Oleh: Farras Pradana
(Mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah, Staf Sospol BEM FIS 2020)
Ekspresionline.com–Dalam tulisan saya yang berjudul Memahami Homo Economicus Secara Singkat, saya telah memaparkan sifat-sifat dasar yang dimiliki homo economicus atau manusia ekonomi. Sifat-sifat homo economicus ini berguna sebagai lensa untuk memahami sebuah fenomena di masyarakat. Dan, seperti yang saya katakan di akhir tulisan saya sebelumnya, homo economicus akan sangat menjanjikan digunakan untuk mendudukkan persoalan yang terkait dengan ekonomi.
Untuk itu, dalam tulisan kali ini, saya ingin menggambarkan bagaimana homo economicus bekerja dalam fenomena hutang-piutang yang berkaitan dengan bunga.
Bunga adalah imbalan jasa untuk penggunaan uang atau modal yang dibayar pada waktu tertentu berdasarkan ketentuan atau kesepakatan, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari modal pokok (KBBI). Bunga berbeda dengan riba, meski keduanya sering dipadu-padankan. Dalam Islam misalnya, riba dibagi menjadi dua, riba jual-beli dan hutang-piutang. Namun, kita akan meninggalkan riba jual-beli, dan hanya akan membahas riba hutang-piutang.
Riba hutang-piutang terdiri atas riba qard dan riba jahiliyah. Riba qard adalah nilai tambah yang diminta pemberi hutang kepada peminjam. Sedang riba jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi jumlah asal karena peminjam tidak dapat mengembalikannya tepat waktu.
Dari dua jenis riba di atas, keduanya sama-sama meminta kelebihan dengan patokannya masing-masing. Dengan begitu, dapat dikatakan proses yang terjadi adalah bagaimana memperoleh bunga dari setiap pemberian pinjaman.
Selain cukup identik karena menghasilkan bunga, kedua riba ini memiliki konsep yang sama dengan bunga pinjaman yang diberlakukan oleh bank-bank konvesional.
Bunga pinjaman adalah beban yang ditanggung nasabah, biasanya dihitung dalam presentase (%) dan dalam jangka waktu tertentu (bulan, tahun), dihitung dari jumlah pinjaman nasabah.
Dengan begini, telah kita dapatkan berbagai pemahaman di mana bunga-bunga itu bermunculan. Bunga adalah bagian dari riba, dan kemudian bagian dari peminjaman uang dari bank konvensional. Bunga adalah hasil dari proses-proses itu.
Sebagai ilustrasi, hari ini anda datang ke bank untuk meminjam uang sebanyak Rp12.000.000. Pegawai bank yang menerima anda mengatakan bahwa, pinjaman bisa dikembalikan dengan dicicil selama 12 bulan atau setahun dengan bunga 5% per bulan. Anda sepakat dengan tawaran itu guna membangun bisnis katering, misalnya.
Setelah itu, selama setahun, perbulannya anda menyetorkan uang ke bank sejumlah Rp1.600.000 dari keuntungan bisnis yang anda jalankan. Ketika anda selesai membayar cicilan itu, anda menghitung kembali uang yang telah anda berikan pada bank. Dan, anda pun mengumpat melihat totalnya: Rp19.200.000. Anda pun bertanya-tanya, kenapa harus memberikan Rp7.200.000, padahal yang anda pinjam di awal cuma Rp12.000.000. Maka anda dapat mencari tahu, dan bertanya pada homo economicus dalam diri anda.
Gambaran di atas dengan terang memperlihatkan uang Rp7.200.000 itu adalah bunga.
Selama ini, sejauh yang saya ketahui, persoalan soal bunga (yang merupakan bagian dari riba) ini hanya berkisar pada tataran salah atau benar dan sejenisnya. Yang kemudian dijawab dengan kalimat: “Tergantung kesepakatan. Apakah ingin menyebutnya bunga atau iktikad baik hati karena telah meminjamimu uang.”
Kemudian ada yang membawanya ke dalam persoalan hukum agama (syariah), seperti yang paling sering saya temui. Kebanyakan orang mengatakan, riba itu haram. Dan cuma mentok sampai di situ setahu saya.
Sebab itu, berikan ruang agar homo economicus menjawab persoalan ini dengan sifat-sifatnya.
