Ekspresionline.com–Masa keemasan Real Madrid bukan berlangsung ketika mega bintang Cristiano Ronaldo mempersembahkan rentetan trofi Ballon d’Or, khususnya kepada penggemar klub ibu kota Spanyol. Bukan juga tatkala pelatih plontos Zinedine Zidane meraih trofi Liga Champions sepanjang tiga musim bertalu-talu. Era kejayaan Los Blancos (julukan Real Madrid), yang mungkin lebih kilau dari emas, dimulai ketika duet Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas menginjakkan kaki di sana.
Real Madrid menjadi salah satu tim digdaya di era 1950-an. Tidak hanya garang di kompetisi lokal macam La Liga, mereka juga garang di ajang Eropa; berhasil menyabet 5 titel Piala Champions—kini disebut Liga Champions—secara beruntun, sejak 1955 hingga 1960. Di samping itu, Real Madrid yang saat itu dipimpin oleh presiden klub Santiago Bernabeu juga mampu menggondol 1 Piala Interkontinental pada 1960/1961.
“Kami memiliki begitu banyak pemain hebat di tim itu, tidak mengherankan kami memenangkan begitu banyak Piala Eropa [Liga Champions],” kenang Francisco Gento, salah satu gelandang sayap milik Real Madrid era 1950-an.
Amunisi Real Madrid saat itu tidak bisa diremehkan. Mereka punya segudang pemain-pemain kenamaan. Di bawah mistar ada Rogelio Dominguez yang punya refleks di atas rata-rata; barisan pertahanan mereka dijaga ketat oleh trio Marquitos-Jose Santamaria-Pachin; sementara di lini tengah Real Madrid memiliki Luis del Sol, Gento, serta Raymond Kopa yang punya visi bermain sangat bagus.
Dengan sederet pemain sangar, Real Madrid konsisten memakai skema andalan 3-2-5, dengan pendekatan taktik menyerang. Formasi ini pada perkembangannya juga dapat bertransformasi menjadi 3-4-5. Taktik menyerang ini tidak berubah meski mereka tercatat tiga kali gonta-ganti pelatih: mulai dari Villalonga, Luis Antonio Carniglia, hingga Miguel Munoz.
“Tidak ada yang bisa mengalahkan Madrid waktu itu,” tulis wartawan asal Perancis, Jean Eskenazi. “Penampilan mereka seperti pertunjukan kembang api paling fantastis yang pernah ada.”
Sayangnya, era keemasan Real Madrid dibangun di atas pondasi yang sarat kontroversi. Keberhasilan tumbuh dibalik intrik.
Mula: Transfer yang Problematik
Kesuksesan Real Madrid kala itu tidak lepas dari peran sentral duet maut Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas. Di Stefano merupakan juru gedor ulung: mencetak 216 gol dalam 284 penampilan sepanjang karirnya bersama Real Madrid. Sementara Puskas menghadirkan “sihir” lewat kaki kirinya, menyumbang 199 gol semasa 226 penampilannya bersama Real Madrid.
Namun, penandatanganan Alfredo Di Stefano di Real Madrid dipenuhi polemik politik. Banyak orang percaya bahwa kedatangan pemain berjuluk La Saeta Rubia ke ibu kota tidak lepas dari peran ultranasionalis diktator sayap kanan, yang memerintah Spanyol dengan tangan besi, Jenderal Fransisco Franco.
Franco memimpin Spanyol dari 1936 hingga 1975. Sesuai sifat diktatornya, rezim sentralisasi dibangun di atas kekuatan ibu kota. Dengan alasan ini, Real Madrid dianggap lebih “diistimewakan” oleh Franco, ketimbang klub-klub La Liga lainnya.
Karena alasan itu pula, El Generalissimo ‘Sang Jenderal Besar’ melakukan kunjungan rutin untuk menonton Real Madrid mulai 1950 hingga ’60-an, terutama selama periode paling sukses mereka.
Salah satu yang paling kontroversial dari campur tangan Si Tangan Besi Franco adalah ketika Real Madrid mendapat tanda tangan Di Stefano. Banyak yang menduga bahwa sang jenderal merupakan dalang di balik penandatanganan tersebut.
