Ekspresionline.com—“Lagi pula, ruh perjalanan ini adalah jurnalisme. To give voice to the voiceless,” kata Farid Gaban pada 8 Maret 2011 di Sekretariat Aliansi Jurnalis Jakarta. Saat itu, sembilan tahun yang lalu, Farid dan rekannya, Ahmad Yunus, baru saja menyelesaikan perjalanan keliling Indonesia selama satu tahun.
“Ruh” yang dimaksud Farid itu ia pegang selama menjadi jurnalis. Mendengar apa yang selama ini tak kedengaran membuatnya—secara tak langsung—kembali ke tanah kelahirannya, Wonosobo. Ia melihat perlunya pembangunan tingkat lokal. “Di Jakarta saya tak bisa apa-apa, saya kembali ke lokal untuk melakukan hal-hal konkret,” katanya pada Ekspresi.
Farid Gaban bukan nama yang asing di dunia jurnalisme Indonesia. Ia telah lama menggeluti profesi sebagai jurnalis: dua puluh lima tahun hidupnya. Ia tercatat menjadi jurnalis di beberapa media seperti Majalah Tempo, Majalah Editor, hingga Republika.
Selepas pensiun, ia tak lantas berpaling dari pekerjaan yang ia lakukan selama 25 tahun. Ia masih giat menulis. Belakangan, Farid disomasi oleh kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Muannas Alaidid, karena tulisannya di media sosial Twitter. Tulisan itu ialah kritik Farid atas kebijakan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki. Padahal, Teten Masduki, orang yang dikritik, menganggap tulisan tersebut sebagai hal yang wajar. Ia juga mengaku tak tahu menahu mengenai somasi terhadap Farid.
Reporter Ekspresi, Rizal Amril, menemui Farid di kediamannya di bilangan Kalianget, Wonosobo pada Senin lalu (17/08/2020). Wajahnya tak banyak berubah dari foto-foto yang jamak ditemui di mesin peramban. Tubuhnya kurus, rambutnya lurus pendek. Mimik mukanya serius. Umurnya kini hampir menginjak kelapa enam—satu tahun lagi. Meski demikian, Farid masih menyiratkan kegesitan, ia bicara dengan nada yang mantap dan cepat.
Halaman rumahnya banyak ditanami tanaman obat. Ia menamainya sebagai kebun Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Saat wawancara berlangsung, ia juga menyatakan bahwa Indonesia memiliki kekayaan hayati berupa tanaman herbal yang jarang dilirik. “[kondisi kita] tentang obat aja kan ironis. Kita punya tujuh ribu jenis tanaman herbal dan rempah, tapi 95% bahan baku obat kita impor,” katanya.
Siang itu, Farid membagikan pendapatnya mengenai ketimpangan yang ia temui saat mengelilingi Indonesia juga pertanian dan perikanan yang kian termarjinalkan. Selain itu, pendiri Geotimes itu juga bicara perihal bahaya RUU Omnibus Law dan kesalahan orientasi pembangunan nasional.
Kalau perjalanannya Che mengelilingi Amerika Latin mengubah perspektifnya soal Amerika Latin. Setelah anda melakukan perjalanan mengelilingi Indonesia pada 2010 silam, apakah anda juga mengalami perubahan perspektif?
Ada, walaupun tidak bisa disamakan dengan Che ya. Maksud saya begini, karena pekerjaan saya wartawan, saya jadi banyak baca. Jadi secara umum saya memahami Indonesia dari bacaan—hampir semua dari kita lah saya kira, dari sekolah, dari bacaan—bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar, yang jarang bisa kita bayangkan sebenarnya.
Ketika saya keliling, itu sebenarnya sebagian mengonfirmasi, artinya menegaskan apa yang sudah saya baca. Akan tetapi, di sisi lain, sebenarnya juga memunculkan satu pemikiran baru, Indonesia ini kan negara besar, sebenarnya kaya dari sisi alam dan segala macam, tapi kita punya problem besar. Ada kemiskinan, ada kerusakan alam juga. Jadi saya berpikir, kita harus mulai dari tingkat lokal, itu sebabnya saya lama di Jakarta, saya terus memutuskan pulang.
