Ekspresionline.com–Sorot lampu berwarna merah ditingkahi alunan musik mencekam. Tampah berisi bunga tujuh rupa lengkap dengan dupa-dupa diletakkan di pusat panggung. Tarian pemujaan baru saja dimulai. Seiring berjalannya waktu, pencahayaan meredup hingga hilang sepenuhnya. Melebur dalam adegan pembuka pementasan bertajuk Dukun-Dukunan yang diselenggarakan Teater Sugeng Psikologi UNY di Taman Budaya Yogyakarta, Jumat (8/11/19).
Rumah itu usang beserta perabotan-perabotan lapuk. Tampak sepasang suami-istri dengan suasana hati bertolak-belakang. Asdi terlihat bahagia, bersantai di atas lincak, sedangkan Sulastri menjemur pakaian sambil mencak-mencak melihat kemalasan suaminya. Sang istri khawatir, mereka tak lagi punya bahan pangan. Lelakinya tak peduli, malah menyalahkan pejabat-pejabat di kursi pemerintahan yang melakukan korupsi harta negara.
Cerita bergulir dengan perseteruan Asdi dan Sulastri yang tak kunjung selesai. Pembahasan mengenai kondisi perekonomian yang sulit, merupakan makanan sehari-hari masyarakat kelas bawah. Adegan ini menggambarkan budaya patriarki yang masih sangat kental. “Apa kamu mau lawan suami? Sudah berani lawan suami?” respon Asdi terhadap keluhan istrinya. Padahal, Sulastri hanya ingin suaminya bekerja, apa pun asal membuatnya berhenti menjual perabotan rumah demi sekepal beras.
Di sela kepelikan itu, Parjinem muncul sebagai utusan seorang kaya raya dari kota. Ia mencari Dukun Progo yang terkenal sakti untuk menyembuhkan sakit anak majikannya.
Sulastri, yang terhimpit kemiskinan, mendapat ilham untuk mendaulat suaminya menjadi sosok yang dicari itu. Sekonyong-konyong, jadilah Asdi seorang dukun. Dukun palsu dalam lakon Dukun-Dukunan.
Asdi pergi dengan segala atribut dukun gadungannya ke kota. Latar panggung seketika berganti menjadi ruang tamu yang mewah.
Kesenjangan sosial dipertontonkan secara nyata, terlihat dari kondisi rumah Asdi yang rapuh nyaris roboh, dibandingkan hunian keluarga Martabat, majikan Parnijem.
Bapak Martabat tampil rapi ala pejabat. Istrinya, wanita sosialita dengan kipas bambu selalu bertengger di tangan. Ada juga anak gadis mereka yang gagu, suster yang harusnya merawat gadis itu, dan Parjinem sang pembantu rumah tangga yang sempat diutus tadi.
Proses penyembuhan pun dimulai. Orang-orang di ruangan disuruh keluar, menyisakan Asdi dan Putri. Ruangan sepi. Mendadak Asdi berlutut sambil memohon-mohon. Ia mengakui kebohongannya, membuka identitas sebagai orang awam yang tidak paham ilmu perdukunan. Sang gadis tetap bergeming. Dukun gadungan itu panik, bingung harus melakukan apa. Hingga sesuatu membuat Putri terbahak. Terkejut, Asdi buang angin. Gadis itu ternyata bisa berbicara.
Aku gadis belia, dipaksa ayah ibunda.
Pergi bersama nakhoda cinta, tuk arungi bahtera rumah tangga.
Masa depanku, nampak kelabu.
Niat ingin mencari ilmu, tapi tak direstu.
Terkesiap, Asdi lantas menyimpulkan, yang diutarakannya dalam pertanyaan retoris: “Jadi Mbaknya ini pura-pura gagu demi bisa melanjutkan sekolah?”
Putri menganggap dirinya seperti burung dalam sangkar. Ia boleh bebas pergi bersama lelaki yang dijodohkan dengannya, tetapi ia tidak bisa lepas. Tak punya pilihan selain diam dalam kungkungan perjodohan. Ia ingin melawan sikap primordial orang tuanya, tapi tak didengar.
Ada angan-angan yang ingin direalisasikan. Ia ingin melanjutkan kuliah, berangkat ke kampus bersama kawan-kawan sebayanya, mendengarkan dosen mengajar, juga mengerjakan tugas. Lumrah bagi masyarakat yang merasakan pendidikan tinggi, dan di saat yang sama jadi impian besar bagi sebagian yang lain. Tak ketinggalan kegiatan minum kopi sambil bergunjing. Sindiran bagi mahasiswa tidak produktif.
Menyentil kesadaran, bahwa di negara ini sebenarnya masih banyak yang ingin menempuh pendidikan tinggi, tapi tak terwadahi. Gadis itu membayangkan dirinya turun ke jalanan, membela demokrasi negeri. Menuntut terwujudnya keadilan dan masyarakat madani. Menekankan ulang tekadnya, Putri berucap, “Saya juga ingin jadi mereka, mahasiswa.”
Proses penyembuhan Putri hampir selesai atas dasar kongkalikong kedua belah pihak. Semua penghuni rumah dipanggil kembali masuk ke ruangan. Asdi berlagak bisa menyembuhkan Putri dengan syarat suami-istri Martabat harus mendengarkan permintaan anaknya setelah pulih.
Setelah rapalan mantra abal-abal, Putri kembali bisa berbicara di hadapan orang tuanya. Ia menyatakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah. Bu Martabat terkejut, sesak nafas. Putri kembali gagu. Pak Martabat mempertimbangkan. Lalu keputusan dibuat, gadis itu diizinkan sekolah lagi. Mengingatkan kita akan budaya demokrasi yang seharusnya dibangun di organisasi paling kecil terlebih dahulu, yaitu keluarga. Peran orang tua adalah membimbing anak, bukan mencetaknya lewat perintah-perintah saja tanpa melibatkan pendapat mereka.
Lewat sisi kiri panggung, Sulastri mendadak muncul ke panggung. Ia mencari suami yang ia daulat jadi dukun gadungan. Tak lupa disampaikan kerinduan pada sang suami yang sebelumnya ia maki-maki. Seperti tipikal pasangan pascakonflik. Semua itu terjadi di kediaman Martabat, sehingga sadarlah seluruh individu yang ada di situ bahwa Asdi adalah dukun gadungan.
Aktor-aktor di lakon ini bertingkah jenaka dan saling melontarkan ungkapan satir, menjadi hal yang menarik untuk disimak. Meskipun pementasan teater ini bergenre komedi, tetapi banyak pesan yang ingin disampaikan. Seperti yang dinyatakan Nanda Arisa selaku sutradara, “Lakon ini berusaha menyampaikan kritik terhadap realitas yang terjadi di negara terkait politik, sosial, dan budaya,” ujarnya, Minggu (10/11/19).
Menurut Nanda, naskah Dukun-Dukunan karya Puthut Buchori ini diangkat karena sangat dekat dengan masyarakat kita yang masih percaya hal-hal klenik. Sedangkan Bunga Nabila sebagai pimpinan produksi melihatnya dari sudut pandang lain. Ia menyatakan genre komedi lebih mudah diterima masyarakat, sehingga diharapkan pentas perdana ini bisa membekas di ingatan. “Alhamdulillah kesampaian, kita dapat positif vibes juga dari penonton,” ungkapnya pada Minggu (10/11/19) dalam merespons antusiasme penonton.
Bunga dan Nanda sepakat, jangan suka berpura-pura adalah garis besar amanat yang ingin disampaikan. Bunga berharap, pementasan ini bisa menjadi agenda tahunan divisi Minat dan Bakat HIMA Jurusan Psikologi. Acara juga dimeriahkan oleh tari Mangastuti dan Seureuta.
Arummayang Nuansa Ainurrizki
Editor: Abdul Hadi