Tahun 1953 merupakan masa-masa terakhir Di Stefano bermain untuk klub Millonarios. Pada bulan Juni tahun itu, sang pemain dipinjamkan ke River Plate. Namun, baru sebulan berada di sana, Raksasa Real Madrid menawarkan diri untuk membeli sang pemain. Namun ternyata, secara mengejutkan rival mereka, Barcelona juga menaruh ketertarikan terhadap sang pemain, bahkan sudah nembung lebih dulu.
Persaingan memperebutkan sang pemain berlangsung alot, bahkan cenderung berbelit-belit. These Football Times menyebut bahwa sang pemain sudah lebih dulu mencapai kesepakatan dengan Barcelona, bahkan telah memainkan pertandingan persahabatan pra-musim bersama tim asal Catalonia tersebut.
Namun, Franco sebagai pemimpin Spanyol kala itu punya kuasa mengontrol negara bagian, termasuk Catalonia dan timnya. Barcelona, yang saat itu hampir mencapai kesepakatan dengan Millonarios, tak berkutik dibuatnya. Bagaimana tidak, di bawah kekuasan otoriter Jenderal Franco, Pemerintah Spanyol mengeluarkan undang-undang yang melarang pembelian pemain asing. Tujuannya tidak lain untuk mencegah Di Stefano mendarat di Barcelona.
Sayangnya, aturan tersebut tak bertahan lama. Franco seolah paham bahwa regulasi itu terlalu konyol. Mengetahui peraturan tersebut membuat banyak keributan, El Generalissimo kemudian menengahi kesepakatannya sendiri. Akan tetapi, solusi yang ditawarkannya pun tak kalah menggelikan: Di Stefano akan tampil bergantian setiap musimnya, baik bagi Barcelona maupun Real Madrid.
Yang tak kalah mengejutkan, presiden klub Barcelona ketika itu, Marti Carreto, menyerah pada kesepakatan tersebut. Dalam Franco Gets His Man: “The Di Stefano Signing” yang dipublikasikan di Soccer Politics, menyebutkan bahwa Carreto diduga beroperasi di bawah perintah El Generalissimo. Dewan direktur kemudian menyerahkan hak penuh Di Stefano kepada Real Madrid, dengan imbalan harga yang telah dibayarkan oleh River Plate kepada Millonarios diganti oleh Los Blancos.
Sejak berseragam Real Madrid, Di Stefano tampil garang. La Saeta Rubia tidak henti-hentinya mencetak gol sepanjang karirnya. Total, ia berhasil melesakkan 267 gol dari 348 penampilannya bersama tim ibukota. Bahkan dalam 5 musim beruntun, sejak 1953-1958, Di Stefano mencatatkan diri sebagai pemain tersubur Liga Spanyol.
Tambahan Amunisi
Transfer musim panas 1958 menjadi tahun keemasan baru bagi Real Madrid. Tepatnya pada 11 Agustus 1958, seorang pemain masyhur bernama Ferenc Puskas secara resmi tiba di tanah ibukota.
Penyerang berjuluk The Galloping Major tersebut merupakan pemain kenamaan kala itu. Gelar top skor Eropa 1948 serta Pemain Terbaik Dunia 1953 menjadi buktinya. Di samping itu, Puskas juga menjadi bagian dari kesuksesan tim nasional Hungaria meraih medali emas dalam perhelatan Olimpiade 1952 Helsinki, Finlandia.
Namun, mimpi buruk menimpa Puskas pada tahun 1956. Ketika itu, ia bersama klub asal Hungaria, Honved, sedang melakoni babak pertama European Cup. Mereka bertandang ke Spanyol untuk menghadapi Atletico Bilbao—sekarang Athletic Bilbao. Mereka kalah tipis 3-2. Saat hendak pulang ke negaranya, Revolusi Hungaria sedang pecah di Budapest. Hal ini membuat sang pemain menolak kembali ke Hungaria.
Keputusan Puskas untuk tidak kembali ke Hungaria membikin geram Uni Sepak Bola Eropa (UEFA). Akibatnya, ia dihukum larangan bermain selama dua tahun. Ia pun pasrah, hidup sekenanya dan membiarkan lemak menumpuk di tubuhnya.
Setelah masa hukumannya berakhir, tidak ada satupun klub yang tertarik menggunakan jasanya. Namun tidak demikian dengan Real Madrid. Presiden Santiago Bernabeu tiba-tiba datang membawa tawaran sebesar 100 ribu dolar Amerika kepadanya.
Waktu itu, usia Puskas sudah tidak muda lagi. Tepat ketika Real Madrid datang membawa penawaran, ia telah menginjak 31 tahun. Bahkan, disebabkan oleh gaya hidup tak beraturan selama 2 tahun lantaran menjalani hukuman larangan bermain, postur tubuhnya sudah tidak mendukung sebagai pemain sepak bola.
Dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona vs Real Madrid (2015), Sid Lowe mengisahkan bahwa Puskas awalnya pesimistis dengan dirinya sendiri. Sang pemain menjelaskan bahwa tubuhnya sudah tidak lagi mendukung untuk bermain bola lagi.
“Badanku seukuran balon besar. [Penawaran] Ini semua terdengar sangat bagus, tapi tidakkah kamu melihat kondisiku? Aku setidaknya kelebihan 18 kilogram,” katanya kepada Presiden Santiago Bernabeu saat itu.
Bernabeu lantas menjawab enteng, “Itu semua bukan masalahku, tapi masalahmu.”
Setelahnya, sang presiden meminta kepada pelatih Real Madrid saat itu, Luis Antonio Carniglia, untuk membuat Puskas kembali bugar. Beberapa bulan setelahnya, Puskas menghebohkan penggemar klub ibu kota dengan penampilan luar biasa.
Hasilnya, Puskás mencetak lebih dari 20 gol dalam setiap enam musim pertamanya untuk Real Madrid dan menjadi pencetak gol tersubur sebanyak empat kali. Dalam melakoni 39 pertandingan Piala Eropa, dia bahkan mencetak 35 gol.
Gelar yang dipersembahkan The Galloping Major selama delapan musim berseragam Real Madrid (1958-1966) juga tidak sedikit. Lima gelar Liga Spanyol, tiga gelar Piala Champions, satu gelar Piala Spanyol, dan satu Piala Interkontinental menjadi bukti kedigdayaannya.
Sejak 1958, Di Stefano pun mendapat tandem yang klop di Real Madrid. Keduanya memenangkan segalanya bersama tim ibukota. Salah satu yang tidak pernah terlupakan adalah ketika mereka berhasil membawa Los Blancos menjuarai Piala Champions 1960.
Saat itu, di hadapan 127.000 penonton, Real Madrid berhasil melibas perlawanan Eintracht Frankfurt dengan skor telak 7-3. Di Stefano mencetak hattrick, sementara Puskas menceploskan 4 gol dalam laga tersebut. The Times menggambarkannya sebagai “final Piala Eropa dengan seni tinggi, permainan menyerang yang luar biasa dan gol-gol yang menakjubkan.”
Namun, tidak jauh berbeda seperti Di Stefano, Puskas juga pernah membuat kontroversi. Hal itu pun berimbas pada gelaran final Piala Champions 1960 yang hendak ia lakoni di atas. Karena ulahnya, final edisi tahun itu bahkan terancam batal berlangsung.
Kejadiannya sudah lama terjadi. Dilansir dari These Football Times, setelah tim nasional Hungaria yang digdaya saat itu, secara tak terduga, kalah di final Piala Dunia 1954 dari Jerman Barat. Padahal pada babak penyisihan grup, Hungaria berhasil melibas Jerman Barat dengan hasil jitu 8-3. Puskas mengklaim dalam sebuah wawancara bahwa lawan-lawannya di final telah didoping. Landasan tuduhannya kala itu: para pemain Jerman Barat diyakini mengidap penyakit kuning setelah final usai.
Banyak pejabat Jerman menganggap pernyataan fitnahnya tidak dapat dimaafkan sama sekali, bahkan meskipun sang pemain telah meminta maaf dan mencabut klaimnya. Mereka juga sempat melarang tim Jerman bermain melawan tim yang menampilkan Puskas. Sang striker harus mengirim surat permintaan maaf langsung karena tuduhan yang telah dia lontarkan. Untungnya, Frankfurt sebagai finalis Piala Champions kala itu bersedia tampil dan final tetap digelar. Puskas, lagi-lagi, menundukkan kepala pendukung tim Jerman lewat torehan quattrick-nya.
Fadli Muhammad
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri