Ekspresionline.com—Paul Pogba merayakan golnya dengan melakukan Billy Dance. Mohamed Salah merayakan golnya dengan bersujud di atas rumput hijau. Orang Tionghoa merayakan Imlek dengan berbagi angpau berisi uang-uang. Dan orang-orang di Gunungkidul merayakan hasil panen dengan adat rasulan. Itu semua tentang kebahagiaan, tetapi bagaimana cara yang tepat untuk merayakan kesedihan?
Barangkali ada banyak opsi: minum sebotol Jack Daniel’s nomor 27 tanpa koktail, menenggak soju, mengisap beberapa batang rokok, pergi ke warung kopi, atau malah menyuntikkan novacaine ke dalam tubuh. Sungguh semua itu tak akan mengobati kesedihan, dan tak ada cara yang benar-benar tepat untuk merayakan kesedihan. Kau harusnya tahu bahwa kesedihan bukan untuk dirayakan.
Setiap manusia begitu dekat dengan kesedihan, dan Erich Fromm benar-benar memahami itu. Katanya, “Ini problem eksistensial.” Kita lahir tanpa kesepakatan untuk dilahirkan dan kita mati tanpa sepakat kapan kita akan mati. Maka kehilangan adalah niscaya dan abadi adalah fana. Bukankah kesedihan hanya melulu soal kehilangan?
Fromm lahir di Frankfurt pada 23 Maret 1900 dari keluarga yang tak baik-baik amat. Ayahnya seorang yang murung dan ibunya menderita depresi. Menginjak usia ke-12, Fromm mendapat dua peristiwa yang begitu memengaruhi hidupnya. Ia terkejut saat mendengar perempuan muda yang masih bersahabat dengan keluarganya ditemukan tewas bunuh diri. Perempuan tadi adalah seorang seniman yang berbakat, bagaimana ia bisa memutuskan untuk bunuh diri sementara ia terlihat memiliki segalanya untuk hidup?
Peristiwa lainnya adalah Perang Dunia Pertama. Di kala seusianya kita disibukkan dengan berjualan bolpoin di kelas, menggoda perempuan lewat BBM, dan mencopot karburator mesin motor agar suaranya keren, Fromm disuguhi dengan Perang Dunia. Ia berpikir, bagaimana mungkin orang yang biasanya bertindak rasional tiba-tiba saling membunuh secara brutal? Itulah yang membuatnya tertarik dengan psikologi dan akhirnya berfokus pada psikologi sosial.
Lantas, jika semua manusia punya problem eksistensial berupa kehilangan, bagaimana cara mengobatinya? Fromm menawarkan jawaban yang elegan: cinta. Kata ini begitu akrab dengan kita, pula—kurasa—kata ini menawarkan apa pun soal kedamaian. Dengan cinta, seorang bayi mungil bisa tumbuh dewasa menjadi dokter yang hebat. Dan dengan cinta pula, kita bisa minum segelas teh hangat di pagi hari tanpa mendengar dentuman AK-47. Namun, cinta macam apa yang bisa jadi obat? Bukankah cinta terlalu abstrak untuk didefinisikan? Memang, dan Fromm mampu mendefinisikannya dengan analogi-analogi yang masuk akal.
Cinta Ibarat Seni
Erich Fromm berpikir bahwa cinta bukanlah soal objek, tetapi yang banyak bersarang di kepala orang-orang modern adalah melulu pertanyaan-pertanyaan retoris: siapa yang harus aku cintai? Ini bukan hanya berlaku bagi para lajang, tetapi juga untuk orang-orang yang sudah terikat pernikahan.
Coba pikirkan, mengapa ada begitu banyak manusia yang mencintai agama ini tetapi amat membenci manusia yang menganut agama lain? Mengapa ada manusia yang mencintai orang-orang dari negara ini tetapi begitu membenci orang-orang dari negara lain? Bukankah sebelum proses memilih mana yang akan mereka cintai selalu muncul pertanyaan seperti tadi: siapa yang akan aku cintai? Lagi-lagi soal objek. Cinta yang seperti itu tidak akan pernah mengobati problem eksistensial manusia. Yang ada hanyalah kerunyaman.
Bagi Fromm, cinta itu seperti seni. Jika kau mau jadi seniman patung, yang pertama kali harus kau lakukan adalah belajar soal seni patung, bukan malah mencari objek yang akan kau jadikan model patung. Jika kau sibuk mencari objek apa-apa yang akan kau jadikan model patung, maka kau tak akan pernah membuat patung yang berkualitas. Namun sebaliknya, jika kau sibuk belajar membuat patung, maka sejelek apa pun objek yang kau jadikan model patung, kemungkinannya menjadi patung yang berkualitas jauh lebih besar.
Begitu pula cinta, ketika seseorang masih pilih-pilih soal siapa yang akan mereka cintai, maka mereka tidak akan mendapatkan apa pun selain kefanaan. Sebaliknya jika orang-orang sibuk dengan belajar cara-cara mencintai, maka orang-orang akan memiliki karakter pencinta. Dan karakter inilah yang mempu menjadi obat dari problem eksistensial manusia.
Untuk menjadi orang dengan karakter pencinta, Fromm mengajukan dua langkah: Pertama, belajar teorinya. Kedua, praktikkan!
Karakter Cinta Orang Modern
Ini adalah teori cinta dan mari mencoba untuk melihat lebih dalam mengenai mode manusia. Bandingkan mode beberapa waktu yang lalu dengan manusia saat ini. Wanita Jawa masa Kerajaan Majapahit biasa menggunakan kemban dalam kehidupan sehari-hari, tetapi coba tengok sekarang, masihkah? Yang ada adalah wanita dengan pakaian-pakaian terkini dan perbedaannya begitu kontras. Mengapa perubahan seperti ini bisa terjadi? Tentu saja, tiap mode yang berkembang tak bisa dilepaskan dari budaya yang berlaku.
Begitu pula dengan karakter manusia. Fromm berpendapat bahwa karakter bisa berubah selaras dengan budaya yang berkembang. Beberapa ratus tahun yang lalu kita akan kesulitan untuk menemukan orang yang mau meminjamkan hartanya. Alih-alih meminjam, mereka lebih suka menimbun harta.
Beratus-ratus tahun kemudian, Adam Smith–ekonom asal Skotlandia—membikin petuah yang luar biasa. Begini kira-kira: “Kalau seorang petani atau peternak atau penjahit punya cukup banyak untung dan kebutuhannya bisa terpenuhi dan keuntungannya masih tersisa, ia bisa menggunakan sisanya untuk mengangkat karyawan. Dengan melakukan itu, keuntungan akan berlipat ganda dan dia akan membantu orang lain untuk mendapatkan pekerjaan.”
Petuah dari Adam Smith sungguh luar biasa bagi orang zaman dulu yang lebih suka menimbun harta. Berawal dari petuah tersebut, orang-orang mulai berlomba-lomba untuk memutar uangnya menjadi modal. Dan sekarang kita mengenal sistem tersebut dengan nama kapitalisme.
Sistem ini memungkinkan budaya pasar bebas dan menawarkan kebebasan. Orang-orang menganggap segala sesuatu sebagai objek komoditas dan seperti yang kita rasakan saat ini: segala sesuatu dapat dibeli dengan uang. Segendang sepenarian dengan budaya pasar yang berlaku saat ini, Fromm juga turut memetakan perubahan karakter orang-orang dalam mencintai. Ia membaginya menjadi empat tipe:
Pertama, tipe reseptif. Orang yang mempunyai karakter ini cenderung hanya mau menerima sesuatu dari pihak lain dan tak mau memberi. Kedua, tipe eksploitatif. Jika tipe reseptif hanya mau menerima, maka karakter eksploitatif ini lebih parah. Tujuan hidupnya hanya untuk mengeksploitasi orang lain. Ketiga, tipe penimbun. Ia adalah tipe orang yang menimbun segala macam yang ia dapatkan. Apabila kehilangan apa yang dimilikinya, maka dia akan begitu mudah hancur. Keempat, tipe pemasaran. Orang-orang dengan tipe ini selalu melihat timbal balik. Jika ia memberi sesuatu kepada orang lain, ia akan selalu mempertimbangkan apa manfaat yang akan didapatkannya.
Kondisi macam inilah yang menjadi dasar-dasar karakter manusia modern. Kita begitu mudah menemukan contoh: lulusan S1 mencari istri yang sama-sama S1, lulusan S2 mencari yang sama-sama S2. Orang kaya mencari jodoh yang kaya pula. Segala sesuatu, bahkan dalam hal percintaan, dilihat dari timbal balik yang akan didapatkan. Perjaka mencari perawan, dan enggan dengan yang tak perawan—tentu saja definisinya berdasar konstruksi sosial yang berlaku.
Cinta itu Soal Memberi
Berangkat dari pertanyaan “siapa yang harus aku cintai?” dapat menunjukkan karakter seseorang yang berorientasi untuk memiliki. Orang dengan karakter macam ini jamak kita temui, sebab sistem yang berlaku di masyarakat saat ini adalah sistem yang mengafirmasi kepemilikan. Segala sesuatu dianggap sebagai objek yang dapat dimiliki, bahkan manusia.
Dalam To Have or To Be, Fromm mengungkapkan gagasannya dan menolak terang-terangan tentang orientasi hidup untuk memiliki. Masyarakat yang dibangun dari orientasi untuk memiliki dalam jumlah lebih banyak akan memunculkan karakter yang egois dan mengerikan. Bayangkan saja dunia ini adalah kue apam dan orang-orang di dalamnya saling berebut untuk mendapatkan potongan yang paling banyak. Konsekuensinya jelas: akan selalu ada jurang antara yang kaya dan yang miskin. Dan selama masyarakat masih berorientasi untuk memiliki, selama itu pula jurang kemiskinan dan kekayaan tak akan terjembatani.
Sungguh, ini bukan gagasan anarkisme yang menolak kepemilikan pribadi. Memiliki dalam kadar tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah hal yang amat wajar. Namun, bukan sistem seperti itu yang berlaku saat ini. Rumusnya adalah kau harus punya harta lebih banyak dari yang lain.
Coba ubah kue apam tadi menjadi minyak bumi atau sumber daya alam lain, maka yang terjadi di dunia ini adalah peperangan demi peperangan. Ya, perang atau konflik apa pun selalu berawal dari orientasi seseorang untuk memiliki. Dan selama orang-orang masih berorientasi hidup untuk memiliki, selama itu pula problem eksistensi manusia tak akan terobati. Sebab segala sesuatu diukur dari apa yang orang-orang miliki, dan kepemilikan bisa hilang kapan pun.
Cinta, kata Fromm, adalah soal memberi. Cinta yang dapat mengobati adalah cinta yang tak memandang siapa yang akan dicintai. Tak perlu ada pertanyaan, “Siapa yang harus aku cintai?”, sebab kita bisa mencintai semuanya dan itu diwujudkan dengan memberi. Dan memberi tak melulu soal materi, bahkan memberikan senyuman, penghormatan, penghargaan adalah hal-hal kecil yang bisa memberikan kebahagiaan.
Objek Cinta yang Mengobati
Karena sifat manusia yang masih suka pilih-pilih dalam hal mencintai, Fromm lantas menganjurkan kepada kita untuk mempraktikkan cinta kepada lima hal. Mencintai lima hal ini, menjauhkan kita dari problem eksistensial manusia: keterasingan.
Pertama, cinta persaudaraan. Ini adalah cinta antar umat manusia. Harusnya kita tak pandang bulu dalam mencintai. Apa bedanya orang Islam dengan penganut Buddha? Apa bedanya NU dan Muhammadiyah? Apa bedanya pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi? Apa bedanya orang Papua dengan orang Jawa? Kita semua sama-sama manusia dan mengapa kita harus pilih-pilih? Mengapa harus saling berkonflik? Ketika semua manusia bisa mencintai manusia lain, maka cinta akan menjadi obat yang mujarab.
Kedua, cinta ibu. Cinta model ini adalah tingkat tertinggi dalam kasta percintaan. Cinta ibu kepada anak merupakan cinta seseorang yang tersakiti. Si ibu harus merawat dan membesarkan anaknya dan si anak yang berasal dari tubuhnya harus rela dilepas saat dewasa, sebab anak juga harus menjadi manusia yang seutuhnya. Barangkali ini yang membuat banyak orang tua kesepian di masa tuanya. Bagaimanapun, seorang anak harus tumbuh menjadi manusia sejati.
Ketiga, cinta erotis. Ini adalah kebalikan dari cinta ibu. Jika cinta seorang ibu digambarkan sebagai seseorang dari tubuh yang sama dan harus terpisah di masa depan, maka cinta erotis adalah dua orang terpisah yang ingin menyatu. Cinta ini dipraktikkan dalam pernikahan, ketika dua orang yang mulanya tak saling mengenal menjadi lebur satu sama lain.
Keempat, cinta diri. Apakah mencintai diri sendiri itu penting? Jelas penting. Orang yang tak mampu mencintai dirinya sendiri adalah orang yang terjebak dalam eksploitasi orang lain. Mencintai diri sendiri bukan berarti egois, atau sebentuk narsisisme seperti yang digambarkan oleh Sigmund Freud. Mencintai diri dimaknai sebagai mencintai semua manusia. Karena diri kita termasuk manusia, maka penting pula untuk mencintai diri sendiri.
Kelima, cinta kepada tuhan. Mencintai tuhan itu penting. Dengan mencintai tuhan, kita menjadi tidak terasing. Dekat dengan tuhan menjauhkan kita dari berbagai keterasingan, salah satunya ketakutan tentang kematian. Orang yang mencintai tuhan tak akan takut dengan kematian. Begitu pula, orang yang mencintai tuhan tentu akan mencintai dan tak akan mengusik ciptaan-Nya.
Jika lima hal tadi telah bisa kita lakukan, maka sungguh damai dunia ini.
Cinta yang Sempit
Erich Fromm pernah belajar mengenai mazhab Frankfurt, dan barangkali pemikirannya pula yang mengilhami Jürgen Habermas untuk mengklasifikasikan hubungan manusia di bumi ini. Habermas membagi hubungan manusia menjadi tiga jenis:
Pertama, hubungan manusia dengan alam. Ini adalah hubungan antara benda yang memiliki akal dan yang tak memiliki akal. Sebagai contoh ialah manusia dengan pohon, manusia dengan ayam, manusia dengan batu, dan sebagainya. Kedua, hubungan manusia dengan sesama manusia. Ini adalah hubungan dua objek yang sama-sama memiliki akal. Serta yang ketiga, hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Ini adalah hubungan antara akal dengan nuraninya. Sebagai contoh adalah mencintai, memaafkan, dan membenci.
Dari tiga hubungan tersebut, orang-orang yang berorientasi hidup untuk memiliki menggunakan cara berpikir yang sama dalam tiap hubungan. Sifatnya manipulatif. Seperti manusia yang mengeksploitasi alam untuk kepentingannya, begitu juga manusia mengeksploitasi manusia untuk kepentingannya. Yang terjadi adalah orang-orang saling mengeksploitasi satu sama lain. Yang menang akan kuat dan yang kalah akan tertindas.
Pola-pola macam ini bahkan dapat ditemui dalam rumah tangga. Orang yang berorientasi hidup untuk memiliki akan menganggap anak-anak sebagai objek kepemilikan. Yang terjadi selanjutnya adalah para orang tua memanfaatkan anak-anaknya untuk kepentingannya. Semisal mengarahkan si anak agar menjadi dokter agar dapat penghasilan yang banyak.
Orang yang benar-benar mencintai tak akan bertindak seperti itu. Alih-alih mendorong anak menjadi dokter, ayah yang berkarakter pencinta akan mendorong istri dan anak-anaknya sesuai dengan minatnya. Ia akan membiarkan anak dan istrinya berkembang.
Apa bedanya dengan dua contoh tadi? Perlakuannya. Orang yang berkarakter pencinta tidak akan pernah menganggap yang lain sebagai benda mati, melainkan entitas hidup yang dapat berkembang. Begitulah, cinta yang baik bukanlah cinta yang mengarahkan seseorang untuk jadi ini itu, melainkan cinta yang membiarkan orang tercinta untuk berkembang sesuai dengan potensinya. Soal cinta, Erich Fromm adalah panutan. Ia tidak menye-menye.
Rofi Ali Majid
Editor: Fiorentina Refani