Sebenernya kita tetep pengen punya pemikiran luas tentang Indonesia, tapi yang kita lakukan adalah hal-hal yang lebih konkret. Kita enggak bisa melakukan ini di Jakarta, secara nasional. Kita melakukan ini harus di tingkat lokal.
Misalnya, kita peduli dengan kerusakan alam global, global warming, enggak banyak yang bisa kita lakukan kalau kita ada di awang-awang. Kita harus melakukan itu di level lokal. Di level lokal itu ya seperti apa yang saya lakukan sekarang.
Jadi itu perubahan yang menurut saya cukup ini [besar] setelah saya keliling Indonesia. [Perubahan itu] karena saya melihat banyak konsep pembangunan kita keliru sebenarnya. Orientasinya melulu pada ekonomi, infrastruktur fisik, tapi sebenarnya tidak mengembangkan kesejahteraan secara menyeluruh.
Kita salah sebenernya, arah kita. Ketika saya keliling Indonesia sebagian mengonfirmasi di mana salahnya kira-kira. Tadi, orientasi yang terlalu materialistik, infrastruktur yang terlalu fisik, kita terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi, kita enggak melihat dampak sosial, dampak lingkungan, dan segala macem.
Itulah yang membuat saya makin yakin bahwa kita harus mengoreksi itu. Cuman gimana caranya mengoreksi? Ya kita harus kembali ke lokal. Lokal itu melihat daerah masing-masing dan apa yang bisa kita lakukan. Kira-kira begitu.
Memangnya Jakarta enggak bisa mengubah yang di lokal-lokal itu?
Ketika saya di Jakarta, enggak banyak yang bisa saya lakukan. Apa yang bisa kita lakukan di Jakarta? Paling cuman nulis, mengkritik, mengadvokasi, tapi hal-hal konkret itu enggak bisa kita lakukan.
Ketika anda keliling Indonesia, apakah anda melihat banyak sekali kesenjangan, entah kesenjangan ekonomi ataupun sosial?
Ya itu terjadi. Itu bahkan sebelum saya keliling saya sudah banyak baca soal itu. Jadi yang di lapangan itu cuma mengonfirmasi aja. Jadi membenarkan apa yang saya tanya.
Berarti perspektif anda tentang kesenjangan itu semakin tebal?
Iya, semakin tebal. Kesenjangan kerusakan alam. Itu tadi yang saya bilang, orientasi kita yang terlalu fisik, materialistik itu yang terjadi.
Anda melihat pembangunan seharusnya ke arah mana?
Menurut saya pembangunan itu harus holistik. Jadi yang pertama kesejahteraan manusia dan kesejahteraan manusia itu tidak hanya diukur dari uang. Uang [yang kita punya] pun enggak banyak, gitu lho. Kemiskinan kita masih terjadi. Tapi yang lebih penting misalnya, akses masyarakat terhadap air, terhadap layanan kesehatan, terhadap pangan.
Ini kalau di dalam kajian pembangunan, selama ini pemerintah dan para ekonom menonjolkan pada pertumbuhan GDP [Gross Domestic Product, di Indonesia disebut Produk Domestik Bruto]. Akan tetapi, sebenarnya ada ukuran lain, namanya Indeks Pembangunan Manusia. Jadi kalau GDP lebih banyak dipromosikan oleh World Bank dan IMF, kalau Indeks Pembangunan Manusia itu artinya mengukur tidak hanya ekonomi, tapi juga parameter atau indikator sosioal, lingkungan, dan segala macem. Itu namanya Indeks Pembangunan Manusia, Human Development Index.
Setiap tahun itu ada laporannya, dan ranking Indonesia itu 111. Enggak pernah kita masuk 100 besar. Di sisi lain, kita bangga bahwa pertumbuhan ekonomi kita 5%, tapi enggak ada artinya itu kalau [terhadap] Indeks Pembangunan Manusia. Itu kan artinya mengukur tentang kualitas manusia; akses terhadap pendidikan, akses terhadap kesehatan, akses terhadap air yang artinya itu lingkungan. Kalau hutan kita rusak, sumber air kita hilang, nah, semacam itu kan percuma.
Beberapa tahun setelah anda melakukan perjalanan, Dandhy Laksono dan Suparta Arz melakukan hal yang sama. Apakah anda melihat ada perubahan di Indonesia sejak anda melakukan perjalanan keliling Indonesia?
Kalau di aspek pembangunan infrastruktur fisik, kita mengalami perbaikan. Maksudnya perbaikan bahwa infrastruktur fisik lebih banyak dibangun di beberapa tahun terakhir daripada dibanding 10 tahun yang lalu. Tapi dari sisi kerusakan alam dan dari sisi ketimpangan kita makin mundur. Jalan tol sekarang jauh lebih banyak dibanding yang dulu, tapi apa artinya buat masyarakat?
Nah, ketika Dandhy lima tahun setelah saya, kita punya cara berpikir yang sama kira-kira. Jadi yang harus dipromosikan itu pembangunan yang tanpa merusak alam, selaras dengan alam, peduli dengan sosial, keragaman hayati maupun keragaman budaya, tradisi dan segala macem.
Kalau kita lihat, film-film Dandhy [film-film Ekspedisi Indonesia Biru] tentang suku-suku tradisional. Dari sisi itu, kita sebenarnya, secara umum, semakin buruk, karena suku-suku tradisional ini makin terdesak. Cara berpikir mereka, termasuk alam mereka rusak. Orang-orang di Dayak misalnya, mereka terdesak oleh ekspansi sawit; di Kendeng, Samin—Dandhy kan nulis juga [tentang Samin]—tedesak oleh pabrik semen; di Papua juga sawit. Jadi kita, kalau mau disebut sukses, infrastruktur fisiknya kita bertambah. Tapi kualitas alam dan kualitas manusianya menurut saya justru semakin mundur.
Itu juga berlaku bagi kelautan?
Sama, kita baik di darat maupun di laut punya problem besar. Petani dan nelayan tu makin parah, menurut saya.
Saya pernah membaca, anda bilang kalau kelautan Indonesia itu sudah lama terabaikan. Tapi Jokowi pernah mencanangkan poros maritim, itu apakah berpengaruh kalau anda meilhat?
Yang saya lihat dari gagasan poros maritim, menurut saya sebagian besar masih gagasan. Ada realisasi misalnya dia bikin tol laut ya, tapi tol laut itu menurut saya enggak banyak gunanya. Karena itu cuman bikin kapal cepat dari satu pulau ke pulau yang lain, misalnya di Sangihe itu. Dulu itu kita perlu 10 jam dari Manado sampai Sangihe, sekarang hanya empat jam. Tapi orang enggak bisa berlayar karena mahal dan itu diserahkan pada swasta.
Jadi sebenarnya enggak banyak gunanya. Buktinya, dulu Pak Jokowi bilang bahwa dengan tol laut harga daging akan turun, karena [daging didatangkan dari] dari Nusa Tenggara Barat. Sampai sekarang enggak terjadi. Jadi koneksi laut itu tidak mengalami perubahan signifikan. Ya ada perbaikan di sana sini tapi tidak signifikan.
Kemudian soal pertanian. Saya sempat baca di Facebook anda soal GDP, anda bilang kalau ini salah, landasan perekonomian kita seharusnya pertanian.
Pertanian dan perikanan lah, kalau di daerah pesisir kan perikanan.
Potensi apa yang anda lihat dari pertanian dan perikanan?
Kalau menurut saya, ya itu, kesadaran saya juga hadir setelah keliling Indonesia ya. Kekayaan terbesar kita itu ada pada keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati itu pohon, salah satunya. Itu enggak hanya pohon besar ya, pohon-pohon kecil, rempah. Kenapa dulu kita dijajah oleh orang Eropa? Rempah. Itu kekayaan kita yang terbesar. Kekayaan terbesar kita bukan Freeport, bukan emas, bukan batu bara.
