Rasisme menjadi salah satu dasar kolonialisme di tanah jajahan Hindia Belanda, dan rasisme ini melahirkan makhluk yang kini bernama ‘pribumi’,” tulis Ariel Heryanto dalam esainya, “Rasisme Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan RI”.
Tanah Hindia Belanda yang sekarang kita kenal sebagai Indonesia, celakanya, tulis Ariel, menganggap sumber perbedaan itu adalah ras. Pribumi selalu baik, sedangkan yang buruk pasti dan selalu adalah nonpribumi. Tak peduli apakah mempunyai jabatan atau tidak, menindas rakyat kecil atau tidak, pribumi selalu baik. Sedangkan nonpribumi, sekalipun ia memihak rakyat Hindia Belanda, semisal Eduard Douwes Dekker si pengarang Max Havelaar, tetaplah—bagi sebagian besar orang—dianggap bangsa penjajah. Begitulah sejarah bangsa Indonesia dilihat sampai sekarang. Hitam dan putih. Bahwa, sekali lagi, tak semua yang menindas itu pasti nonpribumi. Demikian pula sebaliknya, pribumi itu tak selalu yang ditindas.
Tionghoa dalam Lintasan Sejarah
Begitu juga dengan keturunan Tionghoa. Mereka, dengan menggunakan predikat nonpribumi, dianggap berbeda dan dipojokkan. Lihat saja dalam lintasan sejarah etnis dan keturunan Tionghoa.
Etnis Tionghoa, sudah sejak lama mendatangi kepulauan Nusantara. Menurut Yerri Wirawan, Dosen Ilmu Sejarah Univesrsitas Sanata Dharma, etnis Tionghoa mulai bermigrasi dengan cukup pesat di kisaran abad ke-16 dan ke-17. “Cara mereka datang ke sini seperti bedol desa, seperti transmigrasi,” tulis Ong Hok Ham, sejarawan keturunan Tionghoa, dalam bukunya, Anti-Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia.
Selepas peristiwa Geger Pecinan 1740, Vereenigde Oost Indische Company (VOC) menerapkan dua kebijakan terhadap warga Tionghoa. Pertama, orang Tionghoa ditempatkan di kampung yang terpisah dari etnis lain, atau disebut wijkenstelsel. Kedua, orang Tionghoa harus mempunyai surat jalan jika hendak bepergian, aturan ini disebut passenstelsel. Maka dari itu, muncullah permukiman-permukiman Tionghoa, yang kini masih bisa ditemui hampir di seluruh kota di Indonesia.
Kemudian, demi melanggengkan kolonialisme, VOC membikin sistem berdasar ras menjadi tiga bagian, yaitu Belanda/Eropa (totok), Timur Jauh (Tionghoa, Arab, India, Jepang), dan pribumi. Setelah kehidupan etnis Tionghoa dikendalikan berdasarkan pembagian kelompok berdasarkan ras, warga etnis Tionghoa juga dibatasi ruang geraknya.Alhasil, semakin menguatlah perlakuan rasialis terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Tihara Seto Sekar, seorang mahasiswa strata dua Fakultas Hukum UII, dalam tesisnya yang berjudul Problematika Surat Instruksi Kepala Daerah No. K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi di Yogyakarta, menuliskan, setelah kemerdekaan RI, etnis keturunan Tionghoa tidak lepas dari aturan yang menyudutkan. “Tercatat, pada masa pemerintahan Soekarno, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 Desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha di tingkat desa,” tulis Tihara.
Tak hanya itu, selanjutnya pada masa Orde Baru, terbit Ketetapan MPRS No.III/MPRS/1966. Salah satu bagiannya mengatur tentang asimilasi sebagai satu-satunya jalan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa agar dapat meleburkan diri. Pada tahun yang sama, terbit pula Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan. Isinya desakan pada pemerintah untuk melarang sekolah asing guna lebih membina kebudayaan daerah. Kemudian, Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Di dalamnya dinyatakan bahwa penerbitan pers dalam bahasa Tionghoa merupakan monopoli pemerintah. Yang mana, hal tersebut turut melanggengkan rasialisme di Indonesia.
Diskriminasi Pertanahan
Serenteng peristiwa itulah yang memungkinkan Yogyakarta melahirkan aturan berbau rasialis. Tak bisa disangkal, juga berbau kolonialis. Aturan tersebut terwujud dalam Instruksi Kepala Daerah 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi. Aturan itu bertanda tangan Wakil Kepala Daerah saat itu, Pakualam VIII. Aturan tersebut membatasi orang-orang yang dianggap nonpribumi—khususnya keturunan Tionghoa—untuk memiliki tanah. Keturunan Tionghoa di Yogyakarta hanya diberi hak guna bangunan, hak pakai, dan hak guna usaha.
Ras, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras tdan Etnis, adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan. Sedang etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan nilai kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.
Di Indonesia, aturan yang mengandung rasialisme sudah dihapus sejak berlakunya UU No.40/2008 tentang Penghapusan Diskrimansi Ras dan Etnis. Dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan, “Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.” Selain itu, dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa, “Penghapusan diskriminasi ras dan etnis bertujuan mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.”
Terlebih lagi, dalam spektrum universal, PBB juga telah menghapuskan diskriminasi dalam bentuk apapun. Keputusan itu dimaklumatkan dalam Resolusi Sidang Umum No. 1904 pada 20 November 1963. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa tidak boleh ada negara, kelompok, atau individu yang melakukan diskriminasi apapun dalam HAM dan kemerdekaan asalnya dengan memperlakukan perorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan ras, warna kulit, atau asal etnik. Penghapusan diskriminasi rasial ditegaskan pula Pasal 28H ayat 4 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Sementara itu, terkait dengan pemilikan tanah, merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), dalam Pasal 9 ayat 1 UUPA disebutkan, “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.” Kemudian ayat 2 berbunyi, “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
Instruksi Tak Berlaku
Eko Riyadi, direktur Pusham UII, mengatakan, Instruksi Kepala Daerah 1975 berawal ketika pada 1975, modal-modal asing menghimpit Yogyakarta. Maka kemudian dibuatlah aturan untuk melindungi warga yang dianggap pribumi. “Waktu itu Keraton berpikir bagaimana melindungi tanah-tanah, setidaknya dalam level ring satu seperti Malioboro dan sekitarnya, agar tidak jatuh ke tangan asing termasuk untuk orang Tionghoa, karena pada waktu itu ekspansi modal orang Tionghoa memang besar-besaran,” kata Eko yang ditemui Jumat, (31/10).
Sementara itu, Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, menilai bahwa instruksi itu hanya bersifat transisional. “Kita sebenarnya sudah bisa mengambil satu pemahaman bahwa kebijakan ini sifatnya transisional, sifatnya sementara. Karena dalam konteks tahun 1970 sampai 1975 itu memang hukum pertanahan di DIY ini sedang bertransformasi,” ujarnya.
Hal senada ditegaskan oleh Ni’matul Huda, dosen Hukum dan Tata Negara UII. Ia mengatakan bahwa semua aturan pertanahan DIY sebelum Peraturan Daerah No.3/1984 tentang Pemberlakuan UUPA, tidak berlaku. Tak terkecuali Instruksi Kepala Daerah 1975. “Sangat jelas bahwa instruksi tersebut hanya berlaku dari 1975 sampai 1984. Sesudah itu DIY harus mengikuti UUPA, sehingga aturan dari Rijksblad sampai Instruksi Kepala Daerah 1975 tidak berlaku,” ujar Ni’matul.
Sebenarnya, tidak perlu Komnas HAM melayangkan surat rekomendasi sebanyak dua kali. Tak harus terjadi pula warga Tionghoa menyomasi kepala daerahnya sendiri. Namun, itu hanya bisa diharapkan jika Pemerintah Daerah Yogyakarta punya political will yang kuat untuk menghapus diskriminasi rasial dalam hak atas tanah.
A. S Rimbawana
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXIX November 2016 “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”.