Menjelang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hendak mengadakan nonton bareng (nobar) film Dilan dan Yowis Ben. Dua film tersebut, khususnya Dilan, merupakan film yang punya nilai positif dan bisa dijadikan materi referensi pendidikan karakter, setidaknya menurut Mendikbud Muhajir Effendi.
Akan tetapi, beredar kabar jika film Dilan batal diputar di kantor Kemendikbud. Pasalnya, ada banyak kritikan yang dilancarkan ke Kemendikbud mengenai konten film itu, yang sesungguhnya tidak cocok untuk momentum seperti Hardiknas.
Di sisi lain, sekitar seminggu sebelum ribut-ribut film Dilan, Shelter Utara yang menyelenggarakan nobar film Maha Guru Tan Malaka mengaku bahwa mereka merasa dihambat dari “berbagai pihak” (Tirto.id, Diskusi Tan Malaka Dihambat di Kampung Halamannya Sendiri, 23 April 2018). Maha Guru Tan Malaka merupakan film yang bercerita pemikiran dan perjalanan hidup Tan Malaka sejak 1913.
Peristiwa itu terjadi pada Sabtu, 21 April 2018 di Padang, Sumatera Barat. Pengantongan perizinan menjadi dalih Polda Sumatera Barat untuk meminta legalitas acara. Bahkan, ketika lokasi nobar film Maha Guru Tan Malaka pindah ke kantor LBH Padang, beberapa pihak dari kepolisian dan warga setempat masih merecoki acara tersebut.
Dua acara berbeda, masing-masing di tempat yang berbeda pula, tetapi sama-sama menyelenggarakan nobar film, ternyata mengalami pilihan nasibnya sendiri. Dilan batal tayang karena panen kritikan. Maha Guru Tan Malaka hampir batal tayang karena tersandung persoalan perizinan.
Saya tidak ingin menambah kritik untuk Kemendikbud yang hendak nobar film Dilan. Saya justru tertarik pada kompleksitas yang berusaha membatalkan acara nobar film Maha Guru Tan Malaka, terutama soal perizinan.
Ribetnya Izin Acara di Indonesia
Terganjalnya persoalan perizinan yang dialami oleh Shelter Utara seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat. Peraturan perizinan menyebutkan jika sebuah acara harus mengantongi izin apabila dihadiri lebih dari 300 orang (Juklap Kapolri No. Pol / 02 / XII / 95). Namun, acara tersebut cuma dihadiri lebih kurang 50 orang. Logikanya, acara nobar film Maha Guru Tan Malaka dapat berjalan dengan lancar, tanpa harus berpindah tempat dari Shelter Utara ke kantor LBH Padang.
Bahkan, jika ini merupakan masalah teknis, legalitas yang diminta oleh kepolisian tidak perlu dilakukan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 telah menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya. Pemerintah dan seperangkatnya tidak perlu secara aktif mengintervensi kegiatan yang dilakukan sekelompok masyarakat, jika kita adalah pemeluk teguh undang-undang itu.
Persoalan perizinan yang berbelit ini tampaknya memang menjadi catatan merah dalam menyelenggarakan acara. Izin sebagai syarat teknis administrasi sudah jadi problem tersendiri yang cukup membuat nafas tersengal mengurusnya. Ariel Heryanto dalam esainya berjudul Politik Perizinan (Kompas, 30 Mei 1994), dengan apik menganalisis relevansi peraturan perizinan. Ia menulis bahwa dasar hukum yang digunakan untuk meminta izin berkumpul (baca: UU 5/PNPS/1963), yang memperoleh pengesahan status baru tahun 1969, terlampau belel dan compang-camping.
Jika dirangkum, setidaknya ada dua alasan mengapa undang-undang perizinan bermasalah. Pertama, hanya dibentuk berdasarkan kehendak presiden dalam keadaan darurat. Kedua, undang-undang itu baru masuk akal diterapkan di masa perang, bukannya ketika kehidupan sudah aman dan terjamin dalam iklim demokrasi.
Meskipun undang-undang yang dikenal sebagai UU Subversif itu sudah tidak aktif sejak 1999, masalah persoalan perizinan tampaknya akan terus dibicarakan sepanjang praktiknya justru bertolak belakang dengan UUD 1945 tentang kebebasan berkumpul. Namun, akan terlalu naïf jika perdebatannya hanya pada tataran teknis. Masalahnya, siapapun yang menyelenggarakan acara serupa juga bakal dibenturkan oleh persoalan izin.