Kemudian laut, itu juga kekayaan kita. Dua pertiga wilayah kita kan laut. Karena saya menyelam, saya tahu persis. Itu kan potensi biota laut itu besar banget. Misalnya kayak di Natuna aja itu, salah satu pusat perikanan kita, setiap tahun itu 1,5 juta ton produksi ikan tangkap. Itukan sumber daya yang bahkan kita enggak harus memelihara ikan.
Sama seperti hutan kita. Hutan kita tidak hanya pohon, tapi juga semua jenis tanaman. Kita punya 30 ribu jenis tanaman, kita punya tujuh ribu jenis herbal dan rempah yang sudah kita ketahui. Banyak yang belum kita ketahui. Karena riset kita tentang itu kan juga enggak efektif. Dari tujuh ribu herbal dan rempah itu, 150 bisa diolah menjadi minyak atsiri, atau disuling ya, itu mahal harganya. Itu bahan baku untuk pangan, obat, kemudian kosmetika. Jadi dengan jumlah penduduk dunia yang makin banyak, yang seperti itu akan dibutuhkan.
[Kondisi kita] tentang obat aja kan ironis, kita punya tujuh ribu jenis tanaman herbal dan rempah, tapi 95% bahan baku obat kita impor. Artinya kan kita enggak melihat potensi sendiri. Itu baru satu soal. Bahkan beras pun kita impor, bawang putih kita impor hampir 90%, padahal kita punya.
Makanya kalau saya kita kembali ke yang kita punya. Jangan berpikir dulu yang ndakik-ndakik, four point o [mengacu pada istilah “revolusi industri 4.0” yang kerap diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir] dan sebagainya.
Tapi apakah negara tidak melihat ini, kekayaan hayati yang sebegitu besar?
Gini, saya ragu kalau mereka enggak melihat. Tapi buktinya enggak ada satu strategi atau kebijakan yang konkret. Pertanian kita semakin mundur dari hari ke hari. Jumlah petani kita sekarang ini memang terbilang besar. Pertanian masih merupakan lapangan kerja terbesar, 35% angkatan kerja kita ada di pertanian, walaupun pekerja itu belum tentu kaya dan kemiskinan terus terjadi. Itu sebabnya jumlah petani makin turun. Satu juta orang tiap tahun itu hilang dari pertanian. Kalau kita sekarang keliling desa-desa, nyari petani itu sudah makin susah, itu artinya kita kemunduran.
Belum lagi karena kita dulu punya kebijakan yang keliru tentang pemakaian pupuk dan segala macem, lahan-lahan kita itu makin tidak subur. Sehingga biaya produksi makin tinggi, hamanya makin banyak, produktivitas kita turun. Lahan pertanian kita juga makin sempit. Jadi kalau rasio lahan pertanian perpenduduk itu kita bahkan kalah dari Vietnam, dari Thailand. Kita punya problem besar di pertanian, terus menerus mundur.
Sumbangan pertanian di GDP itu cuma 15%, artinya kan kecil, padahal potensinya sangat besar. Ngapain kita nerbitkan obligasi—obligasi itu surat utang, artinya kita berutang—sementara kita menyepelekan apa yang kita punya? Ya tadi, di laut, di darat dan segala macem. Kalau menurut saya kita harus mengubah orientasi itu. Kembali ke pertanian secara serius. Kembali ke perikanan rakyat secara serius. Berdayakan mereka, perkuat mereka.
Salah satu masalah di pertanian adalah regenerasi. 2013 saja hanya 30% petani di bawah 35 tahun…
Ya, makanya tadi saya bilang, jumlah petani makin hari makin sedikit.
Menurut anda mengapa hal tersebut terjadi?
Ya tadi, pertanian tidak menghasilkan, tidak membuat orang jadi sejahtera. Jadi kita punya basis ekonomi pertanian tapi petani enggak sejahtera. Nah, ini yang harus dipecahkan.
Kenapa enggak sejahtera? Pertama, [lahan pertanian] makin sempit. Kedua, bekerja sendiri-sendiri. Ketiga, lahan yang sudah tidak produktif dan rusak karena pupuk kimia. Itu kan kebijakan yang harus diubah. Tapi tidak ada perubahan. Tidak ada upaya serius untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Ketika petani lagi panen pemerintah impor, justru merusak, jadi pemerintah ikut merusak pertanian. Faktanya kita impor 90% bawang putih. Kan harusnya kita stop impor, kita bener-bener serius produksi bawang putih. Atau bahkan beras kita masih impor. Di sisi lain kita mengimpor gandum yang makin banyak, padahal kita enggak menanam gandum. Itu juga strategi yang keliru. Harusnya gandum ditutup, kita jangan mengimpor gandum, pakai sumber daya yang ada.
Jadi strategi pangan kita, strategi pertanian kita, salah. Itu yang harus dibenahi. Di mana-mana, di negara-negara yang ekonominya—sebutlah—maju ya, kemudian masuk ke industrialisasi, seperti Jepang atau Korea semua punya basis pertanian yang kuat. Mereka enggak akan berhasil membangun industri tanpa basis pertanian yang kuat. Sedangkan kita pengen ke industri dengan mengabaikan pertanian. Pertaniannya rusak, industrinya enggak dapet apa-apa.
Sampai sekarang coba kita lihat produk kita itu apa coba? Hampir semua barang kita impor. Jadi di industri kita enggak dapet apa-apa, di pertanian kita sudah rusak. Tapi menurut saya belum terlambat kalau kita mau mengubah kebijakan. Makanya tadi, serius kembali ke perikanan, ke pertanian rakyat. Bagaimana memperkuat petani dan nelayan. Termasuk menunjukkan bahwa menjadi petani itu bisa sejahtera. Sehingga generasi milenial akan melihat itu. Kalau kondisi sekarang, bisa dipahami kalau orang tidak mau jadi petani.
RUU Omnibus Law yang sekarang tengah disoroti, itu juga berdampak pada pertanian. Anda melihatnya seperti apa?
Jelas dampaknya secara tidak langsung, kerusakan alam. Omnibus itu mengancam kerusakan alam dan kalau alam kita rusak, pertanian kita juga akan rusak. Perikanan, pertanian, itu juga akan rusak. Kemudian juga alih lahan, seperti Pak Jokowi kemarin bilang, “Ini daerah Batang, investor kita kasih diskon untuk industri dan itu jangan dihalang-halangi.” Itu artinya apa? Lahan-lahan pertanian itu didiskon, diserahkan pada industri. Kan akan memundurkan pertanian. Belum yang di pesisir, ya kayak Batang, itu kan nelayan semua, yang sekarang protes besar nelayang dengan PLTU Batang. Itu meminggirkan.
Jadi obsesi pada investasi itu dibayar dengan mahal. Investasi perlu, tapi menurut saya bukan segalanya. Lagi-lagi kalau kita bicara modal, modal itu bukan cuma uang. Alam kita ini modal, keragaman hayati kita itu modal. Kita enggak hanya bicara pohon ya, termasuk juga cacing, serangga, mikroba, itu sumber daya alam juga.
Berarti Omnibus Law ini justru akan memarjinalkan pertanian dan perikanan?
Makin memarjinalkan. Alasan Omnibus itu kan supaya investasi masuk. Kita yang harus paham bahwa investasi masuk itu bukan gratis, ada sesuatu yang harus kita korbankan agar kita bisa menarik investor. Apa? Perlindungan terhadap alam, kalau [aturan perlindungan alam] susah kan investor kan enggak mau. Kalau mudah, investor mau. Tapi artinya apa? Kita mengorbankan alam.
Misalnya ini ada daerah resapan air. Nah, karena kita pengen investasi, lahan yang digunakan untuk sumber air kita gunakan untuk pabrik misalnya. Mudah kan? Investor mudah. Ya kayak tadi Pak Jokowi bilang, “Kalau perlu didiskon semua dari pantai Brebes sampai Batang.”
