Ekspresionline.com–Masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Borobudur Bangkit (FMBB) menggelar aksi demonstrasi di depan plang pintu masuk Candi Borobudur pada Minggu (2/2/2025). Aksi ini dimulai sejak pukul 09.00 waktu setempat hingga menjelang siang hari.
“FMBB ini inisiasi barunya masyarakat. LBH masuk ke Borobudur tahun 2024 bulan Juli karena kasus penggusuran pedagang. Dulu yang Zona 2 dipindahkan ke Kujon yang ternyata dalam prosesnya ada banyak permasalahan, ada sekitar 330 orang yang kita tampung [dan] dampingi,” ujar Royan, LBH Yogyakarta saat ditemui awak Ekspresi di lapangan.
Dalam aksi tersebut massa aksi mengusung tujuh tuntutan yang mereka sebut Sapta Dharma. Tuntutan tersebut di antaranya mendesak pembukaan pintu satu,dua, dan lainnya Candi Borobudur.

Massa aksi menuntut batas maksimum wisatawan dinaikkan menjadi 10.000 wisatawan per hari, dari sebelumnya yang hanya 1200. Selain itu, mereka menuntut agar masyarakat lokal dilibatkan aktif untuk turut serta mengelola Borobudur.
Massa aksi yang mayoritas berasal dari para pedagang terdampak proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) tersebut merasa pihak pengelola mengkhianati janji-janjinya. Para pedagang suvenir dan oleh-oleh yang awalnya berjualan di Zona 2 Borobudur harus tergusur, imbas proyek revitalisasi tersebut.
Belum lama ini pula, terdapat peresmian restoran Prana di Zona 2 yang disinyalir menjual souvenir dan oleh-oleh. Hal itu membuat para pedagang merasa dikhianati, karena mereka digusur untuk digantikan oleh pemodal yang lebih besar. Mereka juga merasa hadirnya restoran Prana membuat Pasar Seni Kujon semakin sepi.
Sempat terjadi cekcok, lantaran salah satu oknum pengelola candi menyusup ke dalam aksi dan mencoba memberikan keterangan kepada awak media. Namun, akhirnya oknum tersebut berhasil diamankan dan meninggalkan lokasi aksi.
Kisah Masyarakat Adat yang Termarginalisasi
Barodi, perwakilan dari Lembaga Adat Desa Borobudur, berbagi kisah pada awak Ekspresi terkait sejarah perjalanan pengelolaan Candi Borobudur. Ia menjelaskan, dulu ia dan warga kampungnya merupakan masyarakat asli pemangku Candi Borobudur. Mereka telah berabad-abad merawat bangunan fisik dan budaya masyarakat sekitar candi.
“Jadi, dahulu kami ada di dalam, namanya Dusun Ngaran Krajan, yang dulu Kademangan Ngaran Duwur. Sebelum Indonesia merdeka, ada swadaya [dan] swatantra yang namanya Borobudur. Swatantra, swapraja kalau [masa] Belanda, namun istilah swatantra sangat jarang didengar,” jelas Barodi saat ditemui awak Ekspresi selepas berorasi.
Ia mengisahkan, tahun 1973 terjadi penggusuran yang akhirnya menggusur kampung dan makam leluhurnya di Pondok Jaten. Ia juga menjelaskan, kampung bahkan makam leluhur tersebut terletak hanya kurang lebih 20 meter dari kompleks candi.
Hal itu juga dituturkan Royan, salah satu anggota LBH Yogyakarta yang ikut mengawal masyarakat Borobudur. Menurutnya, masyarakat Borobudur menjadi korban penggusuran lintas generasi.
“Teman-teman FMBB ini terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang sudah mengalami penggusuran lintas generasi. Kalau berbicara tentang penggusuran, ini sudah lama dari tahun ‘85. Ini dulu tak ada pagarnya. Warga-warga dulu kebanyakan anak-anak yang tinggal di dalam, terus mereka dikeluarkan dan dibangun pagar,” ujar Royan.
Barodi turut menceritakan saat restorasi pertama, masyarakat adat bahkan memberi makan dan menampung para pekerja proyek. Hal itu dikarenakan perekonomian negara belum stabil, tetapi proyek tetap harus dijalankan. Menurutnya, penting untuk diketahui publik, bahwa dahulu sudah ada juru kunci, atau Jogoboyo yang telah lintas generasi merawat Borobudur.
Menurut Barodi, saat ini masyarakat adat sama sekali tidak diberikan kesempatan mengelola seperti semula. Sejak terbit Keppres No. 1 Tahun 1992 yang mengatur perubahan pengelolaan ke Taman Wisata, masyarakat hanya menjadi penonton.
Padahal sebelumnya, saat pengelolaan Borobudur dipegang bersama antara masyarakat dan Jawatan Purbakala, tetap dapat berjalan dengan baik. Bahkan masyarakat adat, sebagai bentuk dukungan pemugaran pada saat itu, sampai melakukan ritual menyembelih kerbau dan menanam kepalanya di sekitar prasasti. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pelestarian Borobudur.
“Kerbau bukan binatang bodoh, tapi binatang yang punya tenaga dan bisa diberdayakan, simbolnya seperti itu dari masyarakat adat,” terang Barodi.
Penjaga Toleransi yang Dimiskinkan

Kendati dahulu mereka makmur hidup di dalam kawasan candi, akhirnya mereka tetap harus tunduk pada keputusan waktu itu. Barodi dan seluruh warga Ngaran Krajan direlokasi ke luar kawasan candi.
“Karena dulu pemindahan atau bedol dusun itu kami dikaveling, tapi kebanyakan dari kami waktu dulu makmur di dalam punya banyak tanah. Akhirnya kami tidak ingin jauh dari Borobudur dan geser ke timur Candi Borobudur,” ujar Barodi
Mayoritas pekerjaan masyarakat Ngaran Krajan dahulu adalah petani. Menurutnya, masyarakat dahulu hidup berdampingan dengan Borobudur dan sama sekali tidak memiliki niatan untuk eksploitasi bisnis.
“Dulu kebanyakan petani, jadi, Borobudur itu peninggalan yang enggak kita eksploitasi dari bisnis. Dari dulu kita damai, [ketika] Waisak ada umat Buddha bermalam di rumah-rumah kami enggak ada masalah,” ungkap Barodi menceritakan.
Baginya, Borobudur adalah “mbahnya” toleransi. Dengan adanya KSPN yang memberi karpet merah kepada kelompok tertentu, akhirnya masyarakat menjadi dimiskinkan dan dinihilkan.
“Kita dibodohkan, tidak dicerdaskan, tidak diberdayakan, [dan] tidak dilibatkan. Perpres tentang Tata Kelola Borobudur tidak melibatkan sama sekali masyarakat, makanya kita tolak,” tukas Barodi.
Rizqy Saiful Amar
Reporter: Rizqy Saiful Amar
Editor: Rosmitha Juanitasari