Ekspresionline.com–Ekspresi sumringah menghiasi wajah ratusan masyarakat Desa Melikan, Wedi, Klaten dan sekitarnya yang berkumpul (Minggu, 10/3) di sebuah acara rutinan Minggu Legi, yakni Peken Pinggul. Sebagian dari mereka adalah para pedagang tangguh yang menyinggahi saung-saung bambu di sepanjang jalan pinggir tanggul Kali Ujung, Desa Melikan. Nampaknya rasa lelah tidak terlihat pada raut wajah mereka, meski telah berjualan sedari pagi. Di tengah keramaian dan berisiknya perbincangan, semangat mereka tidak kendur untuk menawarkan dagangan kepada para pengunjung yang berlalu lalang.
Peken Pinggul menjadi tempat bertemu, bercengkrama, dan bersenda gurau yang menentramkan hati. Suasana alam nan asri timbul dari gemericik air kali dan desiran angin yang menembus celah-celah pohon hijau sekitaran itu. Pengunjung benar-benar disuguhi dinamika kehidupan pedesaan Jawa. Dominasi percakapan dengan bahasa Jawa, penggunaan pakaian tradisional seperti lurik, caping, dan blangkon, serta beragam makanan dan minuman tradisional yang disajikan dengan keramik gerabah menambah kesan tempo doeloe.
Peken Pinggul merupakan pasar tradisional yang diambil dari kata ”Peken” dalam bahasa Jawa berarti pasar dan ”Pinggul” dari singkatan pinggir tanggul. Perhelatannya dilakukan tiap 35 hari sekali berdasarkan penanggalan Jawa untuk memberikan kesan ngangeni. Saat ini, Maret, 2024, Peken Pinggul telah menginjak usia kelimanya.
Usung Konsep Tradisional
Awal mula berdirinya Peken Pinggul diinisiasi oleh Dani Utamo—kini menjadi Lurah Peken Pinggul—tatkala membina Program Keluarga Harapan (PKH) Desa Melikan. Harapannya agar para penerima PKH mampu mandiri secara ekonomi. Selengkapnya, cerita Peken Pinggul mulai Dani bagikan setelah menyeruput kopi hitam khas angkringan dalam gelas kaca itu.
”Pertamanya, memang dari penerima PKH. Kemudian setelahnya, konsepnya terbuka, siapa pun boleh, sesuai dengan aturan,” terang Dani.
Peken Pinggul mulanya memanglah hanya dikhususkan untuk masyarakat penerima PKH, tetapi kian meluas turut mewadahi tiap lapisan masyarakat Desa Melikan, yang ingin ikut serta berjualan. Bekalnya, mereka cukup mendaftarkan diri pada panitia dan bersedia menaati peraturan yang dijunjung di Peken Pinggul.
Sempat terjeda untuk menanggapi sapaan warga sekitar, Dani melanjutkan penjelasannya. Aturan yang dimaksudkan berkaitan dengan pengusungan konsep tradisional di Peken Pinggul, seperti menawarkan makanan dan minuman tradisional, berpakaian adat Jawa, dan menggunakan bahasa Jawa. Namun, penggunaan bahasa Jawa tidak lagi diwajibkan seiring dengan kedatangan pengunjung yang tidak hanya dari daerah Jawa saja.
”Dulu itu, semangat kami kalau di sini itu bahasanya bahasa Jawa, tapi juga karena pengunjungnya dari mana-mana, akhirnya enggak [lagi],” papar Dani dengan nada sedikit kecewa.
Sembari menunjuk papan nama di saung bambu pertukaran koin, Dani menyebut saat ini secara resmi pengelolaan Peken Pinggul di bawah naungan Kelompok Usaha Bersama (KUBe). Sebuah wadah yang diharapkan mampu menyatukan dan mengorganisir paguyuban-paguyuban kecil penerima PKH di tiap pedukuhan Desa Melikan.
”Dulu kan di PKH paguyuban. Biar enggak liarlah [tercerai-berai], katakanlah, diwadahi namanya KUBe Peken Pinggul,” jelas Dani.
Koin Gerabah sebagai Alat Transaksi
Secara struktural, KUBe dikepalai oleh Sri Ayem, dengan sekretarisnya Sri Lestari, yang akrab dipanggil Tari. Selaras dengan pendapat Dani terkait aturan di Peken Pinggul, Tari dengan luwes menjelaskan hal yang sama disertai tambahan informasi penggunaan koin sebagai alat transaksi.
”Harus pakai koin, karena emang uniknya yang pakai koin itu,” jelas Tari bersemangat menjunjung keunikan Peken Pinggul.
Koin yang digunakan sebagai alat transaksi terbuat dari gerabah untuk mendukung potensi Desa Melikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Desa Melikan, Purwanto, yang turut bergabung dalam percakapan kami, gerabah Desa Melikan telah mendapat penghargaan sebagai budaya nonbenda di awal tahun 2024 lalu. Bahwasanya, menjadi suatu kebanggaan bagi Desa Melikan sehingga memantapkan langkah kolaborasi dengan perajin sebagai wisata gerabah.
”Jadi gitu, memang kita sampai sekarang kolaborasi Peken Pinggul sama keramik sudah ada, terkait dengan gerakan-gerakan untuk potensi penggunaan bahan baku [koin], wadah kita minum [dan makan juga] menggunakan itu,” tutur Purwanto.
Selama transaksi berlangsung, penyelenggara kerap mendapati kekurangan jumlah koin. Barangkali sesuai dengan perkataan Tari sembari menyertakan gelak tawa. ”Kadang pengunjung itu enggak dikembalikan. Kalau mau pulang dikembalikan ke uang gitu kan bisa, tapi pendatang itu maunya dibawa pulang untuk kenang-kenangan.”
Padahal, jumlah koin yang disediakan mencapai 8.000-an dari yang mulanya hanya sejumlah 5.000-an, berdasar penjelasan Tari menampakkan mimik wajah keheranan. Selanjutnya, ia menyebutkan langkah sigap para pengelola untuk menanggulangi hal tersebut, yakni sistem muter dan nuker.
”Sistemnya muter, jadi bakul-bakul yang sekiranya banyak kita ganti dulu. Kalau memang kurang, nanti kita cetak lagi. [Sudah] tiga kali proses pencetakan kalau enggak salah, karena memang kerajinan dari sini, jadi gampang membuatnya,” papar Tari.
Sementara itu, Dani menanggapi tentang perbedaan ukuran koin yang ada. Ia tertawa sembari mengatakan memanglah dengan sengaja ukuran koin diperkecil mulai dari cetakan kedua. Sebabnya, berawal dari beberapa masukan bahwa ukuran koin terlalu besar dan berat. Meskipun begitu, nominal yang ditetapkan sama. Satu koin dihargai senilai Rp2.000,00.
”Pecahan terkecil yang kita anggap mewakili nilai jual barang-barangnya itu [Rp2.000,00] , kalau mau buat dagangan seribu, kok koyone tempe sewu ya pripun,” jelas Dani tersipu.
Selain digunakan untuk mendukung potensi gerabah, sistem koin difungsikan untuk mempermudah pembagian hasil antara pengelola dan pedagang. Langkah preventif telah tercanangkan.
”Karena kita pakai koin itu, kan nanti mereka istilahnya ada buat kas buat sini [Peken Pinggul]. Harapannya dalam setahun, itu ada pengembalian bagi mereka, tapi karena itu belum jadi, belum bisa. Katakanlah dalam bentuk parsel atau apa itu akan kembali ke mereka,” papar Dani.
Dalam hal ini, pengelola mengambil 20% dari nominal koin yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat. ”[Pembagiannya] ada, 1 koin itu Rp2.000,00. [Jadi] 20% masuk ke KUBE. Pedagang ketika nuker itu harganya Rp1.800,00.”
Sementara itu, dengan tangan memegang buku rekapan jumlah tukar koin, Tari menambahkan telah terjadi kesepakatan awal yang disampaikan kepada masyarakat terkait penentuan harga. ”Pertama-tama kita dari kelompok PKH se-Melikan, kita bikin konsepnya. Aturan mainnya begini, satu koin Rp2.000,00, nanti kembali ke pedagang Rp1.800,00, untuk kesekretariatan Rp200,00, untuk kas, pengembangan.”
Gandeng Kesenian Masyarakat
Setelah mengusung konsep arak-arakan, sumunar, dan gejug lesung di ulang tahun sebelumnya, kini “Gayeng Grengseng Grumbrenggeng”, menjadi tagline dalam kemeriahan acara ulang tahun Peken Pinggul yang kelima. Acara tersebut menggaet masyarakat untuk menampilkan berbagai kesenian Desa Melikan dengan tema ”Nglaras Sesarengan”. Alunan gamelan mengalir di telinga para pengunjung. Sejumlah penampil telah menempatkan diri di panggung dan menabuh perangkat gamelan. Mereka berasal dari masyarakat Melikan sendiri, yakni Omah Seni Melikan, Karawitan PKK RW 07, Widyasiwi Laksita, Kekayun, dan Seni Laras.
Sur, salah seorang wanita penampil karawitan yang mempesona dalam busana merah mudanya bercerita perihal persiapan yang telah dilakukannya. ”Kalau persiapan sih, tiap seminggu sekali latihan, jadi udah diatur dari pelatihnya engko [nanti] keluar ini, ini, ini. Jadi yang dilatih itu aja.”
Sur, dengan semangat yang terpancar dalam binar matanya, menjelaskan lebih lanjut mengenai kemeriahan karawitan yang didukung oleh para penampil lain. ”Ada dua kelompok itu, pertama itu bapak-bapak campur ibu-ibu. Terus kalau tembang saya khusus perempuan semua, ibu-ibu, tapi udah sepuh-sepuh, lah, angkatanku. Kalau yang angkatan kekayon itu masih muda-muda, ada juga remaja.”
Turut berdiri di samping panggung, Dani menyaksikan pertunjukan tersebut. Dani mengungkapkan rasa syukur atas kontribusi masyarakat yang bersatu padu, setekad, sepemikiran dalam memeriahkan acara ulang tahun Peken Pinggul kelima tersebut. Bahasa halus dan nada bicara bangga menghantarkan Dani dalam mengungkapkan rasa syukurnya.
”Mereka bareng-bareng gotong royong saestu, tidak ada bayaran bagi mereka. Saya merasa terenyuh dan sampai begini, alhamdulillah menghidupkan gotong royong.”
Begitu pula dengan Purwanto, Kepala Desa Melikan, dalam tutur katanya ia mengakui bahwa Peken Pinggul merupakan suatu program yang mampu meningkatkan kemandirian warga desa. Disertai rencana ke depan, ia mengungkapkan bentuk dukungan desa ialah untuk terus mendorong pengembangan Peken Pinggul.
”Kita istilahnya cuma mendorong dari belakang [mengoptimalkan], termasuk ini buat paving secara resmi dari desa. Termasuk kebutuhan seng [yang] mungkin sangat berpotensi, harus dipunyai,” pungkas Purwanto.
Annisa Fitriana
Reporter: Annisa Fitriana, Meira Arta
Editor: Rosmitha Juanitasari