Jadi orang bicara investasi sekarang ini enggak bicara tentang apa yang harus kita bayarkan. Yang kedua, supaya lebih menarik, buruh harus bisa dikendalikan. Kalau enggak dikendalikan, mana mau investor masuk. Artinya ada yang dikorbankan gitu lho. Makanya menurut saya kita jangan bertumpu pada investasi. Kita bertumpu pada apa yang kita punya.
Mahfud MD atau orang-orang pendukung RUU Omnibus menyatakan, “ya silahkan ini masih RUU, kalau ada yang salah kita bisa perbaiki.” Menurut anda bagaimana?
Itu cuma lip service. Buktinya sampai sekarang dibahas terus dan ada enggak orang-orang yang mengkritik itu diundang ke DPR untuk memberikan masukan? Mereka malah membahas itu di masa pandemi, ketika orang enggak bisa beraktivitas normal. Jadi itu cuma lip service, cuma omongan doang.
Misalnya Komnas HAM. Komnas HAM kemarin mengeluarkan soal itu, kemudian ICEL [Indoneisan Center for Environmental Law], mereka melihat Omnibus ini akan bisa merusak [lingkungan]. Pernah enggak mereka diajak [membahas di DPR]? Yang dilakukan pemerintah malah bayarin buzzer. Jadikan enggak nyambung apa yang disebut Mahfud.
Seolah-olah pemerintah demokratis, enggak. Kalau bayar buzzer itu jelas enggak demokratis. Kalau memang mau berdialog, mengundang partisipasi enggak kayak gitu caranya. Undang orang-orang yang kritis untuk membicarakan hal itu secara terbuka. Belum tentu yang mengkritik benar, kita enggak merasa paling benar juga. Tapi suaranya didenger enggak? Gitu lho. Sejak awal, pemerintah sudah tertutup. Misalnya naskah akademisnnya, dibahas secara diam-diam. Dan sekarang dibahas saat pandemi. Itu udah enggak bener.
Menurut anda, bahaya utama dari Omnibus Law ini sendiri apa?
Ketika kita menarik investasi, kita harus mengorbankan banyak hal. Termasuk kedaulatan negara. Jadi untuk mendapatkan investasi, kita harus meliberalkan ekonomi kita. Itu sebabnya ada istilah deregulasi, liberalisasi, kemudahan berbisnis. Nah artinya apa? Peran pemerintah dalam melindungi masyarakat, dalam melindungi alam, berkurang kan, karena hal itu diserahkan pada swasta. Artinya diserahkan pada pemilik modal.
Artinya sebenarnya kedaulatan masyarakat yang harusnya dibela oleh negara, negara tidak ada di situ. Jadi kita enggak akan berdaulat.
Sekarang karena kita juga lagi memperingati kemerdekaan, apa sih yang disebut kedaulatan? Ya kalau pemerintah melindungi alam, melindungi masyarakatnya. Lha, ini kok malah pemerintah menyerahkan pada swasta. Karena Omnibus Law, itu sebagian besar disusun oleh lobi Kadin [Kamar Dagang dan Industri] dan Apindo [Asosiasi Pengusaha Indonesia], itu kelompok bisnis. Ini yang kita sebut sebagai kelompok oligarki.
Jadi DPR dan pemerintah, lebih mengakomodasi pengusaha-pengusaha itu, tidak berpikir tentang kepentingan masyarakat luas. Itu yang paling berbahaya dari Omnibus Law. Itu artinya ketimpangan kita ke depan makin besar, kemudian kerusakan alam makin besar. Pada akhirnya, yang kita harapkan dari pertumbuhan ekonomi enggak akan terjadi.
Tentang hubungan erat antara pemerintah dan oligarki hari ini, di RUU Omnibus Law terutama, untuk orang awam, bagaimana melihat hal itu?
Sekarang kita lihat saja bagaimana Omnibus Law disusun dan siapa yang melobi? Yang diajak bicara terutama Kadin dan Apindo. Artinya kan lebih ke pengusaha, pemilik modal. Bukan civil society. Itu jelas sekali kelihatan. Kalau betul-betul itu dimanfaatkan untuk kita semua, dari awal itu didiskusikan dengan lebih terbuka.
Kemarin Jokowi, dalam pidato kenegaraannya, menyatakan “Semua kebijakan harus mengedepankan ramah lingkungan dan perlindungan HAM,” anda melihat pernyataan itu seperti apa?
Ya itu ya sama, cuma lip service, cuma omong doang. Cuma bagus di mulut, tapi di realita enggak. Dia justru mendorong reklamasi pantai di Jakarta maupun di Benoa, itu merusak lingkungan. Jokowi enggak bicara soal bagaimana sawit merusak ekosistem. [Juga] Bagaimana batu bara merusak ekosistem. Ada yang diomongin lebih jelas soal itu? Itu [perkataan Jokowi] hanya omongan yang ngawang, “kita melindungi lingkungan”, tapi dia ngomong apa soal [lingkungan]?
Dia selalu ngomong soal investasi-investasi sejak petama kali jadi presiden, lima tahun yang lalu. Dan sepanjang periode pertama, sebelum Omnibus, pemerintah itu bikin 16 paket ekonomi. Itu sebenarnya liberalisasi ekonomi juga. Jadi Jokowi sudah memudahkan investor untuk berinvestasi itu sejak pertama ia jadi presiden. Selama lima tahun, [dihasilkan] 16 paket kemudahan berinvestasi. Salah satunya membolehkan sektor retail—eceran—dikuasai oleh pemodal besar, bahkan asing, sampai 100%. Tadinya ada aturan yang tidak memperbolehkan, Jokowi membolehkan.
Jadi kita makin liberal, dan itu sudah lima tahun yang lalu. Omnibus Law ini menambah lagi. termasuk dia bicara, “Agar mudah berinvestasi, AMDAL dihapus,” Itu kan Jokowi sendiri yang bilang. Gimana dia bisa bilang dia melindungi lingkungan? Jadi selalu kontradiktif dari apa yang dia omongkan dengan apa yang di lapangan. Itu problem besar dari pemerintah.
Saya sebenarnya dulu mendukung konsepnya dia; Nawacita, membangun dari pinggiran. Tapi menurut saya enggak dia lakukan. Itu sebabnya saya golput dua periode.
Ada juga narasi dari pendukung RUU ini bahwa benar RUU ini memudahkan pengusaha, tapi usaha secara keseluruhan, termasuk UKM. Apakah anda sepakat dengan ini?
Gimana anda bisa melihat UKM suruh bersaing sama usaha besar? Misalnya pengusaha mi di tingkat lokal suruh bersaing dengan Indofood, seperti apa? Harusnya kan melindungi UKM, membatasi yang besar, kalau memang mau pemerataan. Kalau itu dibiarkan pasar bebas, ya sudah pasti habis lah. Sekarang kita lihat apa yang dijual di Indomaret, hampir semuanya kan produk Unilever, Garudafood, ada enggak yang dari lokal?
Jadi statement itu mengandaikan bahwa di masyarakat sama kekuatannya, antara UKM dengan yang besar, padahal enggak.
Menurut anda, sebagai orang awam seperti saya, bagaimana untuk mencegah RUU ini bisa lolos?
Pertama, kalau sempet coba baca sendiri [draf RUU Omnibus Law] kalau sempet ya. Walaupun itu ya sulit karena orang awam. Kalau menurut saya, ikuti pandangan-pandangan beberapa lembaga yang sudah menstudi [mempelajari] itu, kayak Komnas HAM, Walhi. Nah, kalau yakin bahwa Omnibus itu merugikan, ya kita lawan. Kita lawan dengan cara kita, masing-masing kita, semampu kita.
Kalau enggak bisa ikut demo—ikut demo bagus juga, menurut saya [demo] akan makin besar, eskalasinya akan makin besar dan represinya akan makin besar—kita jangan netral, jangan hanya jadi penonton, paling enggak mendukung orang-orang yang menyuarakan protes itu.
