Ekspresionline.com – Petualangan intelektual Habermas muda dimulai di Universitas Gottingen, Jerman. Ia belajar kesusastraan Jerman, sejarah, filsafat, psikologi, serta ekonomi. Setelah beberapa waktu, ia melanjutkan studi di Universitas Bonn, tempat di mana ia memperoleh gelar doktor filsafat dengan disertasi “Das Absolute und die Geschichte” (Yang Absolut dan Sejarah) pada 1954.
Dua tahun berselang, Habermas berjumpa dengan Mazhab Frankfurt, sekelompok sarjana yang bekerja pada Institut fur Sozialforschung (Lembaga untuk Penelitian Sosial). Di sana ia menjadi asisten Theodor W. Adorno.Sempat mengajar di Marburg selama setahun, ia kembali ke Frankfurt pada 1964. Adorno mendukungnya untuk mengambil alih posisi Horkheimer sebagai kepala Departemen Filsafat dan Sosiologi.
Seperti pendahulunya di Frankfurt, Habermas turut melibatkan diri dalam gerakan kiri mahasiswa. Ia berperan sebagai pemikir Marxis, digadang-gadang dapat melanjutkan tradisi pemikiran Adorno, Horkheimer, dan Marcuse. Ia begitu kondang di kalangan mahasiswa yang menamakan diri sebagai Sozialistischer Deutscher Studentenbund (Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman).
Menjelang 1970-an, gerakan ini mulai melakukan aksi-aksi radikal yang ditentang oleh para pemikir Institut. Seperti pendahulunya pula, Habermas akhirnya turut mengkritik gerakan tersebut. Ia menganggap apa yang dilakukan oleh gerakan kiri kala itu sebagai “revolusi palsu,” picik, dan kontraproduktif.
Kritikan tersebut menuai kecaman dan membuatnya berkonflik dengan mahasiswa kiri. Pada 1971, Habermas memilih meninggalkan Frankfurt, hijrah ke Starnberg untuk bergabung bersama Max-Planck Institute. Keberadaannya di Starnberg kian menjauhkan Habermas dari gerakan kiri mahasiswa. Ia telah dicap sebagai “orang yang melalaikan kewajiban”.
Ketika mengambil jarak dengan mahasiswa kiri, Habermas bisa mengembangkan dasar-dasar bagi teori kritisnya. Gagasannya khas, berbeda dengan pemikir Marxis lain. Di Max-Planck Institute pula, ia melahirkan karya yang disebut-sebut sebagai puncak pemikirannya, The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif).
Teori Kritis
Filsafat kritis yang terinspirasi oleh Karl Marx punya ciri khas. Ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata. Adalah kekecewaan yang akan didapat mengharapkan para filsuf kritis menyediakan teori transformasi masyarakat dipraktikkan begitu saja.
Gaya aliran kritis akan menolak jika ajarannya dijadikan pegangan. Mereka curiga dengan segala ajaran. Itulah sebabnya Mazhab Frankfurt seperti Habermas dan pendahulunya ditolak oleh mahasiswa yang mencari ideologi guna mendukung perlawanan mereka pada kapitalisme. Mahasiswa kiri kecewa karena guru yang mereka dewakan tidak mau memberi wejangan ihwal revolusi.
Ilmu sosial terus berkembang. Kita tak boleh kaget bahwa tak sedikit intelektual yang mengkritisi Marxisme dalam bentuk ortodoks. Mazhab Frankfurt bukan yang pertama. Sebelumnya, telah ada nama-nama lain macam Gramsci, Lukacs, dan Korsch. Mereka tidak kurang kritisnya dalam merevisi Marxisme ortodoks.
Akan tetapi, di tangan Horkheimer dari Mazhab Frankfurt, Marxisme benar-benar dikembalikan menjadi filsafat kritis. Ia dipadukan dengan kritisisme Immanuel Kant, Hegel, dan psikoanalisis Sigmund Freud. Dua tokoh kondang lain dari Frankfurt, Adorno dan Marcuse, ikut serta dalam program ini.
Kebuntuan Kritik Mazhab Frankfurt
Habermas adalah generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, melanjutkan pemikiran kritis dari generasi pertama, yakni Adorno, Horkheimer, serta Marcuse. Generasi pertama telah menelurkan beberapa kritik atas modernisme. Kritik tersebut bila dipilah bisa dibagi menjadi enam garis besar.
Pertama, paradigma objektivisme dalam sains. Ilmu apapun dipahami dalam paradigma objektif. Semua diperlakukan sebagai objek. Membaca benda mati dan manusia perlakuannya sama. Manusia diibaratkan sebagai benda pasif. Akhirnya, aktivitas yang bersifat intuitif bahkan hasrat dapat diukur secara kuantitatif.
Dalam psikologi misalnya, ada teori yang membagi kedekatan manusia. Umur sekian dekat dengan orang tua, umur sekian dekat dengan teman, umur sekian dekat dengan lawan jenis, umur sekian mulai mengenal jatuh cinta. Sekarang anak SD sudah pada kenal pacaran, berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Teori psikologi yang ndakik-ndakik seperti di atas langsung gugur jika dibenturkan dengan realitas demikian. Manusia itu kompleks, tidak bisa disamakan dengan benda mati, itulah yang dikritik oleh generasi pertama Mazhab Frankfurt.
Kedua, mandul dalam praksis. Banyak teori yang rumit, tetapi tidak mengubah apa pun. Banyak filsuf hanya menafsirkan, tetapi tidak mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Ketiga, tidak emansipatif. Banyak filsuf berteori, tetapi penjajahan tetap ada di mana-mana.
Keempat, ilmu untuk ilmu, bebas nilai. Tanpa memikirkan dampak dalam pengembangan sains, sains akan terus dikembangkan atas nama klaim ilmu bebas nilai. Akhirnya, muncul teknologi yang merusak seperti bom atom, atau dinamit.
Kelima, melanggengkan kekuasaan yang mapan. Sains yang antipenguasa akan ditekan, seperti terjadi di Barat: jika mengancam kekuasaan, maka dimusnahkan.
Keenam, melupakan historisitas ide. Banyak filsuf lupa bahwa tiap gagasan muncul dalam konteksnya. Sebagai contoh, sekulerisme muncul karena dulu Eropa di bawah hegemoni gereja. Marxisme muncul karena ada ketimpangan relasi borjuis-proletar. Tidak ada ide yang lahir dari ruang kosong. Semuanya mempunyai konteks. Ketika konteks berubah, hasilnya juga berbeda.
Keenam kritik di atas menjadi kelemahan peradaban yang kita sebut modern. Jika dunia modern sudah sebegitu parahnya, lantas apa yang bisa dilakukan? Mazhab Frankfurt generasi pertama pesimis. “Kita jadi one dimensional man,” kata Marcuse. Terjebak dalam carut-marut dunia modern.
Teori Kritis Habermas
Habermas mencermati gagasan generasi pertama. Ia menemukan kesalahan dari teori kritis pendahulunya: mereka masih mengakui relasi subjek-objek, mengamini objektifikasi pula. Generasi pertama terjebak oleh kritik mereka sendiri, menganggap semua manusia modern itu sama. Padahal dalam kritik pertama tadi, mereka sudah menjelaskan bahwa manusia itu kompleks. Inilah akar permasalahan mentoknya teori kritis generasi pertama Mazhab Frankfurt. Meski berakhir dengan pesimis, teori kritis tersebut tetap menjadi basis dari teori kritis Habermas.
Menjawab pesimisme serta kebuntuan teori kritis generasi pertama, Habermas mengawalinya dengan mengajak kita untuk melihat tipe relasi manusia.
Pertama, relasi subjek-objek, yakni relasi manusia dengan dunia objektif. Contoh: manusia dengan pohon, manusia dengan batu, dan manusia dengan benda lainnya. Kedua, relasi subjek-subjek, yakni relasi dengan dunia sosial yang dilandasi oleh norma, dalam hal ini adalah manusia dengan manusia. Ketiga, relasi subjek-itself, hubungan dengan dunia subjektif pemikiran, rasa, dan imajinasi. Contoh: membaca diri sendiri, memaafkan, kebencian, dan cinta.
Menurut Habermas, masing-masing relasi memiliki ciri khas berbeda sehingga membutuhkan perlakuan yang berbeda. Atas dasar perbedaan tersebut, Habermas membuat tiga klaster keilmuan dari tiga dunia. Ia juga mengatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai, masing-masing memiliki kepentingan.
Pertama, ilmu empiris-objektif, diterapkan pada relasi subjek-objek, manusia dengan alam. Kepentingan dalam ilmu empiris-objektif adalah kepentingan teknis, menghasilkan teknologi. Kedua, ilmu historis-hermeneutis, diterapkan pada relasi subjek-itself, manusia dengan dirinya sendiri. Kepentingan ilmu ini untuk melatih pemahaman. Ketiga, ilmu sosial-kritis, diterapkan pada relasi subjek-subjek, manusia dengan manusia lain. Kepentingan ilmu ini adalah untuk emansipasi sesama manusia.
Dari premis-premis di atas, Habermas mengkritik cara berpikir manusia modern yang mendewakan rasionalitas. Rasionalitas yang dimaksud adalah rasio instrumental, suatu kondisi di mana rasio dijadikan instrumen atau alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Padahal rasio instrumental hanya bisa digunakan dalam relasi subjek-objek. Sebagai contoh, manusia meretas alam untuk dijadikan teknologi.
Akan kacau jika cara berpikir rasio instrumental diterapkan pada relasi subjek-subjek. Manusia akan saling memperalat, menyebabkan tidak berubahnya kondisi masyarakat.
Menuntaskan jawaban atas kebuntuan teori kritis generasi pertama, Habermas menawarkan cara berpikir rasional yang lain. Ia menyebutnya sebagai rasio komunikatif. Sebagai makhluk yang bisa memahami, harusnya manusia bisa berpikir dengan saling berkomunikasi. Dari sini, Habermas menelurkan gagasan “ruang publik”.
Selanjutnya, etika diskursus dirumuskan dalam bentuk kesepakatan bersama yang bebas dari paksaan serta memungkinkan dialog antar manusia secara terbuka. Etika emansipasi menuntut tidak adanya paksaan suatu keyakinan terhadap keyakinan lainnya. Terdengar utopis memang, tetapi gagasan dari filsuf yang masih hidup hingga kini itu harus tetap kita perjuangkan!
Rofi Ali Majid
Editor: Ahmad Yasin