Ekspresionline.com–Dalam tulisan ini, saya menggunakan definisi sayap kiri dan sayap kanan yang dipergunakan secara umum. Yakni, sayap kiri berkaitan dengan narasi egalitarianism dan equality, sedangkan sayap kanan cenderung pada narasi pasar bebas dan de-regulasi. Jika menggunakan definisi dari Arie Perlingers, sayap kanan didefinisikan sebagai ekspresi dari kelompok nasionalis yang menekankan pada homogenisasi di dalam suatu bangsa. Di sisi lain, tiran populis dapat disebutkan juga sebagai populisme otoriter di mana populisme sayap kanan bertautan dengan nilai-nilai otoriter dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Saat ini, situasi sayap kiri di Indonesia hampir tidak ada atau mengalami krisis di titik terendah. Saya cenderung bersepakat dengan Prof. Vedi Hadiz yang pada tahun 2023 lalu menulis dalam satu artikel di Australian Outlook berjudul “Only The Right is Left in Indonesia Election”. Proses pemilu yang sudah berlangsung beberapa bulan lalu, hingga pada pengumuman hasil dari pemilihan tidak memperlihatkan satu hal baru selain tampilnya partai-partai incumbent yang sudah mapan dan tidak tampilnya partai-partai alternatif yang cenderung dekat narasi sayap kiri.
Selain itu, kecenderungan yang kuat pada kepopuleran tokoh dibandingkan dengan ideologi yang dibawa juga masih sangat kental. Jika perdebatan kandidat di Amerika maupun Eropa adalah terkait ideologi (misalnya Partai Demokrat versus Republikan), konteks Indonesia masih seputar personalitas. Hal ini yang kemudian menyulitkan untuk membagi posisi ideologi partai-partai di Indonesia, karena kerapkali mengubah posisi pendiriannya yang dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan oleh pemilih. Hal ini juga yang membuat para politisi di negeri ini dapat merubah keanggotaan partainya hingga lebih dari 3 kali selama karirnya tidak jauh berbeda dengan seseorang yang berubah pekerjaan selama karirnya.
Personalitas tokoh tertentu lah yang menjadi hal sentral dan dirawat oleh partai yang cenderung pragmatis-opportunis. Pada periode pemilihan umum di suatu masa tertentu, bisa saja khalayak memilih partai yang narasinya left-wing party. Namun, di waktu tertentu bisa ke arah sebaliknya, tergantung personalitas dan bukan pada rencana jangka panjang dan narasi pembangunan seperti apa yang akan dilakukan.
Di Indonesia, partai politik bertindak lebih seperti alat untuk berbagi kekuasaan daripada alat untuk memperjuangkan idealisme. Edward Aspinal mengemukakan dalam tulisannya berjudul “Mapping the Indonesian Political Spectrum”, hal ini terjadi karena partai politik di Indonesia tidak memiliki idealisme. Semua keputusan sangat tergantung pada popularitas dari tokoh yang diusung. Partai politik di Indonesia sangat kecil memberi perhatian pada kebijakan dan ideologi. Mereka hanya menampilkan citra diri dengan cara-cara yang sesuai dengan sentimen nasionalis dan/atau religius yang telah dipupuk dalam kehidupan sehari-hari melalui sistem pendidikan nasional, produk-produk arus utama, dan semakin banyak melalui media sosial yang diperparah buzzer bayaran yang bekerja lembur pada masa-masa pemilihan umum.
Bahkan, ketika penelitian yang dilakukan Aspinal dkk. tersebut ingin mengeksplorasi perbedaan dan konvergensi ideologis dengan memeriksa bagaimana para elit politik sendiri memandang kecenderungan ideologis partai mereka sendiri dan partai-partai lain yang berkompetisi dengan mereka, temuannya sangat disayangkan. Tidak ditemukan data yang komprehensif mengenai bagaimana para politisi memandang posisi partai mereka dalam isu-isu krusial sehingga tidak ada ukuran yang akurat untuk mengukur posisi partai-partai di Indonesia dalam berbagai dimensi ideologis yang mungkin membentuk politik negara ini.
Saya kemudian melihat bahwa vakumnya sisi kiri politik di Indonesia inilah yang kemudian membuat isu-isu kesetaraan maupun keadilan sosial serta berbagai rancangan kebijakan, seperti RUU Keadilan Iklim, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang sangat berhubungan dengan masalah-masalah sosial yang sedang berkembang saat ini, tidak mengambil posisi yang sentral bagi para pembuat kebijakan di negeri ini.
Hanya ada sebagian kecil partai-partai yang cenderung narasinya dekat dengan sayap kiri namun isu yang mereka bawa juga tidak mendapatkan perhatian dalam diskusi publik. Pada akhirnya, konteks sayap kiri di Indonesia masih tampak jauh dari kata bangkit dan berkembang. Mereka seperti mengalami persoalan sistematis baik dari landasan ideologisnya, maupun ketidakmampuan menandingi dan memberikan narasi alternatif dari sayap kanan.
Di sisi lain, impotensi gerakan sayap kiri di Indonesia juga dibarengi dengan bangkitnya tiran populis ini yang mendorong anomali demokrasi di Indonesia. Demokrasi hanya menjadi alat yang dipergunakan segelintir orang yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Demokrasi tak ayal hanya menjadi topeng elektoral yang dipakai untuk mencari suara sambil di sisi lain membunuh substansi dan norma yang tertulis seperti yang dikemukakan oleh pemikir kebhinekaan Sukidi Mulyadi.
Tiran populis ini juga sering berbicara atas nama demos atau rakyat, namun di sisi lain membangun pengikut dengan mengutuk minoritas yang tidak popular seperti masyarakat adat dan menyerang prinsip hak asasi manusia yang ditandai dengan pembangunan yang melanggar hak-hak komunitas yang akhirnya memicu ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi demokratis. Impotennya gerakan sayap kiri dan bangkitnya tiran populis ini yang menyebabkan proses demokrasi di Indonesia kembali mengarah ke titik nadir.
Konsolidasi OMS
Lantas apa yang harus dilakukan melihat situasi ini? Di bawah kepemimpinan presiden-wakil presiden yang terpilih kini, kecenderungan penguatan tiran populis masih sangat mungkin terjadi. Di sisi lain gerakan sayap kiri di Indonesia juga masih belum terkonsolidasi. Pada titik inilah diperlukan beragam upaya untuk mendorong terwujudnya konsolidasi masyarakat sipil, termasuk institusi pendidikan seperti intelektual kampus. Seperti yang dikemukakan oleh Yanuar Nugroho dalam tulisannya pada kolom opini Kompas yang berjudul “Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil”, bahwa organisasi masyarakat sipil (OMS) harus duduk bersama merumuskan apa yang mau diperjuangkan. Hal ini hanya bisa terjadi jika OMS memahami siapa ‘musuh’ bersamanya.
Pada masa pasca kejatuhan Orba, pertambahan jumlah lembaga swadaya masyarkat dengan agenda, kepentingan, serta perspektif masing masing dalam melihat persoalan merupakan hal yang cukup dominan dan menjadi masalah baru yang dihadapi dalam upaya untuk berjejaring dan bekerja sama. Jika dahulu di masa Orde Baru OMS dapat memetakan musuh bersamanya, kini hal ini yang harus dirumuskan.
Menyepakati musuh bersama ini yang tidak selalu mudah. Dalam konteks kebangkitan tiran populis, apakah semua OMS memahami bahwa hal ini menjadi musuh bersama atau sebaliknya? Jangan-jangan sebagian OMS mengambil kecenderungan pragmatis dan mencoba mencari keuntungan dari kondisi yang terjadi saat ini. Termasuk pula posisi kampus, apakah selama ini telah menyuarakan suara pembebasan atau hanya membeo mengikuti penguasa?
Selanjutnya, OMS juga harus fokus pada hal-hal yang lebih substansi khususnya membangun platform kerja bersama dibandingkan sibuk dengan urusan-urusan untuk menyelamatkan diri sendiri. Kerja-kerja OMS juga masih sangat elitis dan sumber keuangan masih bersumber dari luar negeri. Selain itu kerap dihinggapi persaingan dalam mendapatkan popularitas untuk mendapatkan donor. Perbedaan donor dan mungkin visi serta metode kerja di akar rumput pun membuat fragmentasi di kelompok-kelompok masyarakat. Menemukan visi dan misi bersama inilah yang penting dilakukan untuk dapat mewujudkan kerja-kerja bersama dan mendorong terwujudnya konsolidasi baik dalam hal sumber daya maupun konsolidasi peran.
OMS harus mampu membangun platform kerja bersama sebagai bagian dari masyarakat sipil untuk menjaga demokrasi. OMS harus memiliki bounding yang mendorong masing-masing pihak melakukan agenda kerja dengan tujuan yang sama dan bukan sendiri-sendiri tanpa pernah melihat bersama bagaimana hasil kerja yang sudah dilakukan. OMS di akar rumput dengan yang bergerak di kebijakan publik dan yang melakukan penelitian harus saling bersinergi sehingga antara yang turun ke jalan, melakukan lobi, dan penelitian saling terkoneksi. Hanya demikianlah OMS dapat menjaga masa depan demokrasi di Indonesia.
Martin Dennise Silaban
(Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM dan peneliti di SHEEP Indonesia Institute)
Editor: Nugrahani Annisa