Ekspresionline.com–Senin (30/9/2019), unjuk rasa #GejayanMemanggil kembali digelar di Pertigaan Colombo dan sepanjang Jalan Affandi. Aksi tersebut diinsiasi Aliansi Rakyat Bergerak dan diikuti berbagai elemen masyarakat, seperti mahasiswa, pelajar SMA/SMK, lembaga swadaya masyarakat, dan unsur masyarakat lain. Dalam unjuk rasa kali ini terdapat sembilan tuntutan yang diajukan.
Sebelumnya pada Kamis (26/9), Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir, setelah pertemuan dengan Jokowi, mengimbau rektor untuk mencegah mahasiswanya berunjuk rasa. Menristekdikti akan memberikan sanksi kepada rektor dan dosen yang menggerakkan dan mengimbau mahasiswa untuk berunjuk rasa.
Selain itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengeluarkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik Dalam Aksi Unjuk Rasa Berpotensi Kekerasan yang ditandatangani pada 27 September 2019. Dalam surat tersebut, salah satu yang tertulis yakni Mendikbud meminta segenap pejabat daerah dan sekolah untuk mengawasi kegiatan pelajar di luar sekolah. Dikutip dari Tirto, surat tersebut dikeluarkan agar demonstrasi pelajar pada 25 September tidak terulang.
Pernyataan yang diungkapkan pejabat publik tersebut menimbulkan berbagai macam respons. Meski begitu, unjuk rasa #GejayanMemanggil yang diikuti mahasiswa dan pelajar tetap berjalan. “Kami bersolidaritas untuk kawan-kawan yang turun aksi dan beberapa pelajar yang ditahan oleh polisi untuk tidak turun di jalan. Kami bersama mereka,” tegas Nailendra, humas aksi #GejayanMemanggil.
Pra aksi tersebut digelar, humas #GejayanMemanggil telah menerima pesan dari pelajar yang mengorganisir diri untuk mengikuti demonstrasi. Pelajar berasal dari Kota Yogyakarta, Bantul, Gunungkidul, dan Sleman. Unjuk rasa #GejayanMemanggil berakhir damai. Nailendra menyampaikan bahwa dalam aksi ini tidak terdapat tindak kekerasan.
Roy Thaniago, individu yang bergabung dalam koalisi pegiat HAM bersama AMAR Law Firm and Public Interest Law Office, menjelaskan bahwa halangan untuk berpendapat, berekspresi, dan berkumpul menjadi bagian dari unjuk rasa merupakan pelanggaran konstitusi. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur hak warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Dalam ranah etis, Roy juga menjelaskan ekosistem akademik memercayai adanya kebebasan akademik. Namun, selama ini kebebasan akademik tidak dialami oleh peserta didik. “Pejabat atau birokrat kampus memiliki otoritas, otonomi, dan kebebasan yang lebih dibandingkan mahasiswa [dan peserta didik]. Padahal kebebasan akademik harusnya juga dimiliki oleh peserta didik,” paparnya lebih lanjut. Intimidasi dan situasi terancam dapat mengganggu proses belajar peserta didik.
Menurut Roy, mahasiswa dan pelajar yang berdemonstrasi dalam #GejayanMemanggil merupakan bentuk pembangkangan sipil terhadap imbauan tersebut. “Pembangkangan tidak melulu harus dimaknai negatif. Kita jarang memahami pembangkangan sebagai bentuk ekspresi politis, hal itu hanya dilihat sebagai pelanggaran norma,” ungkapnya.
Roy juga memaparkan bahwa sampai Selasa (1/10) pukul 10.25 WIB, Posko Pengaduan Online Hak Atas Pendidikan telah menerima 37 laporan. Terdapat 22 kampus yang terindikasi memiliki peraturan yang mengekang, mengimbau, atau mengancam sivitas akademika terkait turut serta dalam unjuk rasa. Laporan juga berasal dari pelajar SMK. “Beberapa anak di SMK sudah di-drop out. Saya belum bisa sebut lokasinya karena kami masih verifikasi,” pungkasnya.
Khansa Nabilah
Reporter: Ikhsan
Edtior: Fiorentina Refani