Begini, anda sekarang meminjam uang Rp12.000.000 untuk bikin usaha katering, dan setahun kemudian anda harus mengembalikannya sebanyak Rp19.000.000, dalam hal ini, kenapa anda harus membayar lebih Rp7.200.000 dikarenakan perkara waktu. Anda sebenarnya tidak meminjam uang, tapi anda sedang meminjam waktu.
Homo economicus tidak punya konteks dan latar belakang, dia hanya punya masa depan. Hari-hari esok! Dan tidak ada yang pernah tahu besok setelah matahari terbit keadaan akan seperti apa.
Untuk itu, demi mengamankan dirinya, homo economicus selalu berpikir tentang waktu ke depan dengan mengasumsikan, hari ini tidak akan sama lagi dengan besok.
Hari Senin pekan pertama, akan berbeda dengan Senin pekan kedua. Dan atas sifat dasarnya yang egois dan rasional, dia harus mendapatkan keuntungan dari masa depan yang tidak menentu itu. Proyek riba pun dimulai.
Dalam meminjamkan uang yang berbunga, homo economicus berpikir, uang yang saya pinjamkan pada anda dengan jumlah Rp12.000.000 tidak akan lagi sama nilainya setelah setahun, karena harga-harga akan naik.
Saya tidak bisa membeli komoditas sebanyak sekarang melalui nilai uang sama di tahun depan. Dan karena itu, saya harus memastikan agar saya dapat membeli sejumlah yang sama banyaknya di tahun depan, maka saya harus mengambil lebih dari pinjaman yang saya berikan.
Anda dapat membangun usaha katering tanpa meminjam uang dari saya, dengan cara anda bekerja mengumpulkan modal. Selama setahun, anda bekerja demi mengumpulkan modal. Ketika anda merinci apa saja yang anda butuhkan harganya tidak akan sama lagi dengan setahun yang lalu. Harga-harga telah naik. Uang yang kiranya lebih, untuk modal, ternyata tandas semua. Jumlah memang membengkak, tapi nilai jual-beli tetap sama.
Sampai di sini mungkin anda akan bertanya, bagaimana tidak punya konteks jika alat pertukarannya saja bisa kemungkinan berubah. Hari ini kita memakai uang, beradab-abad sebelumnya memakai kerang, setelah itu koin, emas, dan lain-lain.
Kalau begitu apanya yang tidak punya konteks?
Kita bisa ingat kembali seseorang yang terdampar di suatu pulau sendirian. Dia sendirian dan kehilangan segala lingkup kehidupan sosial-politik-budayanya. Namun, dia menempati pulau itu dan sepenuhnya berkuasa atas pemilikan setiap jengkal tanah yang ada.
Tidak memiliki konteks adalah hal-hal yang tidak ada (hilang) dari orang yang terjebak itu dan yang tersisa adalah yang paling berharga. Tidak adanya konteks membuatnya dapat berkuasa dan mengendalikan secara penuh pulau yang dia miliki itu. Sehingga, sama seperti orang yang hidup hari ini dengan uang, orang yang hidup sebelum masehi dengan karang juga memiliki harta yang bernilai.
Apa yang bernilai bagi setiap zaman, itu yang akan mereka kejar sebagai manusia ekonomi, terlepas dari proses-proses dan cara pengambilan keuntungannya, yang tentu berbeda dari penilaian apa saja yang dianggap berharga.
Inilah yang terjadi selama ini dalam kehidupan ekonomi kita.
Dan kini, melalui uang, tidak ada yang bisa menyangkal fenomena ini sebagai sebuah logika homo economicus selama bank-bank itu masih ada. Mau anda semiskin apa pun, kalau anda sudah berurusan dengan homo economicus, kemiskinan itu tidak akan pernah ada dalam pikiran homo economicus. Homo economicus selalu tidak punya konteks dan latar belakang, sehingga saat anda tidak dapat membayar utang, apa yang bisa dijadikan penggantinya akan diambil.
Tidak ada urusan kemanusiaan, homo economicus yang menjelma menjadi debt collector tetap akan berkata: “Bayar utang anda sekarang juga!”
Tiba-tiba anda bisa saja berpikir: kenapa saya tidak menerapkannya juga?
Editor: Abdul Hadi
Tulisan 2: Homo Economicus Menjawab Perkara Bunga Pinjaman