Ekspresionline.com–Buku memiliki mekanisme pasar dan mata rantai industri yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Persis seperti kata Adhe Ma’ruf, “Untuk sampai ke kita selaku pembaca, buku itu sudah melewati banyak tangan.” Aktivis perbukuan sekaligus pendiri Penerbit Octopus itu juga menambahkan bahwa dalam pembuatan buku, ada banyak waktu, biaya, dan tenaga yang dikeluarkan.
Selain distributor dan toko buku, mata rantai inti dalam industri buku adalah penerbitan. Penerbitan sebagai produsen buku dapat dibagi menjadi dua: penerbit mayor dan penerbit independen atau yang akrab disebut dengan penerbit indie. “Yang paling menonjol adalah tema terbitan,” tutur Irwan Bajang, CEO Penerbit Indie Book Corner ketika menjelaskan perbedaan antara kedua jenis penerbitan tersebut.
Penerbit mayor identik dengan tema terbitan populer. Sedangkan penerbit indie memproduksi buku dengan tema-tema nonpopuler, seperti kajian kritis filsafat, politik, sastra, dan sebagainya.
Hal lain yang membedakan penerbit mayor dan indie ada pada skala rumah produksinya. Rumah produksi penerbit mayor berskala besar karena memiliki sumber daya yang memadai. Sebaliknya, Irwan menjelaskan, penerbit indie tumbuh dari basis komunitas dan memiliki rumah produksi berskala kecil, sehingga minim sumber daya. Konteks perbedaan itu meliputi kurun waktu sebelum sekitar tahun 2010, lanjutnya.
Toko Buku: Saluran Penjualan Arus Utama
Pada kurun waktu tersebut, dalam perspektif mekanisme pasar, penerbit mayor dan penerbit indie tidak memiliki perbedaan. Keduanya melalui saluran penjualan arus utama yang sama: toko buku. Sebagai produsen, penerbitan setidaknya perlu melalui tiga tahap sebelum memasarkan produknya. Adhe menjelaskan tahap itu dalam bukunya, Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007), yakni tahap pracetak, tahap cetak, dan tahap pascacetak.
Kerja pracetak meliputi kerja redaksional dan tata artistik. Setelah naskah dikerjakan oleh penulis atau penerjemah (untuk buku terjemahan), proses yang selanjutnya dilakukan adalah penyuntingan naskah (editing), penyusunan tata letak isi buku (layouting), dan pembuatan desain sampul (book cover designing). Artinya, pengerjaan tahap ini tentu melibatkan editor, penata letak, dan ilustrator.
Tahap selanjutnya merupakan tahap cetak yang tak lepas dari jasa percetakan atas kerja-kerja pembuatan film separasi, pencetakan pelat kertas, pencetakan isi, dan sampul buku. Pun dengan kerja-kerja pascacetak yang meliputi laminating sampul, finishing isi (lipat-susun), penjilidan (binding), pembungkusan plastik (wrapping), pengepakan (packing), dan pemasaran.
Dalam hal pemasaran, buku yang diproduksi penerbit memerlukan keterlibatan distributor untuk meratakan penyebaran produknya ke gerai toko di berbagai wilayah. “Distributor itu kemampuannya adalah punya jaringan yang luas di seluruh Indonesia. Itu yang tidak bisa dilakukan oleh penerbit,” ujar Indra Ismawan, CEO Media Pressindo yang sejak 1998 masih eksis hingga hari ini.
Alur demikian juga berkaitan dengan sistem tersentral yang diterapkan oleh toko buku. Aldilla Rizky Pritawardhani, supervisor Toko Buku Gramedia Jogja City Mall menjelaskan, sistem tersentral menghendaki oplah besar yang berkisar ribuan untuk memenuhi kebutuhan pasar melalui jalur distribusi sebelum masuk ke toko buku. “Karena distribusinya ke seluruh Indonesia,” ucapnya.
Saluran penjualan arus utama yang sedemikian rupa menjadikan mesin cetak offset sebagai bentuk paling relevan bagi penerbitan untuk memenuhi kebutuhan oplah yang besar. Oleh karenanya, pada pascaproduksi, langkah praktis pemasaran dengan menitipkan buku ke distributor untuk dipasarkan di toko buku menjadi mekanisme yang berlangsung langgeng.
Alur tersebut kemudian membuat adanya kontrak berlapis dalam mata rantai industri buku. Di awal, ada kontak antara penulis atau penerjemah dengan penerbit, kemudian penerbit dengan distributor, dan distributor dengan toko buku. Demi mengikuti alur saluran penjualan arus utama tersebut, mengutip Indra, penerbit perlu modal besar serta melakukan gambling di toko buku.
Toko buku sebagai platform utama penjualan buku memiliki pertimbangannya sendiri dalam menerima suplai buku dari penerbit melalui distributor. Hal ini juga tidak terlepas dari berlakunya sistem tersentral dan ketentuan jumlah oplah buku yang besar untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Aldilla menjelaskan, pilihan tema menjadi hal yang dipertimbangkan Toko Buku Gramedia. “Pertimbangan pertama, jelas: permintaan pasar, karena kami tetap bergantung pada customer. Kedua, tren. Ada buku yang sebelum terbit itu sudah banyak dinantikan,” jelasnya. Ia menyebut buku karya Risa Saraswati sebagai contoh buku yang sudah populer sebelum penerbitannya, sehingga telah dinantikan banyak pembaca.
Dengan kondisi pasar demikian, penerbit indie dengan tema terbitan nonpoplernya cukup sulit untuk bersaing di pasar buku. Oleh karenanya, sulitnya penerbit indie dalam menembus toko buku secara langsung menjadi salah satu isu yang berkembang dalam industri buku.
Harga Buku: Terbentuk Atas Mekanisme Pasar
Dilansir dari Declare!: Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007), isu lain yang hadir di dunia perbukuan tak lepas dari rendahnya daya beli masyarakat, ketidakseimbangan antara kuantitas produksi buku dan saluran distribusi yang ada, terbatasnya waktu dan ruang displai buku di toko buku, serta tingginya harga buku.
Hal tersebut terjadi mengingat mata rantai industri buku memang kompleks. Adhe juga berujar, “Dengan panjangnya mata rantai ini, ongkosnya tinggi.” Terkait dengan harga jual sendiri, Puthut EA, pegiat buku Yogya yang juga merupakan pemimpin Klinik Buku EA, menjelaskan bahwa angkanya didapat dari hasil melipatkan ongkos produksi minimal empat kali. Dengan begitu, presentase rata-rata ongkos produksi penerbitan adalah 25% dari harga jual.
Setelah siap dipasarkan, buku didistribusikan ke toko buku oleh distributor. Atas perannya, distributor menerima rabat rata-rata sebesar 55% dari harga jual. Indra menerangkan, dari angka sekian, sebesar 15% digunakan untuk biaya operasional sekaligus laba distributor. Sisanya, rabat sebesar 40% digunakan distributor untuk memasukkan buku dari penerbit ke toko buku. Angka yang cukup besar itu diperlukan bagi toko buku untuk memberi rabat pada konsumen juga, selain untuk biaya operasional dan laba toko buku.
Dengan demikian, 80% dari harga buku telah terpakai. Sisanya yang berjumlah 20% dikelola oleh penerbit, termasuk untuk laba dan royalti penulis atau penerjemah (untuk buku terjemahan). Terkait dengan penghitungan royalti, Puthut menerangkan bahwa terdapat dua model: 10% bruto atau 15% neto.
Tak ada undang-undang atau aturan yang mengatur besaran rabat-rabat tersebut. “Itu terbentuk atas mekanisme pasar saja. Sistem tata niaga tidak bisa diatur dengan undang-undang,” tutur Indra. Kecuali apabila buku dianggap sebagai kebutuhan hajat hidup orang banyak, imbuhnya.
Apabila buku yang dijual dengan jumlah ribuan eksemplar itu gagal dalam gambling di toko buku dan tidak laku, penerbit akan berhadapan dengan retur buku. Menghadapi retur buku, penerbit akan mengusahakan banyak cara. Penerbit Gramedia, misalnya, akan mengobral buku-buku tersebut dengan fixed price. Aldilla menerangkan, jalan lain yang dilakukan adalah menjual buku dengan cara bundling: diserikan atau dipaketkan. “Jadi supaya buku itu tetep berputar di pasar. Walaupun bukan dengan harga awalnya,” tuturnya.
Cara bundling itu juga ditempuh oleh Penerbit Mojok untuk mengelola buku retur. Meski merugikan, tetapi penerbit membutuhkannya. “Daripada dibuang atau disimpan di gudang, yang mana di gudang itu tentu ada cost-nya juga,” terang Puthut. Menurut penuturan Achmad Choirudin, pemimpin redaksi Insist Press, memasarkan buku retur kepada reseller dengan rabat tinggi juga merupakan salah satu cara penerbit dalam mengelola produknya.
Selain itu, cara lain yang ditempuh penerbit adalah menjual produknya kepada penampung buku returan dengan harga rendah—di bawah harga produksi. Fanani, penampung buku retur yang aktif sejak tahun 2009 sekaligus pendiri Toko Buku Raja Murah menjelaskan, “Kami membeli buku returan seharga dua ribu, lalu kami jual lima ribu.” Selanjutnya, Fanani berbisnis dengan memasarkan buku retur tersebut melalui pameran yang diadakannya di berbagai tempat.
Lebih lanjut, Fanani mengatakan bahwa pekerjaannya diperlukan agar buku tidak dilebur dan dibuat menjadi kertas lagi. Selaras dengan itu, Indra menjelaskan, dalam industri buku, yang demikian disebut sebagai bakteri pengurai. Ia menerangkan, “Itu juga dibutuhkan dalam industri buku. Kalau tidak ada yang seperti ini, nanti stok tidak akan jadi uang dan tidak jadi buku baru.” Industri buku, bak ayunan pendulum, apabila tidak ada bakteri pengurai, maka akan terhenti, lanjut Indra.
Platform Digital Sebagai Saluran Baru dan Meluasnya Ruang Gerak Penerbit
Seperti industri lainnnya, industri buku telah mengalami dinamika sedemikian rupa sehingga sampai pada bentuk termutakhirnya. Satu hal yang membawa perubahan signifikan pada industri ini adalah internet. Ia melahirkan saluran penjualan baru di luar saluran penjualan arus utama, yakni saluran penjualan secara online—melalui platform digital.
Indra memaparkan, fenomena ini dimulai kira-kira sekitar tahun 2010. Internet membukakan saluran baru yang membuat penerbit-penerbit tak lagi terikat pada jalur penjualan arus utama. Wijaya Kusuma Eka Putra, penggagas Penerbit Pojok Cerpen berujar, “Artinya, ada dua mata rantai yang, bukan diputus, tetapi dilewati: distributor dan toko buku.”
Atas munculnya saluran penjualan baru ini, penerbitan—baik penerbit mayor maupun indie—memiliki keleluasaan lebih dalam memilih model produksi dan distribusi produknya sesuai kapasitas.
Penerbit indie dengan sumber dayanya yang minim dan dengan tema terbitannya yang nonpopuler bisa lebih fleksibel karena tidak lagi terpaku pada mesin cetak offset dan jumlah oplah yang besar. Penerbit indie kemudian banyak memanfaatkan teknologi mesin print on demand (PoD) untuk mencetak buku dalam jumlah kecil.
Indra menjelaskan, “Sistem PoD mulai relevan, walaupun secara teknis, PoD itu mulai dari tahun 2000 awal sudah ada—secara mesin itu sudah ada. Tetapi enggak terlalu terpakai karena waktu itu penerbit pakai jalur pasar dengan cetak minimal 2000-5000 [eksemplar], jadi pakainya mesin-mesin offset.”
Dalam pemasaran produk, penerbit indie banyak memanfaatkan media sosial. Eka berujar, “Teman-teman indie itu kalau mau cetak buku biasanya lihat dulu di medsos: animonya bagus, enggak? Di-post saja dulu posternya. Nah, dari komen-komen, kan, kelihatan. Misalnya yang komen, dalam hal ini berminat, itu 300 orang. Ya, sudah, teman-teman indie nyetaknya 300 eksemplar saja.” Dengan demikian, permintaan pasar bisa lebih terukur dan kerugian bisa dicegah, terang Eka.
Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penjualan buku melalui platform digital tidak lepas dari kecenderung perkembangan generasi saat ini. Media sosial sebagai ruang komunikasi publik mampu menentukan permintaan produk.
Dalam perkembangannya, penerbitan mayor dan indie kemudian tidak lagi terkotak-kotak pada batasan tema terbitan maupun jumlah eksemplar sebab kemajuan teknologi membantu mereka dalam melakukan pembacaan pasar. Identifikasi antara kedua jenis penerbitan tersebut juga kian melebur. Udin menjelaskan, “Menurutku sudah berbaur, ya, logika mayor dan logika indie.” Hari ini, penerbitan bisa dengan longgar dalam menentukan jumlah eksemplar yang akan diterbitkannya dan melalui jalur apa pemasaran produknya.
Udin memaparkan lebih lanjut bahwa buku dengan ceruk pasar yang kecil dapat diproduksi dengan oplah yang kecil pula dan dipasarkan secara mandiri tanpa keterlibatan distributor maupun toko buku. Begitu pula sebaliknya: buku yang dalam pembacaannya mampu diserap pasar secara luas, dapat dicetak dengan oplah besar dan dipasarkan ke toko buku melalui bantuan distributor.
Berkenaan dengan tema terbitan yang telah membaur, Irwan menjelaskan bahwa penerbit mayor kini juga menerbitkan buku dengan tema yang jarang dibahas atau tidak pernah mereka terbitkan sebelumnya. “Artinya, kajian-kajian kritis yang dibikin oleh penerbit independen itu juga diterbitkan oleh penerbit besar,” imbuhnya. Perkembangan ini membuat tiap-tiap buku dapat menemukan ceruk pasarnya sendiri.
Perluasan Pasar: Perluasan Keragaman Tema dan Wacana
Platform digital juga mengizinkan adanya perluasan pasar. Indra menjelaskan lebih lanjut, “Tahun 2013 ke sini, karena [ada] dorongan dari marketplace, volume pasar membesar, transaksi membesar, dan uangnya mulai ada. Akhirnya, bermunculan lagi pemain baru yang lebih banyak.”
Selain penambahan jumlah penerbit, ekosistem perbukuan yang demikian longgar memunculkan reseller dan dropshiper buku; kelompok pemain baru yang tidak berangkat dari ‘pemain inti’ industri buku. Hal tersebut salah satunya direpresentasikan oleh eksistensi Berdikari Book hari ini. Berdikari Book memangkas atau menjadikan satu peran distributor dan toko buku dalam dirinya. Keberadaanya yang di luar saluran penjualan arus utama melepaskan penerbit dari belenggu regulasi tentang batasan jumlah eksemplar dan tema terbitan.
“Ada kebebasan tersendiri bagi mereka [penerbit]. Mau bikin buku semau mereka, itu enggak ada yang menghalangi mereka, kecuali pasar—kecuali pembaca. Enggak ada institusi atau lembaga yang menghalangi mereka, mau judulnya apa kek, mau kovernya seperti apa kek,” ujar Dana Gumilar, pendiri Berdikari Book. Sehingga, terdapat keragaman tema dan wacana yang ditawarkan kepada pembaca.
Ia menerangkan, sekitar 70-80% buku yang ada di Berdikari Book tidak tersedia di pasar arus utama. Dana mengimbuhkan, “Intinya, sih, keyakinan kita ingin menyediakan bacaan alternatif—kita menyediakan wacana alternatif. Kita percaya banyak perspektif yang lain.”
Sejalan dengan itu, Indra juga menuturkan bahwa pasar buku online hari ini memperluas dimensi dalam dunia perbukuan. Perkembangan ini membuat penerbitan dapat lebih leluasa dalam mengeksplorasi pasar. Dunia perbukuan dan dinamikanya terus mendorong pelakunya untuk melakukan penyesuaian. Indra menuturkan, “Apa yang berlaku hari ini merupakan hasil dari sebuah evolusi sistem tata niaga.”
Sabine Fasawwa
Reporter: Sabine Fasawwa, Fiorentina Refani, Reza Egis
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa