Ekspresionline.com–Apakah keputusan mengeluarkan pelaku seksual dari badan organisasi, dapat dibaca sebagai gagalnya organisasi dalam melakukan pemberdayaan terhadap anggotanya?
***
Andini adalah ironi dan hari ini kita tidak benar-benar beranjak dari ironi tersebut. Sebagaimana yang terjadi dalam beberapa pekan belakangan ini, didapati adanya tindakan pelecehan seksual yang dialamatkan kepada salah satu staff HMIS FIS UNY 2022 pada Senin 16 Mei 2022.
Kasus tersebut kembali membuat publik marah, setelah sempat dibuat pulas oleh beberapa lembaga yang menjual surat pernyataan. Kini mereka kembali dibuat marah sebagaimana pasca hadirnya KS di ruang publik.
Lipstik HMIS
Impotennya kendali sosial yang dialamatkan kepada pengadilan konvensional di UNY mendorong warga kampusnya merasa perlu menjadi eksekutor dari pengadilan KS itu sendiri. Lantas ruang digital dipilih sebagai rujukan ideal untuk menciptakan keadilan bagi penyintas. Sebab hanya di ruang digitallah, penyintas yang terasingkan dari ruang aktualnya dapat memperoleh dukungan serta pengakuan dari publik.
Sejauh peleburan saya dengan ruang digital, terdapat sebuah pola yang cenderung homogen dan berulang. Bahwa organisasi yang menjadi ruang bagi pelaku kekerasan seksual cenderung bereaksi populis.
Ketika mendapati kasus KS yang viral menyasar ke tubuh organisai mereka. Mereka secara kemrungsung mengadakan pertemuan yang hampir melibatkan seluruh elemen organisasi.
Skenarionya sama, bahwa pelaku akan dikeluarkan secara tidak hormat, kemudian membuktikannya kepada publik dengan merilis surat pernyataan. Saya curiga, sikap populis semacam ini tidak lain hanya untuk meninabobokan publik dari kecenderungannya mengeram-eram.
Mereka yang sedang semangat-semangatnya menjalankan program kerja kepengurusan selama satu tahun periode, mesti dihadapkan dengan viralnya kasus KS yang menyasar ke tubuh mereka. Akibatnya semangat yang mestinya mereka salurkan untuk menuntaskan program kerja, justru dialihkan ke kasus yang bahkan masih asing dari pembahasan AD/ART.
Belum lagi publik digital yang mengeram-geram menuntut kejelasan dari kasus tersebut. Eraman mereka jelas menganggu stabilitas kerja, citra organisasi dan para donatur yang menaruh kepercayaan terhadap mereka. Lantas, dikeluarkannya surat pernyataan adalah solusi agar publik yang merengek-rengek bisa segera tertidur pulas.
Sebagaimana yang terjadi pada kasus Andini, viralnya kasus Andini di beranda digital turut mempengaruhi ruang aktualnya, keduanya seolah-olah mengalami keterhubungan. Ketika kasus Andini berdesakan isu dengan konten-konten digital, melebur dengan teks-teks di beranda menfess. Kasus dan tuntutannya mulai menjadi perhatian serius pihak birokrasi UNY. Sosialisasi gencar diberlakukan, konferensi media, hingga laju-laju advokatif pun diupayakan.
Lucunya, ketika kasus Andini telah redup dan beranda menfess mulai disesaki dengan celotehan maba-maba Protefl. Pihak birokrasi mulai kehilangan gairahnya terhadap KS. Sosialisasi yang rencananya akan diberlakukan secara rutin, kini mulai hilang kabar. Sebagaimana kampus yang naif, respon penangananya tak lebih hanya upaya untuk menidurkan publik dari amukan.
Nampaknya HMIS kadung terpoles oleh lipstik-lipstik institusi semacam itu. Tidak hanya terpoles, mereka juga melanggengkan pola tersebut. Surat pernyataan digunakan HMIS sebagai lipstik Hima, guna menutupi ketidakmampuan mereka dalam menangani problem KS. Problem KS hanya dilihat sebatas pernyataan sikap, alhasil modus penanganannyapun cenderung populis.
Kemudian, bahaya dari surat pernyataan adalah ia cenderung memonopoli kesimpulan, karena sifatnya mengikat, sakral, dan tergolong resmi tak terbantahkan. Tidak ada dialog dalam surat pernyataan, justru dialog dipaksa mati setelah pernyataan diketuk secara mufakat, sehingga arus pemikiran publik dipaksa untuk mengikuti arus monopoli yang dibuat oleh lembaga.
Dari sinilah Hima sebagai grand narrator bagi publik, cenderung meluruskan pikiran-pikiran yang berseliweran di ranah digital. Tidak perlu lagi perdebatan yang layak diajukan, karena hima telah menyajikan kesimpulan secara praktis. Sehingga fungsi publik hanya sebagai konsumen pasif yang telah disuapi oleh Hima.
Kemudian, bagaimana keberlanjutan penanganan KS di Hima itu sendiri? Apakah KS akan berhenti dibicarakan pada kasus yang baru kemarin viral? Apakah perundungan yang diterima oleh pelaku KS juga dihadirkan dalam surat pernyataan tersebut? Perntanyaan-pertanyaan yang berseliweran semacam ini jelas telah mati oleh surat pernyataan, atau malah tertidur pulas di kolom komentar.
Paradoks Moral
Kemudian, apakah keputusan organisasi mengeluarkan pelaku dari struktur organisasi mereka, dapat dibaca sebagai kegagalan organisasi dalam memberdayakan anggotanya? Ini paradoks moral yang tak kalah pentingnya untuk dihadirkan ke publik.
Sebagai analogi, saya pernah mendapati seorang siswa yang terancam dikeluarkan dari sekolah. Ancaman tersebut lantaran ia sering bermasalah secara moral dan dianggap telah mengancam citra sekolah, karena menganggu stabilitas nilai rata-rata minimum di kancah persaingan nasional.
Beruntungnya, seorang guru yang kebetulan PPL di sana sudi mempertaruhkan eksistensi akademiknya, hanya untuk membela keberadaan siswa tersebut. Argumennya simpel, jika siswa tersebut dikeluarkan dari sekolah maka pihak sekolah telah gagal memberdayakan muridnya.
Berangkat dari pengalaman tersebut, terdapat kesamaan antara siswa tersebut dengan pelaku KS hari ini. Bahwa mereka sedang menderita penyakit moral dan telah mengganggu citra lembaga. Namun, jika organisasi non profit di kampus hari ini masih menjalankan fungsi pemberdayaannya. Apakah mengeluarkan secara tidak hormat anggotanya adalah keputusan yang tepat?
Saya serahkan jawaban ini kepada publik, karena keputusan pengeluaran tersebut juga tak lepas dari upaya organisai menyelamatkan penyintas dari trauma seksualnya.
Dimanakah posisi saya?
Sejujurnya, saya menaruh respek kepada HMIS yang secara tegas telah menjankan fungsi organisasinya dan memilih berpihak kepada penyintas. Namun sebagaimana pemaparan saya sebelumnya, bahwa apakah kasus ini akan berhenti sebagai surat pernyataan semata? Atau jika itu publik, apakah publik hari ini sanggup melampaui pembacaannya terhadap KS yang selama ini langeng di ruang digital? Atau malah mereka justru menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri?
Suden
Editor: Hayatun Nufus