Ekspresionline.com—Pada rentang waktu 1950 hingga 1970-an, kerusakan lingkungan menjadi salah satu konflik yang banyak menjangkit dunia. Di antaranya polusi udara, pembuangan limbah pabrik, dan kebakaran hutan.
Kerusakan lingkungan juga berakibat pada mewabahnya sejumlah penyakit. Salah satu wabah penyakit akibat kerusakan lingkungan dikenal sebagai “Wabah Minamata” di Jepang. Wabah ini bersumber dari biota laut yang tercemar limbah merkuri, sehingga menjangkiti mayoritas penduduk Minamata di Teluk Yatsushiro sejak 1950 hingga 1970-an.
Penduduk yang gemar mengonsumsi hasil laut, terkontaminasi oleh limbah merkuri dalam tubuh ikan. Akibatkan kematian, kerusakan otak, kelumpuhan, dan kehilangan bicara, penglihatan, serta pendengaran. Bahkan hal ini juga menyerang bayi di dalam kandungan, yang mana ketika lahir telah mengalami kecacatan.
Usut punya usut, merkuri berhulu dari buangan limbah laut pabrik baterai. The Japan Times mengungkapkan bahwa Chisso Corporation, biang pelaku di balik wabah, dikenakan denda sebesar 3,6 juta USD dan dibayarkan kepada 138 penggugat yang mewakili 30 keluarga.
Dalam dua dekade terakhir sejak 1950 hingga 1970-an, Pemerintah Jepang telah menetapkan 397 warga di Minamata sebagai korban, dan 68 di antaranya meninggal dunia. Korban dan kasus tersebut belum termasuk wabah polusi sejenis di luar Minamata.
Misalnya, wabah “itai-itai”—diterjemahkan pula sebagai ‘ouchouch’—menyebabkan kulit dan tulang penderitanya menjadi nyeri ketika tersentuh. Selain itu, wabah “Asma Yokkaichi” yang bersumber dari emisi sulfur oksida kilang petrokimia Yokkaichi Kombinato, tahun 1960 hingga 1972. Wabah tersebut berupa gumpalan asap kabut tebal yang menyelimuti Kota Yokkaichi, hingga menyebabkan bronkitis, emfisema paru, dan asma bronkial.
Maju ke PBB
Berangkat dari polemik tersebut, Jepang bersama Senegal mendesak PBB guna segera membentuk hukum lingkungan internasional. Setelah desakan Jepang dan Senegal dipenuhi, PBB akhirnya mengadakan konferensi lingkungan di Stockholm, Swedia pada 5-16 Juni 1972. Konferensi ini dikenal sebagai “Konferensi Stockholm”, sekaligus menjadi kali pertama PBB menghelat perundingan terkait isu lingkungan hidup dan manusia.
Dari seluruh negara yang terafiliasi dengan PBB, 113 negara turut serta menghadiri konferensi. Masing-masing dari negara mengirim delegasi untuk menyampaikan isu lingkungan dan kemanusiaan di negaranya. Diplomat Kanada di Swedia, Maurice Strong ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Konferensi.
Jepang diwakili Menteri Badan Lingkungan Hidup, Takeshi Oishi mengeluhkan “Wabah Minamata” dan “Asma Yokkaichi” yang semakin memburuk di negaranya. Sementara itu, delegasi Indonesia diwakili Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Emis Salim. Ia meresahkan bahwa negara-negara berkembang hanya menjadi “korban” dari industri negara maju.
Emis Salim juga menilai UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, cacat prosedur. Negara justru memberi hak penguasaan hutan dan menyerahkan pengelolaannya kepada perusahaan swasta.
Akibatnya, praktik illegal logging menjadi topik kriminalitas paling ramai di Indonesia tahun itu. Ekspor besar-besaran kayu mentah menjadi bisnis utama Orde Baru di samping minyak bumi. Hal tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem hutan dan kepunahan beberapa spesies di dalamnya. Namun, Emis Salim mengungkapkan bahwa keresahan tersebut belum mendapat tanggapan dari negaranya sendiri, Indonesia.
Pungkasnya, sidang menghasilkan keputusan di antaranya:
- Deklarasi Stockholm, berisi prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam mengelola lingkungan hidup di masa depan melalui penerapan hukum lingkungan internasional.
- Rencana Aksi, yang mencakup perencanaan dalam hal permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian pencemaran lingkungan, pendidikan, serta informasi mengenai lingkungan hidup.
- Pada kelembagaan, dibentuklah United Nations Environment Program (UNEP) yaitu badan PBB yang menangani program lingkungan. UNEP berpusat di Nairobi, Kenya, Afrika.
Dalam Environmental Law (2013) karya Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, setidaknya Deklarasi Stockholm memuat 26 prinsip yang harus dipatuhi dunia internasional. Prinsip tersebut antara lain berupa pengelolaan sumber daya manusia, hubungan antara pembangunan dan lingkungan, kepatuhan terhadap standar lingkungan internasional dan semangat kerja sama negara, serta ancaman penggunaan senjata nuklir terhadap lingkungan.
Respon Publik Internasional
Publik internasional menyatakan gegap gempitanya kepada PBB yang berhasil membentuk Deklarasi Stockholm. Media internasional seperti The New York Times, bahkan secara khusus mengawal Konferensi Stockholm sepanjang minggu. The New York Times terus menjadikan Konferensi Stockholm sebagai topik utama sejak hari pertama perhelatan berlangsung.
Di samping itu, langkah yang ditempuh Indonesia untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup adalah dengan menerbitkan UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Takdir Rahmadi dalam Hukum Lingkungan di Indonesia (2019) juga menyebut bahwa dasar pembentukan UU/4/1982 bersumber dari Deklarasi Stockholm.
Kampanye untuk mendukung pelestarian lingkungan juga hadir melalui penerbitan prangko. Sedari 2004 hingga 2009, Pos Indonesia menerbitkan prangko “Hari Lingkungan Hidup” untuk nominal 1500 dan 2500.
Pada 2013, salah satu penyair India, Abhay Kumar merilis lagu bertajuk Earth Anthem. Lagu yang semula berbahasa Hindi itu kemudian diterjemahkan ke semua bahasa resmi PBB. Kemudian, Earth Anthem dipakai sebagai lagu lingkungan internasional hingga masa sekarang.
Selain itu, tanggal 5 Juni, hari saat dimulainya perhelatan Konferensi Stockholm, diperingati sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia”. Hari ketika muka dunia baru menyadari betapa pentingnya isu lingkungan bagi keberlangsungan hidup manusia.
Referensi:
- Kubasek, N.K. & Silverman, G.S. (2013). Environmental Law (8th ed.). London: Pearson.
- Rahmadi, T. (2019). Hukum Lingkungan di Indonesia (2nd ed.). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Penulis: Abi Mu’ammar Dzikri
Editor: Kamela Z. Afidah