Karena kalau saya melihat, di media sosial bahkan, kalangan menengah itu mengecam buruh yang demonstrasi, mengecam aktivis yang dikatan SJW (social justice warrior). Jadi yang bisa dilakukan ya mendukung aktivitas-aktivitas yang udah ada untuk menolak itu, bukan malah ikut mengecam mereka [penolak Omnibus], bukan malah memuji-muji pemerintah. Ya memang enggak boleh netral kalau udah kayak gini.
Menurut saya, pertama harus disadari dulu, kita harus mencari tahu, bener enggak sih Omnibus ini merugikan? Kalau kita yakin itu merugikan dan kita enggak bisa apa-apa, kita mendukung secara moral. Saya bisa paham enggak banyak orang bisa ikut penolakan. Sebelum pandemi saya kan ikut demonstrasi di Jogja, enggak semua orang bisa seperti itu dan emang enggak harus. Kalau enggak bisa ya jangan sinis sama gerakan-gerakan penolak Omnibus.
Kalau netral ya hanya jadi penonton. Ini [penolakan Omnibus Law adalah] pertempuran yang enggak seimbang, antara pemerintah dengan kelompok sipil. Enggak seimbangnya di mana? Pemerintah itu punya resources besar banget. Punya tim ahli, punya intelektual yang mendukung, punya uang, punya anggaran, punya polisi, punya tentara. Kalau kita netral, ya sudah pasti kalah.
Sering dibilang, “Kan bebas, kalau ada yang mengkritik, ya ada yang mendukung.” Dari sisi perspektif pribadi it’s okay. Saya punya banyak temen yang mendung [Omnibus Law] juga, tapi saya selalu siap untuk berargumentasi. Dan kalau mereka membela pemerintah, mereka harus sadar mereka memebela yang kuat. Itu namanya asymetric power. Pertempurannya kan tidak simetris. Mahasiswa itu paling cuman bisa duduk pakai poster dan segala macem, negara punya polisi, punya tentara yang dipakai untuk represi. Punya anggaran untuk bayarin buzzer. Kan enggak seimbang. Kalau kita netral ya pasti akan kalah.
Tentang represi, di aksi kemarin, ada yang ditangkap sampai 100 orang. Di Jogja juga terjadi represi juga. Menurut anda, bagaimana agar tetap bertahan melawan represi itu?
Ini sama seperti dulu orang mengira Soeharto tidak bisa dijatuhkan, atau gerakan dari bawah itu tidak bisa mengubah. Kalau menurut saya di situ ada faktor, di satu sisi kita harus terus menyuarakan sikap kritis kita, tapi juga jangan berharap itu jangka pendek. Itu pasti jangka panjang. Kalau kita jangka pendek kita pasti frustasi.
Kayak [zaman] Soeharto misalnya. Protes itu sudah ada dari tahun 80-an, dia jatuh 1998. Ini sebagai sistem ya, Jokowi sekarang enggak mungkin 30 tahun sepeti Soeharto, tapi sistemnya kan ada—sistem yang disebut oligarki tadi. Jadi kalau menurut saya ya kita harus siap untuk lama, jangan berharap hasil yang cepat. Tapi juga tetep kita harus melakukan sesuatu. Memperbanyak kawan. Ya kalau yang bisa nulis, ya nulis. Yang bisa langsung terjun mendukung petani yang ditindas itu juga bisa. Tidak selalu menang, saya melihat perjuangan melawan Soeharto dulu banyak kalahnya juga.
Menurut saya kita berpikir bukan lagi cuma soal Soeharto, Jokowi, SBY, tapi soal sistem. Ini kan sistem yang besar. Makanya saya tiga periode terakhir enggak milih, karena menurut saya, sepanjang sistemnya enggak dibenerin, siapa pun yang berkuasa akan sama saja.
Saya enggak punya kebencian pribadi dengan Jokowi, tapi dia mewakili dari sebuah sistem yang rusak. Kalau cuma Jokowi turun, yang naik sebentar lagi paling Prabowo atau Puan, menurut saya sama saja.
Rizal Amril Yahya
Editor: Fiorentina Refani