat tinggi dan langsing.
Febby bekerja di suatu salon di daerah Semarang Barat, Kalibanteng dan di dunia prostitusi. Siang sampai sore hari ia bekerja di salon. Setiap hari pelanggannya yang datang bisa 2-5 orang dan bahkan ada kalanya nihil.
Hari itu, Minggu (3/06/2022) hingga pukul 21.00 WIB, belum ada pelanggan yang mengajak berkencan. Dia bolak balik mengecek notifikasi di aplikasi Me Chat dan akun Facebooknya untuk menunggu pelanggan. Biasanya dalam satu hari, Febby mendapat pelanggan satu sampai dua orang tetapi juga bisa tidak ada sama sekali.
Sambil menunggu pelanggan, ia membuka kisah pahitnya di dunia online. Nada suaranya meninggi saat menceritaka pesan-pesan di media sosial yang melecehkan dan mengolok-ngolok seksualitasnya.
Febby sangat kesal. Wajahnya yang penuh riasan semakin merah.
Kejadian yang sering dialaminya adalah penyalahgunaan identitas. Ada orang membuat akun atas nama Febby yang dilengkapi dengan foto wajahnya dan nomor kontak teleponnya.
“Kebanyakan gara-gara nego harga atau aku gak mau ngelayani, terus dia sakit hati dan bikin akun atas namaku dan pakai fotoku,” terangnya.
Apa yang dialami Febby adalah suatu bentuk kekerasan yang disebut dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dikutip dari Buku Panduan KBGO yang diterbitkan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), KBGO merupakan kekerasan yang difasilitasi oleh teknologi untuk menyerang dan melecehkan korban atas dasar gender dan seksualitas.
Febby menjelaskan tarif layanan prostitusinya adalah Rp200.000. Namun seringkali pelanggan menawarnya hingga separuh harga. Sesuatu yang tidak bisa diterinya.
Puncaknya terjadi tahun 2019 lalu, lebih dari dua kali akun palsu atas dirinya muncul di jagad maya. Akibatnya, Febby kerap menerima pesan dari nomor- nomor asing yang tak dikenalnya.
“Tiba-tiba banyak nomor baru ngechat dan bilang kami sudah sepakat sama harga dan waktu, padahal aku gak tau apa-apa. Ujungnya banyak yang marah-marah sama aku,” ujarnya.
Ada juga pelaku yang menggunakan akun palsu atas nama Febby untuk minta pulsa dan uang. Ia tahu karena ada salah satu pelanggannya yang pernah menjadi korban.
Bila ada akun palsu atas namanya, Febby mencoba menghubunginya tetapi biasanya akun itu segera menghilang. Beberapa hari kemudian muncul akun palsunya lagi. Pola ini bisa berulang beberapa kali sehingga Febby berpikir pelakunya adalah orang yang sama.
Tentu kejadian ini membuatnya sangat terganggu, ia sering mendapatkan cacian bahkan ancaman. Ia khawatir nama baiknya hancur lantaran akun-akun palsu yang mengatasnamakan dirinya digunakan untuk menipu, minta pulsa, atau uang.
“Aku sangat terganggu, bayangin tiba-tiba ada yang chat terus marah-marah ke aku. Padahal aku gak tahu apa-apa, sampai kesel sendiri kadang-kadang tuh,” jelasnya sambil bibirnya tersenyum getir.
Kelompok minoritas gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ) sering mengalami diskriminasi baik di dunia nyata maupun dunia online. Kekerasan yang mereka alami itu jarang bisa diselesaikan secara hukum. Padahal mereka adalah warga negara biasa yang perlu mendapatkan perlindungan hukum.
Ria Ardana, seorang waria kelahiran 13 Oktober 1984 juga sering mendapat kekerasan di dunia online. Saat ini, ia sedang magang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang selama hampir dua tahun.
Hari itu, Minggu (29/05/2022) di kediaman kepala Yayasan Persatuan Waria Semarang (Perwaris), Ria tidak merias di wajahnya. Ia hanya mengikat ke belakang rambut panjangnya.
Ia mengalami cyberbullying lantaran memberikan komentar terhadap warganet atau berita-berita di media massa yang memojokkan kelompok LGBTQ.
“Aku kadang masih bisa nahan, tapi kadang-kadang kebawa emosi kalau komenannya udah kelewatan,” ujarnya dengan geram.
Kejadian terbaru terjadi pada Mei saat podcast milik Deddy Corbuzier mengangkat isu LGBTQ yang mengundang pro-kontra di dunia maya. Ria nimbrung dengan menjelaskan identitas gender dan orientasi seksual itu tidak hanya perempuan dan laki-laki serta heteroseksual saja.
Gender hanya konstruksi sosial dan LGBTQ layak hidup seperti manusia lainnya. Namun, komentar Ria ini mendapat banyak serangan dari warganet.
“Dia [salah seorang warganet] bilang di kolom komentar dengan kata-kata ‘Oh, ternyata gara-gara dia komplotan kaum sana, dasar bencong’, ‘Mati aja lu bencong’, Kaum perusak bumi’, ’Inget neraka noh’, ‘Kembali ke jalan yang bener, dasar banci’, dan masih banyak lagi,” terang Ria.
Bahkan ia mengaku sampai mendapat pesan lewat direct message (DM) dengan kata-kata serupa. Ria marah, namun dia harus menahannya karena percuma menanggapi orang-orang tersebut.
Cyberbullying yang dialami Ria berdampak cukup besar terhadap dirinya. Ia mengaku tidak mau membaca berita-berita media massa atau cuitan di media sosial soal LGBTQ agar tidak terbawa amarah.
“Kalau kadang gak sengaja membaca, rasanya pengen balas dan ngasih tahu kalau kita itu ya sama kayak mereka, berhak hidup layak dan tidak seperti yang mereka pikirkan. Tapi, sebisa mungkin aku hanya bales orang yang mau diajak diskusi sehat aja, gak judgement dan cuma bertujuan bully,” jelasnya.
Bagi Ria, dunia online menjadi tempat yang begitu menyeramkan. Padahal lingkungan kerja dan sosial di Semarang sudah menjadi tempat yang cukup aman.
Maya Lathifa juga mengalami kekerasan di dunia online. Dengan suara yang terdengar tenang, ia ceritakan pengalamannya itu lewat telepon suara pada Selasa (21/06/2022).
Ia pernah mendapat ancaman pembunuhan lewat chat. Saat itu di tahun 2017, tiada angin tiada hujan, tiba-tiba Maya mendapat makian “macam-macam” melalui Facebook.
Padahal waktu itu dia sedang tidak mengunggah status apapun kecuali fotonya. Maya juga tidak sedang bermasalah dengan seseorang. Dia juga mengaku tidak sedang nimbrung di komentar-komentar apapun yang membahas soal isu LGBTQ.
“Aku gak merasa habis melakukan sesuatu yang berhubungan soal gender ya, tapi tiba-tiba ada orang chat mau membunuhku dan mau bakar aku,” ujarnya.
“Aku masih inget dia bilang ‘bencong laknat’, ‘Kamu dan kelompokmu itu halal dibunuh’, ‘Aku akan bakar kamu’. Gak tau salahku apa kok aku dikayak gituin,” tambahnya.
Maya yang bekerja sebagai pengacara, tentu saja paham mengenai hukum. Dia tahu apa yang dialaminya termasuk bentuk ancaman yang dapat diproses melalui hukum.
Ketika ia mengatakan profesinya adalah pengacara yang disertai bukti foto-foto wisudanya, pelaku merasa ketakutan. Akhirnya pelaku kelimpungan dan mengajak Maya bertemu langsung untuk minta maaf. Ia juga mohon agar kasusnya tidak dibawa ke ranah hukum. Bahkan pelaku juga menawarkan kompensasi agar kasus pengancaman itu tidak dibawa ke jalur hukum.
“’Aku meminta maaf dan tidak akan mengulanginya lagi, aku hanya khilaf dan iseng saja’,” kata Maya menirukan permohonan maaf si pelaku.
Tidak hanya sekali Maya mengalami ancaman di dunia online. Awalnya, seseorang mengajaknya berkenalan lewat Facebook. Ketika Maya mengaku seorang waria, orang itu langsung memaki-makinya hingga mengancam membunuhnya.
“Awalnya dia manis banget karena tahunya aku perempuan. Setelah aku ngomong kalau aku waria, dia langsung maki-maki aku, ‘waria’, ‘mati aja lo!’, ‘aku bunuh kamu kalau ketemu’, kayak gitu chatnya,” jelas Maya.
Karena pelaku menggunakan akun asli yang mencantumkan tempat kerjanya, Maya mengatakan akan menuntut dan menemui pelaku di tempat kerja. Awalnya pelaku tambah marah dan balik mengancam. Tetapi setelah Maya mengatakan dirinya seorang pengacara, pelaku ketakutan dan memohon maaf.
Kedua kasus yang dialami Maya tidak pernah sampai ke jalur hukum karena kedua pelaku telah meminta maaf. Bagi Maya yang penting pelaku meminta maaf dan menunjukkan itikad baik tidak mengulangi perbuatannya lagi.
“Ya, karena aku pengacara. Misal temen-temen lain yang bukan pengacara dan ngalamin kasus kayak gitu, pasti ketakutan. Pelaku juga gak bakal takut buat ngulangin perbuatannya lagi,” tambah Maya.
Kepala Perwaris, Silvy Mutiari mengatakan anggotanya–termasuk Ria dan Maya–yang lain juga sering mengalami kasus kekerasan di dunia online. Sayangnya, Perwaris belum mendata kasus-kasus yang dialami anggotanya secara rinci.
“Selama ini ada pertemuan rutin. Nah, temen-temen [di situ] sharing pengalamannya. Kalau misal butuh bantuan, kita siap bantu,” ujar Silvy.
Dari semua kasus KBGO yang dialami anggota Perwaris belum ada yang sampai ke ranah hukum. Alasanya, seperti pelaku sudah minta maaf dan khawatir jika lapor ke polisi, akan ada pasal yang malah menjadi bumerang bagi korban.
“Aku gak mau melaporkan kasusku ke polisi, ya males aja. Kayaknya ribet dan setahuku pake UU ITE ya? Takutnya malah balik jerat kita? Pada beberapa kasus, malah dikatakan pencemaran nama baik[?]” ungkap Ria.
Silvy mengerti sebenarnya kasus KBGO perlu mendapat perhatian serius karena mengganggu keamanan para waria yang menjadi korban. Dia juga menjelaskan kelompok waria rentan mengalami diskriminasi di dunia nyata dan jagad online.
Hal itu lantaran masih banyak masyarakat yang perspektifnya keliru soal LGBTQ. Pemberitaan di media massa juga masih sering memberikan stigma buruk terhadap LGBTQ.
Namun, dia mengakui Perwaris belum mendata semua kasus dan melaporkan ke kepolisian. Mengenai bantuan hukum, Perwaris sudah berjejaring dan bekerja sama dengan LBH Semarang dan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA).
Kondisi Regulasi KBGO di Indonesia
Berangkat dari pengalaman menjadi penyintas KBGO, seorang aktivis bernama Dhyta Caturani, menggagas komunitas Task Force, sebuah kolektif yang menerima aduan kasus KBGO. Ia menggagas komunitas tersebut pada 2010, yang berawal dari pengalamannya mendapat ancaman pemerkosaan melalui Facebook.
Sejak tanggal 22 Maret 2021 hingga 23 Februari 2022, Task Force telah menerima 170 aduan. Tetapi karena ada beberapa kasus yang diadukan lebih dari satu kali, total kasus adalah 163. Domisili korban tersebar di seluruh Indonesia, tetapi paling banyak di Jawa Barat (43 kasus), DKI Jakarta (35 kasus), Jawa Timur (22 kasus), Banten (13 kasus), sedangkan Yogyakarta dan Jawa Tengah (9 kasus).
Kasus paling banyak adalah sextortion atau pemerasan agar korban mau melakukan tindakan seksual sesuai keinginan pelaku, ada 91 aduan. Selanjutnya penyebaran konten intim tanpa persetujuan (70 aduan), pemerasan (17 aduan), peretasan dan doxxing (12 aduan), dan impersonasi akun (16 aduan). Selain itu, ada kasus penguntitan secara online, pengungkapan identitas gender dan orientasi seksual, cyber grooming, serta kasus penyadapan.
Sedangkan aduan KBGO yang dihimpun SAFEnet dalam periode tahun 2021-2022, ada 904. Tahun 2021 tercatat 621 kasus dan sampai Juni 2022, terdapat 283 kasus.
SAFEnet mencatat KBGO yang terjadi pada kelompok transgender ada 2 kasus. Penyebaran identitas dan pemerasan (tahun 2021) dan 1 kasus penyebaran konten intim non-konsensual (tahun 2022).
Mayoritas korban yang tercatat pada aduan Task Force dan SAFEnet adalah perempuan. Namun, Eni–sapaan akrab Dhyta Caturani–mengatakan tidak dipungkiri kelompok minoritas seperti LGBTQ juga rentan mengalami kekerasan di dunia online.
