Ekspresionline.com–Malam yang menggelegar dengan suara gamelan yang binarung memenuhi udara. Saat itu pementasan wayang kulit sedang berlangsung di kampung Emas Krapyak IX Seyegan, Sabtu (18/05/2024). Masyarakat berjubel memenuhi area Dalem Pawiro Diharjo, kediaman Sumaryanto, Rektor UNY. Nampak pula para guru besar dan civitas academica duduk bersama tamu undangan lainnya.
Para tamu undangan duduk menghadap pendopo dengan kursi yang telah disediakan. Di belakangnya terlihat pula kursi-kursi berbalut kain putih diisi masyarakat umum yang sedari awal antusias. Semua membaur tanpa sekat.
Para pengrawit dengan lincah memainkan gamelan yang dihadapinya. Pendopo itu nampaknya memang didesain untuk acara yang demikian. Sang Dalang dengan lakonnya Dumadine Kampung Emas Endraprastha siap membuka pakeliran. Tok, tok, tok … lakon dibuka diikuti suara gamelan yang semakin padu. Demi melihat pembukaan itu, para warga yang tak kebagian kursi rela berdiri.
Membangun Kampung Emas
Pementasan dimulai dengan pasewakan agung di negeri Astina. Saat itu tengah geger Harya Werkudara dan saudara Pandawa lainnya meminta haknya atas negara. Alih-alih diberikan, ia malah mendapat hutan angker bernama Wisamarta. Setidaknya itu yang diceritakan oleh Ki Sukisno, dosen FBSB, sebagai pengantar.
Pagelaran sempat terjeda karena adegan limbukan yang dimeriahkan Dalijo dan Tatin. Keduanya adalah pelawak kondang Yogyakarta. Dalijo sendiri dulu merupakan alumni FBSB UNY. Melihat adegan jenaka yang mereka perankan, para penonton tertawa terbahak-bahak. Untuk memeriahkan suasana, Rektor UNY juga bergabung untuk ikut unjuk suara, nembang.
Pagelaran diteruskan ditandai dengan munculnya Werkudara yang siap membabat hutan. Sang Dalang menyiapkan tiga gunungan untuk diperankan sebagai pepohonan alas Wisamarta. Ketangakasan Ki Sukisno nampak saat ia memainkan Werkudara dengan sabetan yang lincah. Werkudara tengah meratakan hutan dengan kekuatannya.
Kendati pemberian hutan oleh Kurawa itu hanya sebagai jebakan para Pandawa menjalaninya dengan ikhlas. Para Pandawa tak henti-hentinya diserang hewan buas dan setan. Gamelan oleh para wiyaga dipukul dengan keras demi menambah kesan laga pada adegan itu.
Dari rangkaian awal pagelaran yang ditampilkan Ki Sukisno, saya menyadari inilah gambaran para orang teguh dan perkasa dalam berjuang. Adegan terjeda dengan adanya goro-goro, yakni munculnya Semar, Gareng, Petruk, Bagong ke dalam kelir. Daljo dan Tatin juga turut meramaikan kembali goro-goro itu.
Kendati meriah, karena mengejar jam, akhirnya lakon utama dilanjutkan. Para Pandawa kompak melawan para jin dan setan yang berkuasa di hutan itu. Mereka semakin berani merangsek masuk ke dalam hutan karena telah dibekali senjata anugerah dewa.
Akhirnya para jin menyerah dan bersedia menyerahkan kerajaan gaib mereka. Setelah menemui Pandawa untuk menyerahkan kekuasan mereka, para jin itu menitis ke dalam diri Pandawa. Anehnya, setelah selesai adegan penitisan itu, kerajaan gaib para jin muncul ke alam nyata menjadi sebuah istana dan kedaton berlapis emas.
Adegan tersebut menjadi akhir dari lakon Dumadine Kampung Emas Endraprashta. Lakon ini merupakan gubahan dari lakon Babad Alas Wanamarto. Gamelan secara rampak berbunyi tanda acara mencapai puncaknya. Pagelaran berakhir dengan tancapnya kayon oleh Ki Sukisno.