Hal itu justru menggiring kita untuk mengamini bahwa ini merupakan persoalan birokratis belaka. Seperti pada acara Mocosik Festival di Jogja Expo Center, Yogyakarta pada 20-22 April 2018 kemarin. Acara yang berisi bazar buku dan konser musik itu baru dapat mengantongi izin jika buku-buku berbau komunis tidak boleh ditampilkan dan dijual. Jelas sekali jika persoalan izin ternyata lebih dari sekadar urusan birokratis.
Melestarikan Perizinan
Kenyataan yang dialami oleh Shelter Utara—dan Mocosik—yang dijerat oleh persoalan izin, tampaknya telah mempunyai benang merahnya sejak 97 tahun yang lalu. Beda zaman, tapi kasusnya sama. Pada 1921, Tan Malaka dan Sarekat Islam cabang Semarang mendirikan SI School, sebuah sekolah bagi siapapun yang kesulitan mengakses pendidikan pada masa kolonial Hindia Belanda.
Awalnya, sekolah yang menggunakan ruang rapat SI ini gratis. Tan Malaka, sebagai pemimpin SI School, meletakkan prinsip kepada siapapun yang menangguk ilmu di sekolah ini, yaitu: bertanggung jawab pada berjuta-juta kaum kromo atau rakyat jelata (Tan Malaka, SI School dan Onderwijs, 1921). Sebab, sekolah tersebut membutuhkan seperangkat alat untuk mendukung operasional, maka mereka perlu mengadakan pasar derma untuk mengumpulkan sumbangan dan donasi.
Di tengah jalan, cita-cita mulia SI School harus terhalang penolakan asisten-residen (Hary A. Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik I, hlm. 175). Izin adanya pasar derma tidak keluar. Tidak terlalu jelas alasan penolakan itu. Namun, keberadaan Tan Malaka dan Sarekat Islam, yang disinyalir mengancam hegemoni pemerintah kolonial, cukup jadi pertimbangan. Tidak sampai di situ, Tan Malaka dan SI School juga diberi peringatan saat murid-murid SI School mengadakan pawai keliling untuk tujuan yang sama. Alasan pemerintah kolonial tetap: belum memiliki izin.
Persoalan perizinan rupanya telah melintasi berbagai zaman. Ia telah memiliki track record panjang di Indonesia sejak masa kolonial, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, hingga Reformasi. Setiap masa punya aturan dengan nama yang berbeda, tetapi ternyata ia hanyalah duplikasi dari peraturan-peraturan sebelumnya. Fungsinya tak lain masih sama: sebagai senjata penodong izin.
Ironisnya, peraturan perizinan ini masih kabur ditujukan kepada siapa, atau atas pertimbangan apa saja. Terkadang, acara-acara macam diskusi yang sebenarnya tidak mengancam stabilitas negara juga kena getahnya. Akibatnya, fenomena seperti penggerebekan suatu acara dengan dalih tidak mengantongi izin seakan sudah jadi hal lazim. Fenomena ini membutakan pandangan yang sebenarnya lebih substantif: tentang kebebasan berkumpul, berpikir, dan berpendapat.
Dalam negara yang mengaku demokratis—tetapi ternyata cuma isapan jempol—mempersoalkan perizinan rupanya lebih mendesak ketimbang duduk dalam satu forum memikirkan kemiskinan atau hak asasi manusia. Dengan menaati berlapis-lapis persyaratan soal izin, dampaknya memang akan diberi angin segar keamanan dan kelancaran. Konsekuensinya, kita juga dipilihkan hendak menyelenggarakan acara seperti apa. Peraturan perizinan seolah jadi indikator baik-buruk penyelenggaraan acara, meski tanpa ada kajian ilmiah.
Jika kita memang hendak membiarkan, yang terjadi adalah kemunduran. Sebab, yang seharusnya layak dan dapat diakses, ternyata dihambat. Lalu, sebagai gantinya, pertunjukkan sirkus konyol yang tak beda dengan masurbasi baru dibolehkan.
Jangan heran jika Kemendikbud begitu mudah memilih Dilan untuk merayakan Hardiknas. Sementara, untuk nobar Maha Guru Tan Malaka saja, harus siap dengan hadangan orang berseragam. Saya tidak sedang membandingkan yang satu lebih baik dari yang lain, tapi selama peraturan perizinan masih jadi ganjalan, bukankah kebebasan adalah ilusi?
Ahmad Yasin
Editor: Riri Rahayu