Ekspresionline.com–Sebelum adanya teknologi internet, toko menjadi pusat jual-beli buku cetak. Setiap penerbit yang ingin menjual bukunya harus melalui toko dan menggunakan jasa distributor sebagai penghubungnya. Penerbit juga bisa menyalurkan buku-bukunya ke toko secara mandiri. Di toko buku inilah laku atau tidaknya penjualan buku ditentukan. Di toko buku pula nasib para penerbit dipertaruhkan.
Begitu pun dengan para pembeli, menurut Puthut EA yang merupakan pegiat buku Yogya dan pemimpin Klinik Buku EA, dahulu ketika para pembaca ketika ingin membeli buku harus pergi ke toko buku. Informasi mengenai buku yang baru terbit dapat diperoleh di sana. Itu pun hanya ada di daerah-daerah yang terakses toko buku. Kalau tidak, pembaca harus menunggu resensi-resensi dari media konvensional seperti koran, majalah, atau buletin untuk mendapatkan informasi mengenai buku. Alhasil, pembaca tidak dapat mencari informasi mengenai buku-buku secara cepat dan leluasa.
Akan tetapi, era digital telah mengubah mekanisme industri buku dari konvensional menjadi digital. Menurut Puthut, kini setiap orang dapat memperoleh informasi dan membeli buku kapan pun dan di mana pun. “Dunia digital dan media sosial membantu persebaran informasi. Informasi tentang buku tersebar sangat cepat, masif, dan murah. Lewat Facebook, Twitter, orang bisa memberi tahu informasi soal buku ke seluruh Indonesia,” jelas Puthut, saat ditemui pada Rabu (24/7/2019).
Pasar buku di media daring, menurut Indra Ismawan selaku CEO Media Pressindo, mulai masif dan berkembang di sekitar tahun 2010. Lalu penerbit independen mulai bermunculan di tahun 2013. Mereka mulai mengandalkan media daring sebagai strategi penjualan dan tidak mencoba memasuki toko buku besar. Menurut Indra, hal itu mereka lakukan lantaran butuh biaya usaha yang terlalu besar kalau masuk ke toko buku besar.
“Jadi, misalnya masuk ke Gramedia, kita harus cetak minimal tiga ribu eksemplar. Biaya cetak seribu [eksemplar] saja sudah 30 juta. Itu tidak semuanya [penerbit] mampu mengadakan modal segitu per judul buku,” jelas Indra, Jumat (26/7).
Strategi Pemasaran di Era Digital
Dengan berkembangnya teknologi digital, pemasaran buku dapat dilakukan para penerbit dengan lebih leluasa. Tidak hanya berpusat pada toko dan media cetak untuk mengenalkan buku terbitan terbaru kepada khalayak. Ada media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya yang dapat digunakan penerbit untuk mempromosikan dan menjual buku-bukunya.
Seperti Loveable Group yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi buku-buku mereka. Fenti Novela, editor Loveable Group, mengungkapkan bahwa promosi di media sosial merupakan sesuatu hal yang wajib mereka lakukan. Hal tersebut menurutnya dapat membuat para konsumen penasaran dan ingin membeli buku mereka. Ditambah lagi, Loveable juga sering melakukan giveaway buku kepada para pengikutnya di media sosial mereka.
Selain promosi, media sosial juga dapat digunakan untuk membaca animo pasar terhadap sebuah buku sebelum diterbitkan. Hal tersebut, menurut Eka Putra, pendiri penerbit Pojok Cerpen, kerap dilakukan oleh para penerbit independen. “Teman-teman indie itu kalau mau cetak buku biasanya lihat dulu di media sosial, animonya bagus tidak? Di-posting aja dulu poster bukunya. Dari komentar-komentar akan kelihatan. Misalnya yang komen, dalam hal ini berminat, itu 300 orang, ya udah teman-teman indie nyetaknya 300 aja. Artinya lebih bisa diukur juga,” jelas Eka, Jumat (26/7).
Eka juga menambahkan, hal tersebut biasa penerbit-penerbit independen lakukan lantaran untuk mengurangi risiko kerugian. “Kalau dulu kan kita nyetak buku harus dua ribu [eksemplar], ya. Jadi misalnya bukunya hanya laku dua ratus, ya rugi. Kalau sekarang kan lebih bisa diukur. Itu, lagi-lagi, peran media sosial,” tambah Eka.
Era digital tidak hanya memengaruhi strategi para penerbit dalam memasarkan buku-bukunya, tetapi juga di toko buku. Kini sudah bermunculan toko-toko buku daring seperti Berdikaribook, Mojokstore dan Gramedia.com. Para pembaca yang ingin membeli buku tidak perlu datang langsung ke toko. Mereka dapat mengunjungi situs-situs web toko buku daring melalui gawainya masing-masing dan melakukan transaksi jual-beli di dalamnya. Tinggal menunggu hitungan hari atau bahkan hitungan jam, buku sudah datang melalui jasa pengiriman barang kepada para pembaca.
Seperti yang dilakukan oleh Toko Buku Gramedia dalam strategi pemasarannya. Aldilla Rizky Pritawardhani, Supervisor Gramedia Jogja City Mall, menjelaskan melalui media sosial dan situs web Gramedia.com penjualan dapat mereka lakukan dengan lebih leluasa. Gramedia.com, menurut Aldilla, juga dapat membantu mempromosikan buku-buku yang ada di toko. Dengan adanya fitur komentar dan pesan singkat, admin Gramedia.com bisa langsung menjawab segala pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pelanggannya.

Sementara itu Berdikari Book, toko buku yang menjual buku-buku berwacana alternatif, memanfaatkan media sosial agar dapat menjualnya lebih leluasa. Menurut Dana Gumilar, pendiri Berdikar Book, penerbit-penerbit independen yang bukunya berisi wacana alternatif sangat sulit memasuki toko buku besar konvensional, seperti Gramedia. Pertama, kekurangan dana usaha untuk mencetak batas minimal jumlah eksemplar buku. Kedua, karena alasan penyensoran.
Toko-toko buku besar jarang ada yang mau menjual buku-buku alternatif yang berisi isu-isu sensitif. Hal tersebut menurutnya telah mengekang kebebasan para penerbit. Oleh karena itu, menurut Dana, hadirnya Berdikari Book ingin mengakomodasi para penerbit alternatif yang ingin bebas berekspresi melalui buku. “Goals kita adalah wacana-wacana alternatif bagi pembaca, alternatif juga bagi penerbit. Artinya, penerbit sekarang punya opsi lebih leluasa untuk menerbitkan buku,” ungkap Dana, Selasa (27/8).
Stagnasi Buku-buku Digital
Tidak seperti bentuk cetaknya, buku elektronik mengalami stagnasi di era digital khususnya di Indonesia. Menurut Irfan Adam, Kepala Dapartemen Konten Aksara Maya, stagnasi disebabkan lantaran belum banyak penerbit buku yang siap mengonsep ulang desain sistem buku digital. Menurutnya, tidak semua yang ada di bentuk buku fisik dapat dibawa dalam bentuk digital.
“Suka tidak suka, mau tidak mau, buku harus didesain ulang. Tidak mungkin koran yang sebesar ini kalau masuk ke telepon genggam gimana membacanya? Berapa kali nge-zoom, berapa kali menggeser? Nah, para penyedia atau penerbit belum siap menghadapi itu,” jelas Irfan, Kamis (17/10).
Aksara Maya sendiri pada awalnya sempat memiliki penerbitan buku digital. Ada sekitar seratusan judul buku yang diterbitkan. Akan tetapi, baru setahun berjalan, Aksara Maya menghentikan penerbitan tersebut. Menurut Irfan, hal itu terjadi karena Aksara Maya lebih berfokus menjadi distributor daripada produsen. Aksara Maya hanya membangun sistem pasarnya saja. Sementara penerbit-penerbitlah yang bekerja sama dengan Aksara Maya untuk mendistribusikan buku-bukunya dalam bentuk digital.
Berdasarkan data yang diperoleh Ekspresi, dari berdirinya di awal 2012 sampai saat ini, Aksara Maya telah bekerja sama dengan 399 penerbit seperti Gramedia, Elex Media Komputindo, Kanisius, Bentang, dan lainnya. Ada 47.855 judul buku yang telah mampu Aksara Maya jual dari keseluruhan penerbit yang bekerja sama dengannya. Selain penerbit, Aksara Maya juga bekerja sama dengan perpustakaan nasional dan daerah-daerah hampir di seluruh Indonesia.
Selain dari sumber daya manusianya yang belum siap dalam mendesain ulang sistem buku digital, Irfan juga menambahkan ada beberapa hal yang menyebabkan buku digital mengalami stagnasi. Pasar buku digital di Indonesia menurut Irfan belum ada. “Masyarakat masih lebih menyukai buku dalam bentuk cetaknya. Buku cetak bisa dicium baunya, dicoret-coret, dan lainnya,” jelas Irfan.
Seperti yang dialami oleh Edutore, platform buku digital di bawah Gramedia dan baru diluncurkan di awal 2019 ini, yang masih belum terlalu diminati para pembaca. Padahal, menurut Aldilla, harga buku digital di Edutore lebih murah daripada buku cetaknya. Untuk saat ini pelanggan yang mendominasi hanya dari kalangan pelajar, itu pun belum secara masif. Hal tersebut menurutnya dikarenakan orang tua dari para pelajar tidak menghendaki anaknya untuk membeli dan belajar melalui buku-buku digital.
“Saran orang tua juga ya menurut aku bisa memengaruhi penjualan di Edutore. Lebih banyak saran orangtua, ‘Udah beli buku fisiknya aja supaya enak belajarnya bisa dibolak-balik’. Jadi bisa latihan langsung. Kalau mainan HP capek matanya dan sebagainya,” ungkap Aldilla, Selasa (13/8).
Maraknya pembajakan buku digital juga menjadi alasan stagnasi tersebut. Menurut Irfan, masyarakat masih menganggap buku digital itu gratis. Jadi, sesuka masyarakat untuk menyebarluaskannya. Padahal buku digital tetaplah memiliki hak cipta. Belum ada sistem yang mencegah para pembajak untuk membajak buku digital. Beberapa hal tersebut lah yang menurut Irfan menyebabkan penerbit-penerbit belum siap merambah buku digital.
Sementara itu, menurut Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, digitalisasi adalah sebuah keniscayaan dan industri buku pun akan mengikutinya. Buku digital akan mengalami perkembangannya di masa yang akan datang, tetapi tidak dalam jangka waktu yang dekat. “Saya kira bukan jangka pendek, tapi menengah ke panjang. Itu mungkin lima belas tahun ke depan,” jelas Salman, Rabu (24/7).
Begitu juga dengan Puthut, menurutnya perkembangan buku digital tidak dapat dihindari. Para penerbit buku cetak lambat laun pasti akan merambah ke digital juga. Menurutnya hal tersebut dikarenakan perkembangan teknologi yang kian menarik dan dunia menginginkan hal itu.
Reza Egis
Reporter: Reza Egis, Fiorentina Refani, Sabine Fasawwa, Ikhsan Abdul Hakim
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa