Ekspresionline.com–Pada Selasa (18/10/2022) kemarin, komunitas Perpustakaan Rakjat dari Banjarnegara menggelar acara “Nobar dan Diskusi: Bangun Persatuan Rakyat dan Bangkit Melawan Ketertindasan” di Desa Wadas, Purworejo. Dalam hal ini, Perpustakaan Rakjat menggaet Gerakan Masyarakat Pecinta Alam Desa Wadas (GEMPADEWA), sebagai salah satu gerakan yang berfokus pada isu lingkungan. Acara ini merupakan bagian dari tur Perpustakaan Rakjat dalam mempresentasikan buah karya independen film dokumenter yang bertajuk Air Mata Air.
Nawaf, salah seorang warga Wadas dan anggota GEMPADEWA mengatakan bahwa pemilihan Desa Wadas sebagai tempat pemutaran film dan diskusi Air Mata Air didasari oleh persamaan nasib.
“Inilah orang-orang yang dipaksa untuk berjuang karena ruang hidup kita terancam. Bahwa teman-teman yang berjuang di berbagai daerah yang kemudian terancam, ya itu tadi, nggak sendiri, Mas. Artinya, banyak sekali [masyarakat] yang memang harus berjuang, dipaksa untuk berjuang, untuk mempertahankan ruang hidup mereka,” tambahnya.
Agung Rizal Setiawan, salah satu anggota komunitas Perpustakaan Rakjat sekaligus sutradara dari film Air Mata Air, menjelaskan bahwa karya mereka merupakan bagian dari upaya edukasi kepada masyarakat dan para petani.
“Hal yang sedang kita fokuskan saat ini adalah tentang bagaimana kontribusi warga untuk berjuang, intinya untuk mempertahankan hak atas air mereka. Karena dalam artian [film] Air Mata Air [yang berlatar di mata air] Sethulu ini yang ada di Desa Bakal, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, akan terancam dengan adanya pengeboran Power Plant Unit 2 Dieng yang berjarak 300 meter daripada mata air ini,” ungkap Rizal.
Menurut Rizal, Mata Air Sethulu merupakan salah satu objek vital lingkungan lantaran mata air tersebut mengairi lima desa di bagian hilir. Harapannya, edukasi melalui film menjadi bagian dari upaya merawat Mata Air Sethulu agar tetap lestari.
“Jadi, kami di Desa Bakal punya namanya Sethulu Festival. Kita katakan ‘Festival Mata Air’ bahasanya. Itu digelar setiap satu tahun sekali. Setiap tahun kita memang membuat film dokumenter, yang di situ intinya kita mencerminkan tentang sejarah Desa Bakal, kemudian apa yang menjadi keresahan masyarakat kita angkat. Salah satunya film ini. Ini adalah tahun ketiga, artinya tiga tahun pula perjuangan masyarakat melawan geotermal,” imbuhnya.
Film Air Mata Air ini memuat dokumentasi Rizal dkk. yang menyoroti keterancaman mata air akibat PLTP Dieng. Inspirasi yang didapat Rizal, diakuinya dari krisis air yang melanda Dieng. Seperti misalnya air di sumur pemukiman warga yang tiba-tiba berubah menjadi asin, atau munculnya mata air baru yang menyembul dengan membawa uap panas seperti kawah.
Rizal mengatakan bahwa tiga tahun berjuang merupakan masa yang cukup lama. Terlebih, harapannya membuat masyarakat sadar bahwa persatuan merupakan pegangan terakhir mereka.
“Artinya, bahwa Dieng ini udah diambang kehancuran, Mas. Karena kita sudah tahu sendiri pengeboran yang sebegitu masifnya, kemudian perusakan alam yang sudah dirasakan masyarakat. Nunggu apa lagi? Kita harus menunggu kerusakan yang seperti apa lagi untuk kita bertindak itu, lo. Kalau bukan sekarang, ya kita selesai [kalah] dengan sendirinya,” pungkasnya.
Abi Mu’ammar Dzikri
Editor: Ayu Cellia Firnanda