Judul film: Eksil
Tahun rilis: 2022
Genre: Dokumenter
Asal negara: Indonesia
Sutradara: Lola Amaria
Distributor: Lola Amaria Production
Ekspresionline.com–Kuburan kami ada di mana-mana.
Kuburan kami berserakan di mana-mana.
Di berbagai negeri, di berbagai benua.
Kami adalah orang-orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia.
Paspor kami dirampas sang penguasa.
Tak boleh pulang ke halaman tercinta.
Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan.
Puisi tersebut ditulis oleh Chalik Hamid, seorang eksil yang terombang-ambing dalam ketidakpastian dan selalu mencari jalan untuk pulang.
Eksil merupakan sebuah film dokumenter yang disutradarai dan diproduseri oleh Lola Amaria. Mulai diproduksi pada tahun 2015, film dokumenter ini berdurasi 1 jam 58 menit. Terdapat 10 eksil yang berkisah tentang pengalaman, perjalanan hidup dan pengharapan keadilan atas kejahatan yang telah mereka alami.
Tayang perdana pada tahun 2022 dalam kompetisi Jogja Asian Film Festival (JAFF), Eksil mendapat penghargaan sebagai film Indonesia terbaik. Selanjutnya, pada Festival Film Indonesia, Eksil meraih Piala Citra kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik tahun 2023.
Sayangnya, penayangan film Eksil dicekal di Samarinda. Upaya pencekalan ini dilakukan oleh pihak kepolisian karena terdapat dinamika pilpres pasca film Dirty Vote ditayangkan sebelum hari pencoblosan. Di sisi lain, Eksil memang hanya tayang di beberapa bioskop, sehingga kesempatan untuk menonton film dokumenter ini menjadi terbatas. Minimnya jam tayang tersebut membuat beberapa penonton di sejumlah daerah kesulitan mengakses film dokumenter yang membahas nasib para eksil ini.
Jika ada kesempatan dan keluangan, sempatkanlah menonton Eksil. Mungkin saja, film ini dapat membuka sedikit pengetahuan dan membagi pengalaman para korban kekerasan HAM saat rezim orde baru.
Menjadi Eksil
Presiden Soekarno pada tahun 1960 membuka program beasiswa dengan tajuk “Beasiswa Ikatan Dinas”. Program tersebut memberi kesempatan muda-mudi Indonesia belajar di luar negeri dengan harapan dapat berkontribusi membangun negara setelah kembali ke tanah air.
Eksil, dalam film, merupakan orang-orang yang disekolahkan ke luar negeri oleh Presiden Soekarno, tetapi tidak diperbolehkan pulang pasca terjadi peristiwa G30S-PKI. Meletusnya konflik politik antara ABRI dan PKI pada saat itu memberi dampak buruk bagi mahasiswa yang bersekolah di negara komunis seperti Cina dan Rusia.
Konflik politik tahun 1965–1966 itu mengantarkan mereka pada suatu kondisi “kehilangan identitas kewarganegaraannya”. Paspor mereka dicabut begitu saja lantaran menolak menandatangani surat yang mengutuk Soekarno. Mereka beranggapan bahwa Soekarno lah yang memberikan mereka kesempatan untuk bersekolah, tetapi kenapa harus mengutuknya tanpa mengetahui kebenarannya?
Sementara itu, kehidupan mesti berlanjut. Mereka yang terasing di dunia ini tanpa status kewarganegaraan yang jelas juga perlu mencari cara untuk bertahan hidup. Mereka mencari penghidupan dan perlindungan.Bahkan jika harus menanti puluhan tahun hingga keruntuhan orde baru terjadi dengan harapan mendapat status kewarganegaraan, meski bukan kewarganegaraan Indonesia.
Sebagian dari mereka mendapat pengakuan kewarganegaraan di beberapa negara seperti Belanda, Jerman, dan Swedia. Belanda menjadi salah satu negara paling dicari oleh para eksil sebab pengakuan kewarganegaraan diberikan dengan mudah. Belanda menganggap orang-orang indonesia yang lahir sebelum tahun 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda. Sementara sebagian yang lain mendapatkan status kewarganegaraan dari negara yang menjunjung tinggi HAM.
Orde Baru: Penindasan Pengetahuan dan Kemanusiaan
Tentu saja, setelah menonton film Eksil banyak renungan yang bermunculan di kepala. Salah satunya tentang bagaimana bisa seseorang yang berkuliah di negeri lain berdasarkan mandat pemerintah, tetapi dibayangi ketakutan—secara paksa—tidak diakui oleh pemerintahan selanjutnya.
Upaya Soeharto untuk menghilangkan identitas kewarganegaraan para eksil menjadi sebuah upaya kemunduran pengetahuan. Seperti hal nya yang termuat dalam Majalah Vice (30/9/2017) mengenai “Tragedi G30S Menghapus Satu Generasi Intelektual Indonesia.” Bayangkan saja, sekitar 1.500 mahasiswa yang dikirim oleh Soekarno untuk menjadi ahli malah gagal pulang. Sebabnya karena Soeharto takut dengan para intelektual yang pro dengan Bung Karno kembali membangun sistem pemerintahan ala Bung Karno.
Lantas, apakah penandatanganan surat pengutukan Soekarno dapat menjadi jaminan bahwa para eksil akan hidup dalam keamanan, sedangkan label komunis masih melekat pada diri mereka? Di sisi lain, TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang larangan ideologis juga masih diberlakukan. Tidak ada jaminan yang jelas dan hanya sekedar janji manis belaka.
Di samping itu, para eksil juga mengalami kesulitan berkomunikasi dengan keluarga. Bahkan, mereka menduga bahwa keluarganya sudah terbunuh. Jika tidak, mungkin sebagian dari mereka sudah berada di balik jeruji besi. Sedikit sekali kemungkinan untuk tetap hidup.
Chalik Hamid, salah seorang eksil, bercerita bahwa istrinya dimasukkan ke dalam penjara dengan kondisi mengandung karena diduga terlibat dalam gerakan PKI. Anaknya pun lahir di balik jeruji besi. Ia tidak bisa berbuat apapun karena sulitnya kembali ke Indonesia. Akhirnya ia merelakan istrinya dinikahi oleh seorang kawan untuk menjaga mereka dari kesulitan ekonomi yang mendera.
Lalu Asahan Aidit, dalam ceritanya, mendapatkan perlakuan intimidatif dari seseorang yang memata-mematai dia dan istrinya. Kala itu mereka sedang menikmati pantai di kampung halaman sendiri. Mereka terdaftar sebagai warga negara asing yang sedang berlibur. Namun, Ia tetap mendapat desakan dari keluarga untuk segera meninggalkan tempat tersebut karena dikhawatirkan akan terjadi huru hara yang besar di kampungnya.
Tom Iljas juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan Asahan Aidit. Ia kembali ke kampung halamannya untuk melihat suatu lahan perkebunan yang diduga menjadi kuburan massal korban kekerasan ‘65. Ia mencari keberadaan keluarganya, tetapi justru mendapatkan sebuah intimidasi dari pihak kepolisian setempat.
Hingga Kini Tak Ada Kejelasan
Hingga saat ini, masih belum ada kejelasan terhadap para eksil yang menjadi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Sangat menyedihkan jika mengingat hanya sebatas 39 eksil yang dinyatakan bukan pengkhianat negara. Hal ini, secara tersirat, mengindikasikan bahwa orang-orang yang telah meninggal atau orang yang tidak termasuk 39 itu masih disebut pengkhianat, sesuai dengan laporan BBCNews (04/45/2023)
Pemerintah tidak pernah menghapus TAP MPRS nomor 25 Tahun 1966 tentang larangan berideologi. Tidak ada pula upaya pemerintah menyelesaikan persoalan para eksil secara yudisial. Upaya yang dilakukan hanya sebatas non-yudisial.
Menurut Ilham Aidit, anak dari DN. Aidit, upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintah belum memenuhi prasyarat. Pemerintah belum melakukan 4 tahap rekonsiliasi, yakni pertama pengakuan, ke dua pengungkapan fakta-fakta, ke tiga penyesalan di hadapan publik, dan ke empat rehabilitasi, rekonsiliasi dan restitusi. Pemerintah belum membuka fakta-fakta kebenaran yang terjadi terkait peristiwa G30S-PKI, sehingga kita tidak pernah tahu siapa dalang sesungguhnya. Hingga kini kejelasan belum dapat diketahui.
Ghifari Fadhli
Editor : Annisa Fitriana