Lakon sarat makna
Lakon ini merupakan representasi UNY dalam berjibaku mewujudkan ‘Kampung Emas.’ Hal ini berkaitan bagaimana Pandawa dalam kokoh berpendirian. Nampak pula dalam tokoh Werkudara keberanian tinggi untuk mengambil risiko.
Menurut Sumaryanto, lakon ini merupakan kisah yang sarat akan makna. “Ya, yang pertama lakonnya sebetulnya merefleksikan terbentuknya Kampung Emas. [Seperti] yang tadi malam saya sampaikan, ada seni berkah, olahraga berkah, tahu berkah, kulineran berkah, mino berkah, mendo berkah, kemudian sayur mayur berkah, unggas berkah. Ujung-ujungnya, pendidikan berkah,” ujar Sumaryanto, pada Ekspresi, Sabtu(18/05/2024).
Hal itu nampak pula dari penuturan dalang saat pentas bahwa lakon ini adalah ‘simbolisasi’ dari terwujudnya Kampung Emas. Lakon ini menurutnya yang pantas dimainkan dalam pagelaran malam itu. Dengan mengambil tokoh utama para Pandawa, lakon ini menjelaskan bagaimana UNY berjuang dalam mewujudkan ‘Kampung Emas’.
Mungkin itulah maksud dari pepatah leluhur Jawa, “Seko tontonan dadi tuntunan, tuntunan dadi tatanan.” Kata tersebut dapat dipahami sebagai seni yang menjadi wahana pembangunan. Hal itu terlihat juga dari suasana Kampung Emas yang semarak dengan kegiatan kesenian. Tak hanya itu, di berbagai sudut dan tepi jalan terdapat berbagai fasilitas olahraga, seperti lapangan voli dan tenis meja.
Dies natalis dalam bingkai kebudayaan
Acara malam itu ditutup dengan pembagian hadiah. Para warga antusias melihat kertas lembaran yang berisi nomor kupon mereka. Hadiah yang dipersembahkan berupa kipas angin, kompor, dan sepeda. Salah satu warga yang mendapat sepeda tampak bersyukur karena tidak menyangka nomor kuponnya menjadi hadiah utama.
Melihat bagaimana malam itu nampak keharuan bercampur kemeriahan. Para akademisi membaur dengan masyarakat tanpa sekat. Atraksi budaya berupa wayang kulit memang umum digelar dalam berbagai perayaan. Dalam acara ini, semua orang bisa bergabung tanpa memandang latar belakangnya.
Acara pagelaran ini merupakan rangkaian dari Dies Natalis UNY yang ke-60. Kegiatan pagelaran wayang kulit merupakan salah satu rangkaian seni pertunjukan yang ditampilkan setelah sebelumnya pagelaran kethoprak berlakon Andhe-Andhe Lumut berhasil digelar di Gedung Performance Hall, FBSB, UNY.
Kegiatan tahun ini ternyata selain digelar di kampus pusat juga digelar di pedesaan. Selain memberikan suguhan hiburan bagi civitas academica, ternyata acara tahun ini juga turut menghibur masyarakat.
Dengan dilaksanakannya kegiatan ini, Sumaryanto menyampaikan harapannya mengenai UNY.
“Harapannya teman-teman Ekspresi dan jajaran keluarga besar UNY jaya lembaganya [dan] sejahtera warganya. Lembaganya itu [mencakup] rektorat, fakultas, departemen, prodi, [dan] UKM, termasuk Ekspresi, “jaya”. Baik, mulia, [dan] berprestasi, insyaallah sejahtera warganya, karena berprestasi. Saya kira itu,” tutup Sumaryanto mengakhiri sesi wawancara, Sabtu(18/05/2024).
Setelah pembagian hadiah selesai masyarakat mulai meninggalkan lokasi pementasan. Malam yang dingin itu membalut suasana kampung yang aksesnya terdampak proyek tol Jogja-Bawen tersebut.
Setelah kursi-kursi ditata rapi, wayang pun dicabut dari kelir. Lampu-lampu mulai dipadamkan, menandai acara malam itu resmi selesai. Tampak kepuasan di wajah para penyelenggara atas suksesnya acara malam itu.
Rizqy Saiful Amar
Editor: Nugrahani Annisa