Ekspresionline.com–Biennale Jogja melalui program Asana Bina Seni menyelenggarakan pembukaan pameran bertajuk “Golong Gilig Sawit: Gayeng Ngrumat Bumi” pada Selasa (21/8/2024). Berlokasi di Padukuhan Sawit, Panggungharjo, Sewon, Bantul; pameran ini berlangsung dari tanggal 20 –30 Agustus 2024.
Asana Bina Seni merupakan program yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai upaya mengembangkan wacana seni kontemporer lintas ilmu dan lintas disiplin seni.
Kali ini, Asana Bina Seni mengusung tema seputar seni dan aktivisme yang diwujudkan melalui kolaborasi bersama masyarakat Padukuhan Sawit. Kolaborasi bersama masyarakat dilakukan untuk mempresentasikan karya-karya para seniman. Kolaborasi ini juga merupakan upaya Biennale untuk lebih dekat dengan ruang hidup warga, sehingga menghilangkan kesan eksklusif pameran seni yang kerap diselenggarakan di galeri seni.
“Kita mau keluar dari ruang-ruang eksklusif. Sekarang kan banyak pameran yang nggak bayar, banyak juga pameran yang ruangnya lebih kecil terus kolektif, yang tujuannya memang untuk merangkul lebih banyak orang,” jelas Sekar Atikah Nurul Aini, atau biasa dipanggil Atikah, selaku project manager.
Atikah mengatakan bahwa seni bukan hanya sesuatu yang ditampilkan dalam ruang-ruang pameran, tetapi juga aktivitas yang tumbuh dan diyakini oleh masyarakat. Bagaimana pola pikir dan kegiatan sehari-hari juga bisa dilihat dari perspektif kesenian.
Keresahan mengenai seni yang terasa jauh dari masyarakat menjadi salah satu alasan di balik pemilihan ruang alternatif seperti Padukuhan Sawit, guna menghilangkan batas eksklusivitas pameran seni. Biennale mencoba menempatkan praktik kesenian menjadi lebih merakyat, mengolah pesan-pesan seniman dengan cara berbeda. Bisa dibaca oleh para akademisi, tetapi juga mudah dipahami oleh warga.
“Obrolan kesenian itu terasa terlalu sundul langit. Seniman-seniman sama kurator yang diomongin tinggi-tinggi banget. Ngomongin warga, tapi bahasanya susah. Warganya nggak ngerti, itu ngomongin apa,” ujar Atikah.
Karya-karya yang ditampilkan di pameran ini sebagian besar merupakan instalasi yang interaktif dan ditempatkan pada ruang-ruang kehidupan warga, seperti pos ronda, pendopo, dan posyandu. Penempatan karya ini memungkinkan pengunjung dan warga sekitar berinteraksi dengan karya, tidak sekedar menonton saja.
“Jadi kalau kaya gini kan, orang lewat juga tetap bisa menikmati tanpa harus ini-itu. Tanpa harus parkir, atau apa bayar gitu-gitu sih. Terus bapak-bapak tongkrongan di pos ronda juga bisa membaca arsip-arsip yang dikumpulin sama Arungkala,” jelas Atikah.
Melalui “Golong Gilig Sawit: Gayeng Ngrumat Bumi”, Biennale mengajak para seniman dan kurator bersama masyarakat Sawit untuk tidak hanya menghasilkan karya seni, tetapi juga bersenang-senang lewat kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif warga. Kegiatan tersebut di antaranya seperti, pameran seni, jalan sehat, pentas seni, workshop, screening film, bazaar, dan tur kuratorial.
“Golong Gilig Sawit” memiliki makna kebersamaan yang terjalin antara masyarakat Sawit dengan Biennale untuk “Gayeng Ngrumat Bumi” atau bersenang-senang merawat bumi. Bumi di sini dimaknai sebagai Padukuhan Sawit itu sendiri sebagai tempat berlangsungnya pameran. Harapannya, kegiatan ini bisa memantik warga Sawit untuk mengadakan mini festival semacam ini di tahun-tahun selanjutnya untuk merawat dan merayakan Sawit.
Program Asana Bina Seni tahun ini menantang para seniman untuk menemukan metode presentasi yang berbeda, karena berkolaborasi bersama warga. Maka dari itu, perlu pendekatan tersendiri untuk membuat karya karena perlu menyesuaikan dengan situasi dan berkompromi dengan keinginan warga.
Karya yang dihasilkan oleh para seniman diharapkan tidak berhenti di sini saja, tetapi bisa diproduksi kembali dan dikembangkan dengan perspektif yang lebih luas, narasi yang lebih kuat, atau pendekatan yang berbeda.
Sebab, sebuah proses berkarya tidak berhenti begitu telah dipamerkan. Karya adalah hasil pemikiran. Apabila pemikiran dari seniman berkembang, maka karya yang dihasilkan oleh seniman akan ikut berkembang.
“Kalau seniman udah nggak berpikir, berarti mau ngapain?” pungkas Atikah.
Ilham Fahmi
Editor: Rosmitha Juanitasari