Ekspresionline.com–Agrikultura merupakan sektor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua di Indonesia -seperti yang dilansir dari laman kemenperin.co, terdapat tujuh jenis komoditas yang berkontribusi dalam sektor Agrikultura. Komoditas tersebut antara lain Perkebunan (3,47%), Tanaman Pangan (3,22%), Perikanan (2,57%), Peternakan (1,57%), Hortikultura (1,44%), Kehutanan (0,67%), serta Jasa Pertanian dan Perkebunan (0,19%). Perkebunan menjadi komoditas unggulan dari praktik agrikultura tersebut.
Karena menjadi komoditas unggulan, tak jarang untuk penanamannya melewati proses pembukaan lahan. Pembukaan lahan yang dilakukan tidak tanggung-tanggung, jika tidak mencapai jutaan hektar, maka tidak sah sebagai lahan perkebunan. Menurut Badan Pusat Statistik pembukaan lahan untuk komoditas tanaman perkebunan sepanjang tahun 2019-2021 di Indonesia, mencapai 25 juta hektar. Perkebunan kelapa sawit berada di peringkat pertama dengan luas pembukaan lahan mencapai 14 juta hektar, karet berada di peringkat kedua dengan luas 3 juta hektar, sedangkan kopi berada di peringkat ketiga dengan luas 2 juta hektar.
Besarnya sumbangan komoditas perkebunan terhadap PDB ternyata tidak didapatkan dengan gratis, ada harga yang harus dibayar olehnya. Kerusakan lingkungan menjadi salah satu harga yang harus dibayar karena besarnya sumbangsih tersebut. Kerusakan lingkungan seperti perubahan iklim, pemanasan global serta deforestasi acap kali terjadi.
Mengutip dari laman nasional geograpic.org yang melansir hasil penelitian dari Clifton Sabajo dan Alexander Knohl dari University of Göttingen di Jerman, ekspansi kelapa sawit dan tanaman komersial lainnya di Indonesia, khususnya Sumatera telah membuat suhu di wilayah tersebut jadi lebih panas.
Pembukaan lahan tebang habis menyebabkan suhu lebih hangat 10 derajat celcius daripada lahan perhutanan. “Lahan tebang habis adalah fase antara hutan dan jenis tutupan lahan lainnya, seperti perkebunan skala kecil [pertanian keluarga skala kecil] atau perkebunan komersial,” ujar Sabajo, peneliti utama dalam studi tersebut.
Adapun suhu perkebunan kelapa sawit dewasa adalah sekitar 0,8 derajat celcius lebih hangat daripada hutan, sedangkan perkebunan kelapa sawit muda lebih hangat 6 derajat celsius. “Perkebunan kelapa sawit muda memiliki daun yang lebih sedikit dan lebih kecil serta kanopi yang terbuka, sehingga menghasilkan lebih sedikit air. Selain itu, tanah menerima lebih banyak radiasi matahari dan lebih cepat kering,” jelas Sabajo.
Tidak hanya peningkatan suhu, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit menyebabkan rusaknya hutan adat. Pada tahun 2018 Tempo melakukan liputan investigasi mengenai pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT Menara Group yang luasnya mencapai 280 ribu hektar di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Dari luas lahan tersebut, terdapat 40 ribu hektar lahan hutan milik masyarakat adat [yang tercatat oleh tim investigasi Tempo]. Penduduk Boven Digoel menyebutnya lahan ulayat.
Walau pembukaan lahan untuk perkebunan kopi secara nasional tidak seluas kelapa sawit, tetap saja lahan seluas 3 juta hektar merupakan skala yang sangat besar untuk praktek monokultur perkebunan kopi. Mongabay.co.id pada tahun 2012 pernah merilis laporan tentang dampak dari pembukaan lahan perkebunan monokultur. Perkebunan kopi menjadi salah satu ojek laporan tersebut. “Praktik perkebunan monokultur mendesak populasi pindah teritorial, tidak hanya itu praktek monokultur berpotensi terjadinya praktik manipulasi, korupsi bahkan perbudakan”. Jika berbicara tentang perbudakan, hendaknya kita juga berbicara tentang para pemilik modal. Berdasarkan data dari laman daftarperusahaanIndonesia.com, dari 3 juta hektar lahan perkebunan kopi di Indonesia 70% nya dimiliki oleh Perseroan Terbatas (PT).
Mahalnya harga yang harus dibayar tak menyulutkan laju pembukaan lahan perkebunan tanaman komersial di Indonesia. Menurut BPS dalam kurun waktu 2019-2021 indeks laju pembukaan lahan perkebunan mencapai 2-3 juta hektar per tahunnya. Fenomena itu menimbulkan pertanyaan. Apakah tidak ada cara lain untuk menurunkan atau bahkan melunasi harga yang teramat mahal itu?
Menurut Prof. Yanto Santosa, pakar kehutanan Yayasan Pusaka Alam, juga Dosen Universitas Paul Sabatier Toulouse III, Perancis, kelapa sawit pada dasarnya adalah tanaman yang bisa tumbuh di hutan -dengan ketinggian maksimal 800-900 MDPL. Selain itu Menurut Budiadi salah satu pembicara pada diskusi bertajuk Pojok Iklim dengan tema Memulihkan Hutan Bersawit, yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kelapa sawit merupakan bagian dari ekosistem hutan, sehingga jika sawit ditanam dengan tanaman lain, bisa berpotensi menanggulangi deforestasi.
Tanaman kopi pun demikian. Kopi bisa tumbuh di ketinggian 1.000-2.000 mdpl dan tidak memerlukan perawatan yang “muluk-muluk”. Kendati kopi dan sawit adalah tanaman yang bisa tumbuh di hutan, bisa menjadi suatu opsi penanaman tanpa harus membuka lahan dan tidak menerapkan konsep monokultur, sehingga bisa menjadi wacana untuk mengurangi fenomena deforestasi dan perubahan iklim. Penanaman tanaman komersial di hutan lebih dikenal dengan konsep agroforestri.
Secara Sederhana, agroforestri merupakan metode mendesain perkebunan di hutan. Hal ini merupakan konsep pertanian yang pertama kali ditemukan dan diterapkan di Indonesia pada tahun 1970-an. Karena agroforestri sarat akan prospek ekonomi, tanaman komersial seperti kopi, kayu manis, bahkan sawit acapkali dijadikan bibit untuk metode Agroforestri.
“Indonesia merupakan negara dengan hutan hujan tertua di dunia dan hutan tropis terluas ketiga di dunia, sehingga sangat memungkinkan konsep agroforestry diterapkan di Indonesia,” ujar Abyatar, salah satu pembicara pada webinar yang diadakan oleh Komunitas Tanah Air Semesta yang bertajuk “Agroforestri Sebagai Salah Satu Cara Untuk Meningkatkan Kapasitas Ekonomi dan Ekologi”.
Tanah Air semesta sendiri merupakan komunitas yang fokus bergerak di bidang reforestasi dan restorasi hutan. Webinar tersebut merupakan salah satu sosialisasi mengenai bagaimana hutan di Indonesia bisa berpotensi sebagai objek pemenuhan kebutuhan ekonomi, tanpa harus merusak ekologi yang sudah ada. Namun konsep agroforestri masih tergolong baru, sehingga butuh banyak sosialisasi dan edukasi terutama untuk kalangan pemuda, “Sasaran utama dari komunitas kami adalah anak muda, dimana kami ingin menstimulasi mereka agar sadar kalau pemuda punya peranan yang cukup besar bagi lingkungan,” terang Siti Maryam, Sekretaris komunitas Tanah Air Semesta, saat diwawancarai oleh tim Ekspresi 27 April lalu.
Hayatun Nufus
Editor : Ayu Cellia Firnanda