“Kasus yang tercatat [di Task Force] belum tentu adalah jumlah kasus yang sebenarnya [yang dialami korban]. Karena banyak yang gak tau harus lapor ke mana atau mereka belum menyadari apa yang dialaminya adalah kekerasan,” jelas Eni, Minggu (26/06/2022).
Sugiyono sepakat dengan Eni, ia berpendapat kasus yang sebenarnya terjadi lebih banyak dari yang dilaporkan. Begitu pula dengan kasus KBGO yang terjadi pada kelompok LGBTQ.
“Aku yakin pasti kasus yang terjadi lebih banyak dari yang dilaporkan. Data yang dihimpun SAFEnet itu baru dari 26 Provinsi. Pasti masih ada kasus yang korban gak tau mau melapor ke mana,” ujarnya, Kamis (30/06/2022).
Sementara itu, Eni mengatakan kasus yang diterima Task Force belum ada yang berlanjut ke kepolisian. Alasanya, regulasi yang mengatur soal KBGO ada di Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru saja disahkan.
“Karena belum ada aturan turunannya, jadi di kepolisian itu beberapa kasus gak bisa diproses,” jelasnya.
“Terus kalau pakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE] tidak semua kasus bisa masuk. Selain itu UU ITE, masih dirasa bermasalah. Misal, dalam kasus penyebaran konten intim non-konsensual, korban malah bisa kena pasal pornografi,” tambahnya.
Selain itu, Eni menjelaskan penyintas juga akan kewalahan karena proses hukum di kepolisian yang lama. Tidak jarang pula respons kepolisian dinilai tidak solutif, seperti menyuruh penyintas mengganti nomor, alih-alih melacak pelaku kekerasan.
Sugiono dari SAFEnet juga menjelaskan kasus KBGO jarang sekali yang sampai ke jalur hukum. Hanya ada 6 kasus yang berkasnya sampai ke pengadilan, lainnya selesai melalui jalur non-litigasi seperti mediasi.
“Kalau ke jalur hukum, banyak polisi yang belum berperspektif [menjadi] korban, jadi akhirnya malah menyulitkan korban,” ujarnya.
Ahli hukum dari firma Hukum Sukiratnasari Chritina Wulandari (SCW), Anastasia Sukiratnasari atau Kiki menjelaskan penyelesaian kasus KBGO melalui jalur hukum memang rumit dan susah. Apalagi ketika UU TPKS belum disahkan.
“Penyelesaian kasus KBGO yang aku tangani memakan waktu dua tahun,” terang Kiki.
Sekarang kasus KBGO bisa ditangani dengan UU TPKS. Kelebihannya, landasan hukum ini mengatur bahwa saksi korban adalah saksi. Dalam undang-undang sebelumnya seperti UU KUHP, kasus kekerasan seksual bisa diproses jika minimal ada dua saksi.
“Namun, ya implementasi UU TPKS masih perlu dikawal terus karena baru saja disahkan. Belum ada kasus KBGO yang saya tangani setelah UU TPKS disahkan, jadi belum tahu implementasinya bagaimana. Kasus yang saya tangani waktu itu masih memakai UU ITE, ” jelas Kiki.
Kiki mengatakan ketika korban melaporkan kasus KBGO ke kepolisian, ia harus memiliki bukti yang cukup agar laporannya diterima. Pembuktian kasus KBGO juga cukup sulit karena harus menggandeng ahli teknologi informasi (TI). Tidak jarang pencarian bukti juga mengalami kendala karena kurangnya alat.
“Kalau tidak bawa bukti yang cukup, polisi pasti tidak mau menerima kasusnya. Padahal seharusnya itu jadi tugas polisi ya, tapi ya kita tahu sendiri banyak polisi yang belum punya perspektif korban,” tambahnya.
Febby, Ria, dan Maya sepakat kasus KBGO yang berdampak serius terhadap korban harus bisa diselesaikan secara hukum. Apalagi bagi kelompok LGBTQ yang masih rentan mengalaminya.
“Aku pengen hidup tanpa diskriminasi baik di dunia nyata dan online. Kami layak mendapatkan hak-hak kami sebagai manusia pada umumnya,” pungkas Ria.
Nuriyah Hanik Fatikhah
Editor: Bambang Muryanto (AJI Yogyakarta), Abi Mu’ammar Dzikri
Keterangan: Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta
*tulisan ini sempat direvisi ulang lantaran terdapat kesalahan teknis penyebutan lokasi wawancara.