Oleh Fransiska Manam
(Pemerhati HAM dan Filmmaker Muda Papua)
Ekspresionline.com – Papua dianeksasi sejak 1 Mei 1963 oleh Indonesia dengan kekuatan militeristik serta kepentingan imperialis di Papua Barat. Sejak itu pula perjuangan Papua dimulai dengan melawan negara Indonesia dan juga awal mula tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua. Namun, Sebelum Papua dianeksasi tahun 1963, Pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan manifesto politik yang berisi; menentukan nama negara yaitu Papua Barat, menentukan lagu kebangsaan yaitu “Hai Tanahku Papua”, menentukan bendera negara yaitu Bintang Kejora, dan Lambang Negara Papua Barat yaitu Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Tertanggal 26 Juli 1965, tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatik gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
Setelah itu, 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM. Lahirnya OPM di Kota Manokwari ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak (Manokwari) terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya). Di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh.
Sedangkan 1 Juli 1971, empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung Kota Manokwari dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit Resismen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Komando Sarwo Edhie Wibowo. “Proklamasi OPM” kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada 1 Juli 1971, di Desa Waris, Kabupaten Jayapura (yang saat ini kabupaten Keerom), dekat perbatasan Papua Nugini—yang dijuluki Markas Victoria.
Kasus Pelanggaran HAM
Sejak tahun 1960-an hingga 2017 ini, pembunuhan karakter bahkan nyawa rakyat Papua terus terjadi. Kita bisa menyimak berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua tak satu pun diselesaikan oleh negara. Pada tahun 1962, Pemerintah Indonesia melakukan operasi militer ke Papua untuk merebut Papua dari tangan Belanda, hingga pada 1963 Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran. Imbasnya ribuan rakyat Papua tewas.
Operasi militer yang dimaksud adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bhratayuda (1967-1969), Operasi Wibawa (19767-1969), Operasi Pamungkas (1969-1971), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) Operasi Sapu Bersih (1985), dan Operasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus berlanjut hingga ada tiga kasus yang dinyatakan oleh negara sebagai kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Seperti kasus Wasior berdarah pada tanggal 13 Juni 2001; aparat Brimob Polda Papua melakukan penyerbuan kepada warga di Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari. Tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa. Kasus berikutnya adalah kasus Wamena berdarah tahun 2003. Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang tewas, serta 38 orang luka berat. Selanjutnya kasus Paniai berdarah pada 8 desember 2014 yang mana aparat negara menembak mati lima orang siswa SMA.
Setiap tahun pasti saja ada kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. Kita bisa lihat saja Tragedi Biak Berdarah yang menewaskan rakyat Papua tahun 1989 tepat 6 juli silam. Tidak ada kabar dari negara dalam penyelesaian kasus ini, belum lagi kematian Arnol C. Ap pada 26 April 1984, salah seorang seniman Papua yang juga mantan kurator Museum Uncen terbunuh dan sampai saat ini kasusnya tidak pernah diungkap. Di tahun 2017 ini ada kasus penembakan di Deiyai pada 1 Agustus yang telah menewaskan Yulianus Pigai dan melukai 16 orang lainnya. Dalam hal ini negara sendiri telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Negara selalu menstigma orang Papua dengan sebutan separatis, rambut gimbal, gerakan kriminal bersenjata dan sebagainya. Namun yang menjadi pertanyaan, salahkah jika rakyat Papua menentukan nasib mereka sendiri seperti tercantum di dalam UUD 45, “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.
Tanpa disadari negara sedang menabur benih kejahatan dan pembantaian. Semua tindakan itu diingat sejak lama oleh rakyat Papua sampai dengan saat ini. perjuangan Papua masih terus berlanjut, sebab negaralah yang mengajarkan kami bagaimana berdemokrasi dengan baik dan bagaimana menjaga rasa nasionalisme kami terhadap perjuangan pergerakan bangsa Papua.
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI Edisi XXX Maret 2018 “Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma”